Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Bentrokan antara polisi Israel dan warga Palestina di Masjid Al-Aqsa masih berlanjut.
Direktur vaksinasi Covid-19 Myanmar dihukum penjara karena menolak bantuan WHO.
Pemerintah Shanghai memperketat aturan karantina di tengah tingginya kasus Covid-19.
Palestina
Kerusuhan Pecah Lagi di Masjid Al-Aqsa
KERUSUHAN kembali pecah ketika polisi Israel menyerbu kompleks Masjid Al-Aqsa di wilayah pendudukan Yerusalem Timur pada Jumat pagi, 22 April lalu. Kedatangan mereka disambut lemparan batu warga Palestina. Bulan Sabit Merah Palestina melaporkan 31 warga Palestina cedera pada hari itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Al Jazeera melaporkan kerusuhan bermula ketika pemuda Palestina menembakkan kembang api ke arah kelompok ultranasionalis Israel yang melintasi kompleks itu untuk merayakan Paskah Yahudi. Tindakan kelompok itu melanggar status quo tempat suci itu sesuai dengan kesepakatan antara Israel dan Yordania pada 1967 serta larangan bagi kaum non-muslim untuk beribadah di sana.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Masjid Al-Aqsa menjadi pusat kekerasan sejak 15 April lalu. Hampir setiap hari polisi Israel bentrok dengan warga Palestina, yang berbondong-bondong ke sana untuk beribadah selama Ramadan. Bulan Sabit Merah Palestina menyatakan lebih dari 180 orang Palestina terluka karena peluru karet, tongkat, dan gas air mata dalam enam hari terakhir.
Dalam pertemuan dengan delegasi Departemen Luar Negeri Amerika Serikat pada Kamis, 21 April lalu, Presiden Otoritas Palestina, Mahmoud Abbas, menyatakan Israel bertanggung jawab atas naiknya suhu politik di Yerusalem Timur dan Tepi Barat. Tentara Israel dilaporkan juga melakukan dua kali serangan udara di Jalur Gaza dalam sepekan terakhir dengan alasan menghancurkan tempat produksi mesin roket Hamas.
Myanmar
Direktur Vaksinasi Covid-19 Dihukum Penjara
PENGADILAN Myanmar menjatuhkan hukuman tiga tahun penjara kepada Htar Htar Lin, direktur program vaksinasi Covid-19, pada Kamis, 21 April lalu. Dia didakwa melakukan korupsi karena menolak bantuan internasional untuk penanganan Covid-19.
Htar Lin menerima hibah senilai US$ 91 ribu dari UNICEF dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada Februari 2021, tak lama setelah kudeta militer. Dia mengembalikan dana itu karena khawatir akan disalahgunakan oleh junta militer. “Kita tidak dapat membiarkan diktator militer menggunakan vaksin Covid-19 sebagai senjata. Saya mungkin bebas atau ditahan militer ketika kalian membaca ini. Tapi saya tidak akan menyerah,” kata perempuan dokter itu melalui surat elektronik kepada para koleganya sebelum ditahan, seperti dikutip The Irrawaddy.
Htar Lin ditangkap di Yangon pada Juni 2021 bersama anaknya yang masih kecil, suami, adik perempuan, dan sahabatnya. Selain kasus korupsi, dia didakwa melakukan pengkhianatan dan ujaran kebencian serta membantu Pemerintah Persatuan Nasional (NUG), pemerintah bayangan yang dibentuk Liga Nasional untuk Demokrasi pimpinan Aung San Suu Kyi. Bila semua dakwaan itu terbukti, dia dapat dipenjara hingga 20 tahun.
Cina
Karantina Shanghai Diperketat
PEMERINTAH Shanghai memperketat aturan karantina di kota pusat keuangan Cina itu karena lonjakan angka kasus Covid-19 masih berlanjut pada Jumat, 22 April lalu. Menurut BBC, aturan itu termasuk memasang alarm pintu elektronik untuk mencegah mereka yang terinfeksi keluar dan mengevakuasi penduduk untuk membersihkan rumah mereka dari kuman.
Seorang beraktivitas dari balik pembatas yang dikarantina di tengah pandemi Covid-19 di Shanghai, Cina, 14 April 2022. REUTERS/Aly Song
Jumlah kasus baru Covid-19 di sana melonjak, dari 107 pada akhir Maret lalu hingga berpuncak menjadi 3.084 pada 19 April dan turun menjadi 2.635 pada 21 April. Pemerintah menerapkan strategi “nol Covid-19” dengan menutup kota yang terkena wabah dan baru membukanya ketika sudah tidak ada kasus lagi. Selama penutupan, pemerintah melakukan tes massal dan mengumpulkan penderita Covid-19 di suatu pusat karantina.
Wu Zunyou, kepala ahli epidemiologi dari Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Cina, mengatakan strategi “nol Covid-19” bersifat dinamis dan diperlukan untuk segera menangani pasien lebih awal. “Hanya ketika kami terlambat mendeteksi wabah atau tidak dapat mengambil tindakan tegas untuk mengendalikannya, yang mengarah ke lebih banyak penularan di komunitas, barulah kami harus menerapkan penguncian wilayah,” katanya kepada media Cina, Global Times.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo