Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI tengah terpaan krisis politik, Michel Temer masih sempat berkelakar. Penjabat Presiden Brasil itu mengatakan upacara pembukaan Olimpiade 2016 di Rio de Janeiro bakal canggung. Sebab, ia dan Dilma Rousseff, presiden yang diberhentikan sementara, diundang dalam acara seremoni di Stadion Maracana pada 5 Agustus mendatang.
"Akan lebih baik jika sidang pemakzulan Rousseff selesai sebelum Olimpiade," kata Temer dalam sebuah wawancara di saluran GloboNews, Selasa malam pekan lalu. Sejak Mei lalu, Rousseff, 68 tahun, diskors dari jabatannya selama enam bulan. Pentolan Partai Pekerja ini dituding memanipulasi duit negara untuk membiayai kampanye presiden pada 2014.
Temer, yang sebelumnya menjabat wakil presiden, tentu paham bagaimana mekanisme sidang pemakzulan di Senat. Terlebih Senat telah dijadwalkan menentukan nasib Rousseff pada medio Agustus, tepat di tengah pergelaran Olimpiade. "Sepertinya itu mustahil (Senat mengambil keputusan lebih awal)," demikian The Associated Press menuliskan.
Agaknya Temer berharap Senat segera mendepak Rousseff. Dengan begitu, ia bisa diteguhkan sebagai presiden. Namun krisis di Brasil, yang antara lain dipicu oleh skandal megakorupsi di perusahaan minyak negara, Petrobras, rupanya tak hanya menggilas Rousseff. Skandal juga menjalari satu per satu politikus kelas wahid lain di Negeri Samba.
Wajar bila Temer mulai ketar-ketir. Skandal Petrobras diketahui menggerogoti panggung politik Brasil. Puluhan politikus lintas partai diyakini turut mencicipi duit suap. Sejak Rousseff dipaksa mundur, sudah ada tiga menteri dari kabinet Temer yang "tumbang". Mereka adalah Menteri Antikorupsi Fabiano Silveira, Menteri Perencanaan Romero Juca, dan Menteri Pariwisata Henrique Eduardo Alves.
ADALAH Sergio Machado yang menyeret nama tiga menteri Temer. Machado, bekas kepala transportasi dan logistik di Petrobras, mengaku kepada penyidik bahwa ia telah memberi 100 juta reais (sekitar Rp 392 miliar) untuk kampanye politik. Ia kini berstatus saksi negara dalam pengusutan skandal Petrobras. "Ia merekam percakapan dan pertemuan dengan beberapa politikus demi mendapat keringanan hukuman dari jaksa," begitu diberitakan Reuters.
Fabiano Silveira, misalnya, tidak hanya dituding menerima duit suap. Dalam rekaman percakapan, yang diambil di rumah Ketua Senat Renan Calheiros, pada Maret lalu, Silveira menyarankan Calheiros tentang cara berkelit dari skandal Petrobras. Padahal Silveira saat itu menjabat penasihat Dewan Yudisial Nasional-badan pengawas peradilan di Brasil.
Tuduhan serupa dialamatkan kepada Henrique Eduardo Alves. "Ia diduga menerima suap US$ 445 ribu (sekitar Rp 5,8 miliar)," demikian Deutsche Welle melaporkan. Alves, dalam surat pengunduran dirinya pada 16 Juni lalu, mengatakan ia mendukung pengusutan kasus Petrobras. "Saya tidak ingin menyulitkan dan membuat pemerintah canggung."
Belakangan, Machado juga menyasar Michel Temer. Dalam kesaksiannya, Machado mengatakan Temer pernah meminta US$ 430 ribu (sekitar Rp 5,6 miliar) pada 2012. Saat itu mantan presiden partai oposisi, Partai Pergerakan Demokrasi Brasil (PMDB), ini memakai duit tersebut untuk mendanai kampanye kader PMDB, Gabriel Chalita, sebagai calon Wali Kota Sao Paulo.
Dokumen testimoni Machado, yang dibacakan di depan hakim Mahkamah Agung pada 15 Juni lalu, mengungkap tudingan resmi pertama terhadap Temer. Secara khusus, kesaksian Machado menggambarkan pertemuannya dengan Temer di sebuah pangkalan udara di Brasilia. "Michel Temer meminta dana ilegal dalam bentuk sumbangan resmi," kata Machado, 60 tahun, yang pernah menjadi senator dari PMDB.
Temer membantah kesaksian Machado hari itu juga. Kepada koran Folha de São Paulo, ia menyatakan tidak pernah meminta dana ilegal untuk kampanye pemilihan partainya. "Temer juga membantah pernah terlibat dalam 'pertemuan yang tidak pantas' dengan Machado," demikian menurut surat kabar itu.
MASIH seumur jagung, kabinet koalisi Michel Temer mulai rontok. Temer, 75 tahun, membentuk kabinet maskulin berisi 21 menteri. Semua menterinya pria dan, seperti Temer, berkulit putih. Ini berbeda dengan kabinet Dilma Rousseff, yang dijejali 39 menteri. Enam menteri Rousseff perempuan, seorang di antaranya berkulit hitam dan satu-satunya di pemerintah.
Kolega Temer di parlemen juga terkena imbas skandal Petrobras. Pada 14 Juni lalu, Ketua Majelis Rendah Eduardo Cunha ditangguhkan dari jabatannya. Komite Etik Kongres sepakat mendepak Cunha. Tanpa jabatan politik, pentolan PMDB itu kehilangan kekebalan hukum. Dengan begitu, ia dapat dituntut dalam sejumlah tuduhan perkara rasuah.
Cunha, 57 tahun, didakwa menerima US$ 5 juta (sekitar Rp 66,6 miliar) dalam kaitan dengan kontrak pembelian dua unit kapal pengebor minyak. Istri Cunha, Claudia Cruz, pun didakwa telah mengantongi duit suap dari pembelian Petrobras atas ladang minyak di Benin. Seperti Cunha, Claudia tidak terbuka mengenai kepemilikan rekening bank di Swiss, yang diyakini dipakai untuk menyembunyikan uang hasil korupsi.
Pengusutan sejauh ini memang banyak mengincar politikus PMDB. Selain Cunha, mantan Presiden PMDB José Sarney, yang menjadi senator hingga 2014; Ketua Senat Renan Calheiros; dan Presiden PMDB Romero Juca masuk radar penyidik. Kepada hakim Mahkamah Agung Teori Zavascki, tim jaksa federal yang diketuai Rodrigo Janot telah mengajukan surat permohonan penahanan untuk nama-nama pentolan PMDB itu.
DILMA Rousseff, yang selalu menganggap dirinya dikudeta, kini tak lagi sendiri di pusaran krisis. Presiden perempuan pertama di Brasil ini awalnya menjadi sasaran tembak utama dalam prahara yang membelah rakyat negeri itu. Ia disalahkan atas resesi terparah di Brasil, yang memicu gelombang pengangguran. Rakyat marah. Sebelum Rousseff dilengserkan, unjuk rasa memprotes politikus sayap kiri itu merebak di kota-kota besar di penjuru Brasil.
Kali ini giliran Michel Temer yang diterpa guncangan. Tak seperti tudingan terhadap Rousseff, yang lebih banyak berbau politis, Temer diduga tersangkut skandal Petrobras. Pengusutan kasus ini-dikenal dengan Operasi Cuci Mobil-tidak main-main. "Puluhan eksekutif dan politikus telah dipenjara karena terbukti terlibat," Reuters menuliskan.
Terkuaknya nama-nama menteri kabinet Temer juga mengungkap motivasi di balik pelengseran Rousseff. Surat kabar terbesar di Brasil, Folha de São Paulo, memuat transkrip rekaman percakapan rahasia antara Romero Juca dan Sergio Machado pada Maret lalu. Saat itu hanya beberapa pekan sebelum proses pemakzulan Rousseff di Majelis Rendah.
Dari transkrip tersebut, Juca, 61 tahun, ketika itu masih menjabat senator, dan Machado bersiasat jahat. "Mereka setuju pemakzulan Dilma adalah satu-satunya cara (untuk mengakhiri penyelidikan skandal Petrobras)," begitu laporan Folha, seperti dikutip The Intercept. Juca dan Machado, yang menjadi target resmi Operasi Cuci Mobil, juga membahas strategi penggulingan Rousseff, termasuk pelibatan pemimpin militer Brasil.
Dalam transkrip rekaman berdurasi 75 menit itu, peran Juca cukup menonjol. Ia menyebut plot pemakzulan Rousseff sebagai "pakta nasional". Skenario politik itu melibatkan semua lembaga terkuat di Brasil. Plot itu bertujuan menempatkan Michel Temer sebagai presiden. "Pemakzulan akan mengakhiri tekanan dari media dan sektor lain untuk melanjutkan Operasi Cuci Mobil," begitu Folha menuliskan ulang perkataan Juca.
Mahardika Satria Hadi (AP, The Intercept, DW, Reuters, Business Insider, BBC)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo