Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

investigasi

Belajar dari Kasus Zarima

Pengadilan Negeri Mataram bisa menjadi kunci untuk mengerem peredaran narkoba baru. Mirip kasus Zarima, 17 tahun lampau.

6 Januari 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ketika jaksa Ida Ayu Ketut Yustika Dewi membacakan dakwaannya, 4 November lalu, belasan pengunjung sidang di Pengadilan Negeri Mataram, Nusa Tenggara Barat, tercekat. Beberapa saling memandang dengan wajah heran.

Mereka kaget mendengar Yustika menuntut terdakwa pengedar metilon, I Wayan Purwa, dengan Undang-Undang Narkotika. Ancamannya 13 tahun kurungan.

Ini pertama kalinya di Indonesia seorang pengedar metilon dijerat UU Narkotika. Sebelumnya, di Pekanbaru dan Batam, polisi dan jaksa hanya menggunakan Undang-Undang Kesehatan. Bahkan, untuk kasus penggunaan metilon yang paling terkenal—kasus Raffi Ahmad—Kejaksaan Agung ragu meneruskannya ke pengadilan.

Purwa dicokok polisi pada Mei lalu dengan barang bukti 70 gram sabu dan 388 butir pil yang mengandung methylenedioxymethcathinone atau metilon. Berbulan-bulan kasus ini mandek, tak bisa diajukan ke pengadilan. Seperti dalam kasus Raffi, berkas perkara Purwa terus saja bolak-balik dari kejaksaan ke Kepolisian Resor Mataram.

"Kami bingung karena zat metilon belum ada dalam daftar narkotik," kata Kepala Seksi Pidana Umum Kejaksaan Negeri Mataram Akmal Kodrat saat ditemui Tempo, pertengahan November lalu.

Akmal lantas menghubungi ahli kimia farmasi yang juga Kepala Badan Narkotika Nasional Provinsi Nusa Tenggara Barat, Mufti Djusnir. Dia juga berkonsultasi dengan Laboratorium Forensik Denpasar. "Ini zat baru, sehingga kami perlu ahli yang mengerti betul," ujar Akmal.

Beberapa kali berdiskusi dengan Mufti, Akmal akhirnya yakin zat metilon yang terkandung dalam 388 butir pil itu masuk kategori narkotik. Metilon memiliki efek dan dampak negatif seperti narkotik lain. Bahkan tingkat bahaya metilon, yang masuk level 4, lebih tinggi daripada ekstasi—yang masuk level 3. Beberapa negara di Eropa dan Amerika sudah melarang peredarannya.

Dalam persidangan, Mufti, yang menjadi saksi ahli, menjelaskan kepada hakim bahwa metilon adalah zat turunan dari kati­nona atau cathinone. Dalam UU Narkotika, katinona masuk daftar narkotik golongan 1.

"Kasus Purwa mengingatkan saya pada kasus Zarima Mir, 17 tahun lalu," ujar Mufti kepada Tempo seusai sidang. Pada 1996, Mufti juga menjadi saksi ahli untuk kasus itu. Zarima dicokok polisi karena membawa 29.677 butir ekstasi.

Perdebatan kala itu tak jauh berbeda. Ekstasi belum diatur dalam undang-undang. Mufti—yang kala itu menjabat Kepala Unit Pengawasan Mutu Lembaga Farmasi Dinas Kedokteran Kesehatan Polri—berhasil meyakinkan majelis hakim bahwa zat aktif methylenedioxymethamphetamine atau MDMA dalam ekstasi berbahaya bila dikonsumsi. Peraturan Menteri Kesehatan juga menegaskan MDMA tak aman buat manusia.

Dengan argumentasi itu, Zarima divonis bersalah dan dihukum empat tahun penjara. Barang bukti puluhan ribu ekstasi dimusnahkan. Baru tiga tahun kemudian, MDMA masuk daftar 165 zat terlarang dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

Kini Mufti berharap bisa mengulangi sejarah. Sayangnya, kali ini Menteri Kesehatan tak ada di pihaknya. BNN sudah berulang kali mendesak Menteri Kesehatan mengeluarkan peraturan yang memasukkan metilon ke golongan narkotik, sembari menunggu revisi UU Narkotika—yang pasti butuh waktu lebih panjang. Tapi tak ada reaksi.

"Kita sudah tahu ini zat terlarang, tapi kok aturannya tidak kunjung dibuat? Ini pembiaran namanya," kata mantan Deputi Pemberantasan BNN Benny Jozua Mamoto, kesal.

Di Mataram, Mufti dan jaksa Yustika kini menunggu. Putusan dari sidang Wayan Purwa akan menentukan nasib kasus penangkapan bandar dan pengedar metilon yang kini menumpuk di BNN.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus