Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Komitmen Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa Bangsa Ke-26 di Glasgow, Skotlandia adalah soal pendanaan.
Menurut Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim, NDC saat ini tidak akan bisa memenuhi target Perjanjian Paris,
Negara maju harus punya kesadaran tentang tanggung jawab historis karena memulai revolusi industri sehingga ada perubahan iklim ini.
DEWAN Pertimbangan Pengendalian Perubahan Iklim Indonesia adalah lembaga ad hoc yang dibentuk pada 2014 untuk menangani perubahan iklim menjelang Perjanjian Paris 2015. Perannya berubah setelah Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan terbentuk. "Peran sekarang memberi masukan. Kewenangan (ada) di dirjen," kata Ketua Dewan Pertimbangan Pengendalian Perubahan Iklim Indonesia Sarwono Kusumaatmadja yang juga penasihat senior Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam wawancara dengan Abdul Manan dan Erwan Hermawan dari Tempo di rumahnya, Selasa, 26 Oktober lalu, Menteri Lingkungan Hidup periode 1993-1998 ini bercerita tentang sejumlah agenda yang dibawa delegasi Republik Indonesia dalam Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa Ke-26 (COP26) di Glasgow, Skotlandia, 31 Oktober-12 November 2021, serta tantangan dalam penanganan krisis iklim.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Apa yang Anda sampaikan kepada delegasi Indonesia untuk COP26 di Glasgow?
Menurut istilah Presiden Joko Widodo, lead by example, memberikan contoh. Jadi kita ke Glasgow itu memberi contoh bahwa kita masih sanggup mengelola, salah satunya soal kebakaran hutan. Ketika jutaan hektare hutan terbakar di Amerika, Eropa Timur dan Selatan, serta Spanyol, kebakaran hutan kita bisa ditekan. Kedua, dengan segala macam cerita tentang illegal logging dan segala macam yang betul ada, secara keseluruhan deforestasi berkurang.
Kebakaran hutan dan deforestasi berkurang karena apa?
Kebijakan. Antara lain moratorium (pembukaan lahan) gambut dan (izin perkebunan) sawit. Jadi tidak ada lagi ekspansi perkebunan.
Apakah itu berarti moratorium sawit yang berakhir pada September lalu akan dilanjutkan?
Semestinya dilanjutkan. Kalau soal moratorium sawit, masih kita tunggu keputusannya.
Apakah soal ini juga akan disampaikan dalam forum COP26?
Tunggu saja. Di Glasgow akan disampaikan berbagai kebijakan. Yang kita tunggu adalah kebijakan carbon financing. Ini sudah diumumkan sejak pertemuan di Kopenhagen pada 2009. Negara maju berjanji mengumpulkan uang US$ 100 miliar untuk menanggulangi perubahan iklim. Mana buktinya? Tidak ada! Tapi perdagangan karbon yang sifatnya sukarela sudah terjadi.
Mengapa negara maju harus mengalokasikan dana untuk membantu negara berkembang dalam menghadapi perubahan iklim?
Argumennya adalah mereka harus punya kesadaran akan tanggung jawab historis karena memulai (revolusi industri) sehingga ada perubahan iklim ini. Itu yang harus ditagih oleh negara berkembang.
Kalau di dalam negeri, seperti apa bayangan mengenai kebijakan karbon itu?
Intinya, setiap kegiatan yang padat karbon kena pajak karbon. Yang hemat (karbon) dikasih insentif. Apakah itu gampang? Tidak.
Bagaimana dengan pembaruan Kontribusi yang Ditetapkan secara Nasional (NDC) kita untuk COP26?
NDC kita secara agregat 41 persen. Itu yang dikurangi. Komponen program dengan usaha sendiri dinaikkan persentasenya, yang awalnya 26 persen menjadi 29 persen. Komponen yang memerlukan kerja sama internasional dikurangi. Jadi totalnya sama. Negara lain ada yang tanpa berpikir panjang mengatakan akan menaikkan (target NDC) sekian persen. Makanya dimarahi oleh Greta Thunberg (aktivis lingkungan dari Swedia) dengan kata-kata "blah, blah, blah…” itu.
Pengurangan emisi masih mengandalkan sektor kehutanan dan penggunaan lahan….
Sekarang bertambah dengan blue carbon, termasuk pesisir, mangrove, rawa dataran rendah, dan padang lamun.
Untuk sektor kehutanan dan penggunaan lahan, pemerintah menargetkan net sink atau penyerapan bersih karbon pada 2030, tapi sektor energi belum. Apa kendalanya?
Paling susah energi. Soal batu bara, misalnya Jerman. Sewaktu lockdown, energi yang dipakai sedikit. Begitu ekonomi dibuka, ternyata komponen energi terbarukan tidak cukup untuk akselerasi ekonomi. Terpaksa pakai batu bara lagi. Kenapa tak pakai gas? Gas didominasi Rusia.
Energi terbarukan kita masih rendah. Apakah itu karena tingginya ketergantungan terhadap batu bara?
Ada pengaruhnya. Tapi kalau Pak Menteri (Energi dan Sumber Daya Mineral) sekarang bagus, lah, komitmennya. Ini bukan hanya problem Indonesia. Pasokan listrik Singapura direncanakan juga dari Australia lewat kabel bawah laut.
Pasokannya kan juga dari Indonesia....
Ya. Tapi kan tidak cukup. Transmisi ini sangat tidak mudah dikelola karena VUCA (volatility, uncertainty, complexity, ambiguity). Tahun lalu, di Texas, Amerika Serikat, sewaktu musim dingin, tiba-tiba temperatur turun sampai minus 15 derajat yang menyebabkan pipa minyak pecah, rusak. Sampai-sampai ada rumah tangga di Amerika yang terpaksa menghangatkan rumahnya dengan membakar meja-kursi karena tidak mendapat pasokan bahan bakar. Nah, itu yang disebabkan oleh perubahan iklim.
Apa yang membuat COP26 ini penting?
Dulu kita masih melihat ini sebagai perubahan iklim, belum krisis iklim. Sekarang sudah krisis. Ditambah lagi ada pandemi.
Apa komitmen baru yang diharapkan dari COP ini?
Salah satunya soal pendanaan yang sejak 2009 tak ada realisasinya itu. Kesepakatan Paris ini diikuti lebih dari 190 negara. Bisa dibayangkan ada satu keputusan yang disetujui bulat tanpa kecuali? Jadi setiap keputusan di Paris Agreement itu ada pengecualiannya. Negara diharapkan melakukan sesuatu sesuai dengan kemampuan dan kondisi spesifik masing-masing. Artinya, tergantung kita, aliansi yang kita bikin.
Seperti apa peluangnya?
Mesti pintar berdiplomasi. Kalau mengandalkan keputusan bersama dari forum itu, apa sih yang bisa dicapai? Istilahnya, Paris Agreement adalah syarat yang perlu tapi tidak cukup. Akan saya bisikkan juga ke teman-teman soal ukuran emisi. Ukuran emisi itu ada dua: agregat secara negara atau secara individu. Kalau emisi per individu, kita rendah.
Kajian Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) menyatakan NDC saat ini tidak akan bisa memenuhi target Perjanjian Paris….
Pada umumnya problem di energi. Benahi itu. Sekarang, dengan adanya Covid-19, konsumsi energi turun sementara. Begitu Covid terkendali dan orang-orang memulihkan ekonomi, perlu energi lebih banyak. Dari energi baru dan terbarukan tidak cukup. Beralih dari energi fosil ke energi terbarukan itu tidak gampang. Kita kan dengar solar panel itu bagus, bersih. Energi apa yang dipakai untuk produksi komponennya? Pakai tenaga fosil juga. Kita menyimpan energi panel surya pakai baterai. Baterainya dari apa? Litium. Bahan baku litium adalah nikel. Pertanyaannya, sejak kapan pertambangan itu ramah lingkungan?
Penambangan nikelnya yang jadi masalah karena tak ramah lingkungan?
Produksi energi terbarukan masih membutuhkan tenaga fosil. Mobil listrik, misalnya. Polusi udara dan emisi memang turun. Bagaimana dengan nasib mobil bekas yang jutaan itu, yang tak dipakai gara-gara diganti mobil listrik? Kan, mesti didaur ulang. Daur ulangnya pakai energi apa? Kesimpulannya, kita sedang mengalami krisis peradaban. Soal net zero emission, misalnya. Saya iseng bertanya, bisakah industri militer nol emisi? Alutsista (alat utama sistem senjata) itu dari pembuatan, mobilisasi, sampai penggunaan, jejak karbonnya tinggi. Bagaimana cara mengatur perang agar ramah lingkungan? Kayak dulu aja. Pakai bambu runcing, pentungan, panah, baru nol emisi.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo