Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

lingkungan

Walhi Sebut Enam Konsekuensi Proyek PLTSa, dari Soal Anggaran Hingga Potensi Korupsi

Walhi mengidentifikasi enam hal dari proyek PLTSa, dari orientasi pengelolaan sampah hingga potensi korupsi.

15 November 2024 | 06.34 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) melihat ada enam konsekuensi kehadiran proyek Pembangkit Listrik Tenga Sampah (PLTSa) sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN). Manajer Kampanye Polusi dan Perkotaan Walhi Nasional, Abdul Gofar, mengatakan konsekuensi pertama adalah peningkatan anggaran pengelolaan sampah daerah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Anggaran pengelolaan sampah harus ditingkatkan 2-3 kali lipat dari situasi sekarang, padahal APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) 0,5 sampai 1 persen untuk pengelolaan sampah,” katanya saat konferensi pers 'Menabuh Benih Kerusakan: Kajian Pembangkit Listrik Tenagah Sampah (PLTSa) di Indonesia', di Jakarta, Kamis, 14 November 2024. Menurut dia, idealnya peningkatan anggaran sekitar 1-1,5 persen dari APBD.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kedua, berpotensi menjadi ladang korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), serta komoditas politik kepentingan. Gofar mengatakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sedang mengkaji adanya potensi korupsi dari PLTSa yang sudah dibangun senilai triliunan rupiah, seperti di Surakarta dan Surabaya, serta kota lain yang masih proses tender.

Ketiga, butuh komitmen politik dan anggaran minimal 20 tahun, karena ini menyangkut kontrak jangka panjang. Ketika biaya investasi awal ingin kembali, maka harus ada jaminan skema tipping fee dari pemerintah pusat maupun daerah. “Karena ada 51 persen, 49 persen, pembagian tipping fee antara pemerintah pusat dan daerah,” ucapnya.

Keempat, tidak fleksibel terhadap tata kelola dan perencanaan. Sebab, setelah fokus pada PLTSa, berbagai seperti skema pengelolaan sampah organik, ekonomi sirkular, jadi tidak masuk prioritas. Anggaran pengelolaan sampah menjadi terfokus untuk PLTSa selama 20-30 tahun.

Kelima, ketidaksesuaian PLTSa dengan rencana pengelolaan sampah lainnya. Operasional PLTSa membutuhkan sampah terus dalam jumlah besar untuk menghasilkan energi, sehingga orientasi pengurangan sampah di masyarakat menjadi tidak masuk akal dengan kebutuhan itu. “Jadi inginnya pemerintah sampah banyak terus,” kata Gofar.

Keenam, diskoneksi komposisi sampah Indonesia dengan PLTSa. Menurut Gofar, ada ketidaksesuaian dengan jumlah sampah, yang saat ini masih didominasi sampah organik daripada anorganik. PLTSa sendiri membutuhkan sampah seperti plastik agar sesuai dengan kebutuhan operasional PLTSa.

Sebelumnya, PLTSa menjadi Proyek Strategis Nasional sejak rezim Presiden Joko Widodo. Aturan yang sudah diterbitkan untuk mendukung tercapainya pembangunan itu adalah Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Pembangkit Listrik Berbasis Sampah di Provinsi DKI Jakarta, Kota Tangerang, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Surakarta, Kota Surabaya dan Kota Makassar.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus