Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

lingkungan

Menautkan Asa pada Asuransi

Pemerintah menyandarkan perlindungan terhadap nelayan dan petani dari dampak krisis iklim pada skema asuransi. Riuh oleh keluhan.

26 Maret 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Asuransi Usaha Tani Padi (AUTP) dikeluhkan petani yang menjadi akrab dengan gagal panen akibat perubahan cuaca ekstrem.

  • Baik AUTP maupun asuransi nelayan digadang-gadang sebagai jaminan perlindungan bagi petani dan nelayan di masa paceklik akibat krisis iklim.

  • Susahnya proses klaim menjadi tantangan.

SYAMSUDIN, petani asal Pakisjaya, Kabupaten Karawang, Jawa Barat, dibuat kewalahan oleh cuaca yang tidak menentu. Saban pagi, ia seperti bermain lempar koin untuk menebak cuaca hari itu. Cuaca yang berubah-ubah tersebut menyebabkan kembalinya hama sundep atau penggerek batang yang kini sedang menjadi musuh nomor satu petani padi se-Pakisjaya. “Hama ini baru tiga tahun belakangan menjadi-jadi,” kata Syamsudin di sawahnya, Jumat, 4 Maret lalu.

Gara-gara ngengat penggerek batang padi itu Syamsudin hanya bisa memanen 2 ton gabah per hektare. Padahal pada masa panen empat tahun lalu hasilnya bisa mencapai 7-8 ton per hektare. Selain sundep, pria berusia 55 tahun tersebut berurusan dengan cuaca panas ekstrem yang mendatangkan kekeringan. Pada 2019, gagal panen besar-besaran terjadi di Pakisjaya karena bencana alam hidrometeorologi kering tersebut.

Di masa itu, ia dan puluhan petani Pakisjaya yang telah mengikuti Asuransi Usaha Tani Padi (AUTP) menaruh harapan tinggi pada asuransi tersebut. Namun, dari 25 hektare sawah yang mengalami kerugian, hanya 8-10 hektare yang dapat direalisasi klaimnya. Selain itu, jumlah klaim pertanggungan yang diterima jauh dari biaya yang sudah keluar. Dalam AUTP, pertanggungan maksimal hanya Rp 6 juta per hektare. Padahal ongkos produksi mencapai Rp 12-15 juta per hektare. Biaya itu meliputi ongkos tenaga, sewa traktor, pupuk, benih, pestisida, dan biaya lain.

Wahyudin, Ketua Umum Serikat Pekerja Tani Karawang, mengatakan AUTP tidak memberi perlindungan yang memadai bagi petani. Pengurusan klaim pun sulit. “Tidak perlu jauh-jauh, di Karawang saja tidak ada kantor Jasindo yang bisa didatangi setiap saat untuk petani bertanya atau mengadu,” ucapnya. Jasindo atau PT Jasa Asuransi Indonesia adalah perusahaan asuransi yang ditunjuk pemerintah sebagai pelaksana program AUTD.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Persoalan lain, menurut Syamsudin, adalah lambannya tanggapan tehadap laporan petani, meskipun petani sudah berinisiatif mengirimi sendiri foto yang dilengkapi tanggal hingga koordinat geografis. “Petugas memverifikasi empat-lima bulan setelah laporan dikirim, yang itu sudah masuk masa tanam di periode berikutnya,” tuturnya. “Bahkan ada (petugas) yang ke lapangan ketika sudah mulai masuk masa panen selanjutnya,” katanya.

Di Indramayu, tepatnya di Desa Cikamurang dan Desa Tanjungkerta, belum ada satu pun jaring pengaman bagi petani untuk menghadapi gagal panen. Menurut Miftakhul Ulum, petugas Biro Inovasi Pertanian dari Serikat Tani Indramayu (STI), petani-petani yang berhimpun di STI tak ada yang mengetahui perihal AUTP. “Kalau ada, kami mau mendaftar supaya paling tidak ada tambahan modal ketika petani benar-benar mengalami gagal panen karena kekeringan atau kebanjiran,” tuturnya.  
Andang, 40 tahun, petani asal Cikamurang, mengatakan mayoritas petani di desanya hampir tiga tahun tidak turun ke sawah karena terus-menerus diterpa gagal panen. “Enggak ada asuransi apa pun yang bisa diandalkan untuk membantu petani di masa-masa ini,” ujarnya. Menurut Andang, ia hanya pernah mendengar AUTP sekilas tanpa pernah mengetahui perlindungan seperti apa yang ditawarkan.

AUTP merupakan asuransi pertanian di bawah naungan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani. Asuransi ini bertujuan memberi kompensasi kerugian akibat kerusakan tanaman agar petani bisa mendapat biaya produksi kembali. Adapun petani yang boleh mengikuti skema asuransi ini adalah petani yang telah tergabung dalam kelompok tani, tapi diutamakan petani yang telah mendapat bantuan pemerintah.

Meski diklaim sebagai skema perlindungan petani, AUTP dikritik oleh Serikat Petani Indonesia (SPI). Muhammad Qomarun Najmi, Ketua Pusat Pengkajian dan Penerapan Agroekologi SPI, mengatakan AUTP tak efektif melindungi petani dari dampak krisis iklim. Seharusnya, menurut dia, pemerintah mampu melindungi semua gagal panen petani akibat bencana krisis iklim yang tergolong sebagai kejadian luar biasa.

Tuntutan Qomarun ini didasarkan pada Pasal 33 Undang-Undang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani yang mengatur ganti rugi akibat kejadian luar biasa. Menurut dia, krisis iklim yang membuat gagal panen merupakan kejadian luar biasa. “Di pasal tersebut tidak ada kewajiban petani membayar premi sebagai prasyarat ganti rugi,” katanya.

•••

CUACA yang tak menentu tidak hanya membuat apes para petani. Nelayan seperti Itang Muhamad Dahlan, 47 tahun, juga merasakannya. Nelayan asal Karawang, Jawa Barat, ini sudah tak bisa lagi mengandalkan perhitungan angin barat dan angin timur untuk melaut. Bahkan, ia menambahkan, prediksi cuaca 15 menit ke depan pun sudah terlampau sulit. “Sudah enggak ada lagi yang namanya nelayan panen di laut,” ucapnya.

Hari-hari suram pun dirasakan oleh Masnuah, pendiri Komunitas Perempuan Nelayan Puspita Bahari, yang bermukim di Demak, Jawa Tengah. Menurut Masnuah, perubahan iklim yang terjadi membuat kehidupan nelayan perempuan menjadi lebih susah berkali lipat. Terlebih status nelayan perempuan masih belum diakui.

Ia menjelaskan, perubahan iklim membuat tangkapan ikan menjadi lebih sulit sehingga nelayan mesti melaut lebih jauh. Otomatis, dia menjelaskan, pemakaian bahan bakar meningkat di tengah hasil laut yang kian cekak. “Di tengah kondisi ini, pemerintah memberikan subsidi BBM (bahan bakar minyak), tapi hanya untuk nelayan laki-laki,” katanya.

Baik Masnuah maupun Itang mengatakan tidak ada asuransi nelayan yang mampu melindungi mereka dari ganasnya dampak perubahan iklim. Asuransi nelayan mandiri yang saat ini didorong oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan hanya menjamin kecelakaan. “Tidak ada asuransi yang bisa menopang hidup sehari-hari akibat ganasnya perubahan cuaca yang membuat sulit melaut,” tutur Itang.

Menurut Sekretaris Jenderal Kementerian Kelautan Antam Novambar, untuk melindungi nelayan, Kementerian Kelautan melaksanakan program Bantuan Premi Asuransi Nelayan (BPAN) yang preminya dibayar penuh oleh Kementerian Kelautan selama setahun. Ada dua skema asuransi nelayan saat ini, menurut dia, yaitu BPAN yang melindungi nelayan kecil dan tradisional serta asuransi nelayan mandiri yang bekerja sama dengan Jasindo dan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan.

Menurut Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan Susan Herawati, nelayan mengeluhkan sulitnya proses klaim asuransi. “Belum ada skema perlindungan apa pun yang menjamin hidup nelayan ketika tidak bisa melaut. Baru ada bantuan sosial yang sifatnya temporer,” katanya.

Direktur Jenderal Sarana dan Prasarana Kementerian Pertanian Ali Jamil hingga
Jumat, 25 Maret lalu, tidak kunjung memberikan jawaban baik secara lisan maupun tertulis. Saat dihubungi, Ali hanya mengatakan sedang berada di lapangan dan berjanji memberikan informasi segera. Kami juga telah menghubungi PT Jasindo melalui Sekretaris Perusahaan Cahyo Adi, tapi tidak ada tanggapan.

DINI PRAMITA
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus