Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Laporan terbaru Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) menegaskan bahwa pulau-pulau kecil dan kota-kota pesisir semakin terpengaruh bencana alam hidrometeorologi yang diakibatkan krisis iklim.
Pulau-pulau kecil terluar di Indonesia terancam abrasi dan gelombang pasang yang mengurangi luas daratannya.
Sebanyak 50 daerah dari 112 kota dan kabupaten di Indonesia sedang bermasalah dengan banjir rob.
ACHMAD Zaeni, 66 tahun, kian akrab dengan suara runtuhnya tanah bercampur karang dari tebing dekat makam Syeik Syarif Ainun Naim di atas bukit Pulau Tolop Kecil di Kecamatan Belakang Padang, Kota Batam, Kepulauan Riau. Jarak antara tebing yang mengalami bencana abrasi dan dinding bangunan tempat pusara penyebar Islam di Kepulauan Riau itu hanya 1 meter. “Tanahnya turun terus. Terakhir runtuh beberapa bulan lalu,” kata Zaeni seraya menunjuk tebing dan pohon tumbang yang telah mengering, Rabu, 2 Maret lalu.
Zaeni sudah enam tahun menjadi juru kunci makam yang ramai dikunjungi peziarah pada akhir pekan itu. Ia tak mengerti apakah abrasi di Pulau Tolop Kecil merupakan dampak dari krisis iklim yang melanda bumi. Yang ia tahu, terjangan ombak laut mengikis tebing bukit. Ombak besar juga berasal dari kapal-kapal barang yang berlalu-lalang dekat pulau. Angin utara yang kencang dan hujan deras setiap pergantian tahun memperparah abrasi tebing bukit tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Warga berdiri dekat tanggul pemecah ombak yang putus diterjang ombak di Pulau Putri, Batam, 3 Maret 2022. TEMPO/Yogi Eka Sahputra
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Walau khawatir terhadap abrasi, Zaeni yakin makam Syeik Syarif Ainun Na’im alias Sunan Thulub akan dijaga Yang Maha Kuasa. Ia berkisah, sejak dulu masyarakat Belakang Padang mengkeramatkan makam itu meski tak tahu siapa pemiliknya. Kiai Haji Nur Hamim ‘Adlan, pengasuh Pondok Pesantren Nahrul ‘Ulum di Ponorogo, Jawa Timur, adalah yang memastikan makam itu milik Syeik Syarif Ainun Na’im, putra Syeik Maulana Ishaq, ulama Kesultanan Samudera Pasai.
Abrasi tak hanya melanda Pulau Tolop Kecil yang luasnya 1 hektare. Menurut Camat Belakang Padang, Yudi Admaji, dari 166 pulau kecil di wilayahnya, beberapa pulau mengalami abrasi parah, seperti Pulau Dangka, Catur, dan Suba. “Tapi yang perlu penanganan cepat adalah Pulau Tolop Kecil,” ujar Yudi. Dia menaksir pulau itu terkikis sekitar 2-4 meter per tahun. “Satu tahun lalu kami menanam bakau tepat di tebing, kini tebing sudah bergeser 2-4 meter dari bakau itu,” tuturnya.
Tolop Kecil perlu diprioritaskan, menurut Yudi, lantaran menjadi batas wilayah Indonesia dengan Singapura. Di Belakang Padang, Yudi menambahkan, tiga pulau, yakni Nipa, Batu Berhenti, dan Pelampong, telah ditetapkan Badan Nasional Pengelolaan Pulau sebagai pulau terluar. Ia berharap pemerintah tak hanya memperhatikan pulau yang sudah ditetapkan, tapi juga pulau-pulau kecil yang terancam hilang karena abrasi. “Pulau itu menjadi tonggak batas negara juga aset negara dan destinasi wisata,” tuturnya.
Pulau Putri di Kecamatan Nongsa, Kota Batam, pulau terluar lain yang berhadapan dengan Singapura, juga mengalami abrasi parah dan pernah tenggelam oleh air laut pasang. Yurna, penghuni Pulau Putri, masih ingat bencana ini meskipun lupa tahun pastinya. Semua pulau seluas 6 hektare itu, kata Yurna, tertelan air laut. Kejadian serupa terulang pada 2016. “Air sampai ke atas ini,” ucap Yurna, menunjuk dinding rumahnya yang berada di tengah pulau itu.
Fitriyeni, warga yang menetap di sana sejak 1970, mengatakan Pulau Putri kini menjadi tiga gugusan. “Saya kira (lebar) pesisir pulau sudah hilang 20 meter,” ujar perempuan yang disapa Upik itu. Penelitian Nineu Yayu Geurhaneu dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Kelautan, di Jurnal Geologi Kelautan pada November 2016, mendukung perkiraan Upik. Melalui analisis data satelit 2000-2016, Nineu menemukan abrasi menciutkan Pulau Putri dari 31.374 meter persegi menjadi 24.266 meter persegi.
Abrasi masih terjadi meski Balai Wilayah Sungai Sumatera IV Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat telah membangun tanggul penahan ombak dan mengeraskan pantai di sekeliling pulau destinasi wisata itu. Ombak besar yang digerakkan oleh angin utara dan barat merusak tanggul yang dibangun lima tahun lalu tersebut. “Awal 2020, ombak membuat tanggul ini putus,” kata Safrudin yang tinggal di Pulau Putri.
Reklamasi Pulau Putri tidak berjalan semulus di Pulau Nipa. Menurut Yudi, sejak 2003, pemerintah pusat langsung mereklamasi pulau di Selat Singapura yang sekarang menjadi pangkalan perbatasan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut itu, setelah mengetahui ada potensi tenggelam karena abrasi. “Kalau Nipa, Pelampong, dan Batu Berhenti sudah direklamasi semua. Abrasinya sudah tidak parah di ketiga pulau itu,” ujar Yudi.
Abrasi di Pulau Nipa juga menjadi perhatian Noir Primadona Purba, pengajar dan peneliti dari Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Padjadjaran, Bandung. Bersama koleganya, Muhamad Maulana Rahmadi dan Ibnu Faizal, ia mengamati garis pantai Nipa yang terus berkurang sejak 2011. Mereka menemukan air laut melahap daratan Nipa sebesar 3.409 meter persegi per tahun selama 1993-2009. “Kami belum tahu penyebabnya. Kemungkinan besar karena kenaikan muka laut,” kata Noir, Ahad, 20 Februari lalu.
Selain Nipa, tim mengkaji kondisi 19 pulau kecil dari 111 nusa terluar pada 2021 dengan menggunakan data satelit Landsat 7, Landsat 8, dan Sentinel 2 selama 20 tahun. Tujuan penelitian itu adalah mengetahui kerentanan pulau-pulau kecil akibat krisis iklim. Mereka menggunakan peranti lunak Coastsat untuk mendeteksi garis pantai dan Quantum Geographic Information System untuk mengolah data garis pantai menjadi luasan pulau.
Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa rata-rata pengurangan luas pulau-pulau kecil itu sebesar 5,08459 persen, dengan kelas kerentanan yang dominan adalah sedang. “Kerentanannya dari rendah sampai sedang, tak ada yang tinggi,” kata Muhamad Maulana Rahmadi. Satu-satunya pulau yang memiliki kerentanan kritis adalah Pulau Iyu Kecil di Selat Malaka, Kabupaten Karimun, Kepulauan Riau. Luas pulau ini berkurang 32,13774 persen (0,008733 kilometer persegi) dalam waktu 19 tahun.
•••
ABRASI dan gelombang pasang termasuk bencana alam hidrometeorologi basah, selain banjir, puting beliung dan angin kencang, serta tanah longsor. Menurut Abdul Muhari, Kepala Pusat Data Informasi dan Komunikasi Kebencanaan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), angka kejadian bencana terus naik dari tahun ke tahun. “Didominasi oleh bencana hidrometeorologi basah,” kata Abdul Muhari melalui pesan WhatsApp, Kamis, 17 Maret lalu.
Menurut data BNPB, sepanjang 2021 terjadi 5.402 bencana alam di Indonesia. Untuk bencana hidrometeorologi basah rinciannya adalah 1.794 kejadian banjir, 1.577 puting beliung, 1.321 tanah longsor, serta 91 gelombang pasang dan abrasi. Abdul Muhari menjelaskan, setiap kejadian atau fenomena alam dicatat sebagai bencana apabila menyebabkan korban jiwa atau kerugian harta benda.” Jika tidak membawa korban jiwa atau harta benda, masih berupa fenomena alam,” tuturnya.
Boleh jadi terdapat pulau-pulau kecil lain yang mengalami abrasi dan tenggelam, tapi tidak masuk basis data kebencanaan BNPB karena tidak berpenghuni atau belum terdata. Menurut Sekretaris Jenderal Kementerian Kelautan dan Perikanan Antam Novambar, sulit mengatakan jumlah pulau kecil yang telah hilang. “Dari 17.504 pulau di Indonesia, baru 16.771 pulau yang telah tercatat di PBB dan Gazeter Republik Indonesia 2020. Sisanya masih dalam proses identifikasi,” ucap Antam melalui jawaban tertulis.
Sepuluh dari 19 pulau-pulau kecil terluar yang dikaji oleh tim Universitas Padjadjaran, ternyata belum masuk Gazeter Republik Indonesia Edisi 1 Tahun 2021 yang diterbitkan Badan Informasi Geospasial pada Desember 2021. Kesepuluh pulau itu adalah Pulau Batu Kecil, Budd, Dolangan, Iyu Kecil, Mangudu, Meatimiarang, Mio Su, Nukaha, Simeulucut, dan Workbondi. Yang sudah masuk adalah Pulau Batek, Berhala, Biawak, Dana, Miangas, Panjang, Rondo, Sekantung, dan Senua.
Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) menganggap penting pulau-pulau kecil sehingga memasukkannya pada bab tersendiri. Laporan yang dirilis pada Senin, 28 Februari lalu, itu bagian kedua dari Laporan Penilaian Ke-6. Dalam laporan bertajuk “Dampak, Adaptasi, dan Kerentanan”, IPCC memberi kepercayaan sangat tinggi kepada penelitian yang menyatakan pulau-pulau kecil makin terpengaruh oleh kenaikan suhu, siklon tropis, gelombang badai, kekeringan, perubahan curah hujan, dan kenaikan muka air laut.
IPCC memandang fenomena tersebut penting karena sebagian besar populasi dunia, kegiatan ekonomi, dan infrastruktur penting terkonsentrasi di dekat laut. Hampir 11 persen populasi global atau sekitar 896 juta orang tinggal di pesisir berelevasi rendah yang secara langsung berpotensi mengalami bencana, seperti abrasi, gelombang pasang, dan rob.
Sebagai negara kepulauan, terlebih lagi mayoritas pulau (sekitar 13 ribu) merupakan pulau kecil, Indonesia termasuk yang berkepentingan dengan laporan IPCC ini. Penelitian Heri Andreas dari Tim Geodesi Institut Teknologi Bandung menemukan 112 kota dan kabupaten terancam berkurang daratan pesisirnya. Sebanyak 50 lokasi, seperti Probolinggo, Pekalongan, Tangerang utara, Muaragembong-Bekasi, Subang, Indramayu, Kubu Raya, Katingan, Meranti, Siak, dan Dumai, sedang bermasalah dengan rob. “Desa Pasir Jaya di Muaragembong sekarang 1 kilometer di laut. Desa Seni di Demak sudah 2 kilometer di laut, sedangkan Desa Semut sudah hilang,” ujarnya.
Adapun di Sumatera genangan air laut bisa sejauh 5-10 kilometer karena pantainya sangat landai dan tidak berbukit. Menurut Heri, kontribusi kenaikan muka air laut dalam bencana rob dinilai kecil. Tinggi muka laut naik sekitar 6 milimeter-1 sentimeter per tahun. Sementara itu, laju penurunan tanah 10-20 sentimeter per tahun. “Itu yang menyebabkan rob muncul secara masif,” kata Heri. Penurunan tanah itu bisa gara-gara penyedotan air tanah atau aktivitas sumur-sumur minyak tua.
Edvin Aldrian, Wakil Ketua Kelompok Kerja I IPCC, mengatakan laporan yang dibuat oleh Kelompok Kerja II IPCC tersebut mengambil fokus pada dampak, adaptasi, dan kerentanan perubahan iklim. Adaptasi, menurut dia, berarti perubahan iklim sudah terjadi dan tidak bisa ditolak lagi. “Contohnya, kenaikan muka air laut sudah menggenangi pantai. Maka kita beradaptasi dengan meninggikan rumah, mendirikan rumah panggung, menanam bakau, atau membangun tanggul laut,” ucapnya.
Tapi para peneliti—dalam laporan setebal 3.675 halaman itu—mengingatkan agar program adaptasi yang dilakukan jangan malah kontraproduktif atau maladaptasi. “Misalnya, membangun tanggul laut dengan mengorbankan hutan bakau atau terumbu karang,” tutur Edvin. “Aksi adaptasi yang baik itu seperti menanam bakau atau memproteksi ekosistem pesisir.” Kekhawatiran lain, ujar Edvin, aksi adaptasi terlambat karena baru dilakukan ketika lingkungan sudah tidak bisa diperbaiki lagi.
Koordinator Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Asia Tenggara, Tata Mustasya, mengatakan program adaptasi perubahan iklim harus difokuskan untuk membantu kelompok rentan, yakni perempuan, anak-anak, orang lanjut usia, dan penyandang disabilitas serta masyarakat miskin. Dan agar ada pendanaan untuk adaptasi, kata dia, “Negara-negara maju harus melaksanakan komitmennya membayar kerugian dan kerusakan akibat krisis iklim.”
DODY HIDAYAT, DINI PRAMITA, ANWAR SISWADI (BANDUNG), YOGI EKA SAHPUTRA (BATAM)
Liputan ini merupakan kolaborasi Tempo dan Tempo English dengan dukungan Institute for Climate and Sustainable Cities dan Asia Comms Lab.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo