Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

lingkungan

Mimpi Hijau Sunda Hejo

Paguyuban Tani Sunda Hejo bermula dari kerisauan pencinta lingkungan di Garut, Jawa Barat. Kini memiliki usaha koperasi kopi yang merambah ke luar negeri.  

 

4 September 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Bagaimana para pecinta alam di Jawa Barat mendirikan paguyuban Sunda Hejo.

  • Menghijaukan kembali gunung gersang.

  • Berkembang menjadi sekolah petani dan lingkungan.

HAMZAH Fauzi Nur Amin tak pernah membayangkan paguyuban yang ia dirikan bersama para pencinta lingkungan di Garut, Jawa Barat, pada 2006 itu akan berkembang dan memiliki bisnis kopi dengan skala ekspor. Kini, nama paguyuban itu, Sunda Hejo, menjadi merek kopi yang diproduksi oleh Koperasi Klasik Bean. “Kegiatan awalnya dulu adalah penanaman pohon untuk pengamanan kawasan hutan,” tutur Hamzah, yang menjadi salah satu pendiri paguyuban dan sekretaris koperasi tersebut, Kamis, 2 September lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Saat ini, ada sekitar 1.800 keluarga petani kopi yang dibina, dengan luas lahan mencapai 2.600 hektare tersebar di Gunung Mandalawangi, Gunung Guntur, Gunung Papandayan, Gunung Cikurai, Gunung Karaha Bodas, dan Gunung Cihurang. Sebelumnya, lahan yang mereka kelola berstatus pengelolaan hutan bersama masyarakat yang izinnya diperbarui setiap tiga tahun. Kini sebagian besar lahan berupa perhutanan sosial dengan masa berlaku 35 tahun setelah ada keputusan presiden soal perhutanan sosial pada 2018.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sunda Hejo mulai memperkenalkan bibit kopi yang ditanam di kawasan hutan pada 2008, dua tahun setelah paguyuban ini berdiri. Penanaman kopi itu juga membantu menjaga tutupan hutan. Berbeda dengan komoditas lain, kopi butuh pencahayaan matahari sekitar 35 persen. Dari semula harga buah ceri—biji kopi—seharga Rp 2.900 per kilogram, sekarang harganya sudah tembus Rp 9.000 per kilogram. “Kopinya juga sudah diekspor ke berbagai negara. Per tahun bisa sampai enam-tujuh kontainer,” ujar Hamzah.

Cerita sukses kopi Sunda Hejo dan penanaman kembali hutan (reforestasi) ini bermula pada 2006 saat para pencinta alam dan aktivis lingkungan di Jawa Barat bersepakat untuk membentuk paguyuban tersebut. Cukup banyak yang terlibat dalam pendirian ini, termasuk Hamzah, Deni Glen, dan Eko Purnomowidi. Para pencinta alam ini sebelumnya sudah kerap bertemu dalam sejumlah kegiatan penanganan bencana alam.

Hamzah sendiri punya pengalaman buruk di desanya, Mandalasari, Garut, yang berada di Lereng Gunung Mandalawangi. Pada 28 Januari 2003, bencana tanah longsor di area pegunungan itu menewaskan setidaknya 20 orang dan menghancurkan sedikitnya 165 rumah. “Longsor terjadi karena kerusakan di hulunya,” katanya. Setelah kasus itu terjadi, ada gerakan untuk melakukan penanaman pohon di area kritis di gunung yang lokasinya masuk wilayah Kabupaten Bandung dan Garut tersebut.

Kegiatan awal paguyuban, ucap Hamzah, adalah membagi-bagikan bibit pohon endemik, seperti puspa, rasamala, mangli, dan sihujan. Ini adalah kegiatan yang juga sudah dilakukan sebagian para pendiri paguyuban tersebut sebelumnya. Hamzah sudah melakukannya sejak masih menjadi mahasiswa Jurusan Teknik Industri di Universitas Winaya Mukti, Bandung. Karena tak punya modal, bibit dibagikan dengan memanfaatkan barang bekas karena mereka tak punya modal untuk membeli polibag.

Setelah program bagi-bagi bibit itu berjalan, pengurus Sunda Hejo menyadari bahwa masyarakat perlu kegiatan yang juga punya nilai ekonomi. “Kalau menanam kayu, itu tidak menjadi solusi untuk menjaga kawasan hutan, karena tidak ada sisi ekonominya,” ujar Hamzah. Saat itulah kemudian muncul ide untuk mengembangkan kopi, pada 2008. Kopi dipilih karena merupakan komoditas yang bisa dikembangkan di dataran tinggi dan bisa berdampingan dengan pohon lain di hutan.

“Karena sering kasih bibit ke masyarakat, mereka datang ke kita minta pertanggungjawaban agar kopinya dibeli,” ucap Hamzah. Untuk menjawab tuntutan masyarakat itu, lalu muncul ide membuat koperasi. “Karena bukan pelaku usaha, enggak punya modal juga, akhirnya gotong royong mendirikan koperasi.” Koperasi Klasik Beans dibentuk pada 2009, terdaftar di dinas koperasi dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia pada tahun berikutnya.

Begitu koperasi sudah berjalan, mulai ada upaya untuk memperluas pemasaran, termasuk ekspor. Peluang itu pertama kali datang pada 2011. Pembeli pertama kopi Sunda Hejo adalah orang California, Amerika Serikat. Tapi, karena baru mulai dan stok kopinya juga terbatas, koperasi hanya bisa mengekspor enam kuintal kopi meski kapasitas kapal kargo sekitar tiga ton.

Petani dari Paguyuban Tani Sunda Hejo melakukan perawatan tanaman di Gunung Mandalawangi, Kecamatan Kadungora, Garut, Jawa Barat, November 2019/TEMPO/Prima Mulia

Pada tahun itu, menurut Hamzah, kopi memang belum begitu menjanjikan. Kalau disebut titik balik, itu terjadi pada 2013. Saat itu harga kopi di dunia terus membaik. Jumlah petani yang ikut juga terus bertambah. Jika pada awal 2010 jumlah petani kopi yang bergabung 60 orang, kini menjadi lebih dari 1.800 orang dan tersebar di Kabupaten Bandung dan Garut.

Saat usaha kopi berkembang, reforestasi juga berjalan. Menurut Hamzah, Sunda Hejo secara rutin melakukan reforestasi sejak 2015 di area hutan yang kritis. Tidak semua reforestasi dilakukan di area yang berada di lahan petani binaan mereka. Jadwal rutin penanaman kembali itu dijalankan pada musim hujan: November-Januari. Jumlah yang terlibat dalam reforestasi tiap tahun bisa sampai 1.200 orang, dengan luas lahan rata-rata 150 hektare, dengan bibit sebanyak 150 ribu.

Pada November 2020-Januari 2021, reforestasi seluas 85 hektare dilakukan di Blok Leungtiis, Blok Patrol (Garut), dan sekitar 60 hektare di Blok Cimehmel, Gunung Puntang (Kabupaten Bandung). “Karena masa pandemi, jumlah peserta yang ikut program reforestasi ini kurang dari 200 orang,” ucap Hamzah.

Selain reforestasi, yang menjadi perhatian Sunda Hejo adalah regenerasi petani. Inilah yang menginspirasi lahirnya Sekolah Lapang yang dikelola Yayasan Tanah Air. Kepala Sekolah Lapang Eka Yudha Dharmana mengatakan, menurut riset Sunda Hejo, 80 persen petani kopi binaan mereka berusia lebih dari 50 tahun. “Kerisauan lain adalah banyak anak muda di desa yang memilih bekerja di kota, bekerja di pabrik, supermarket,” kata Hamzah.

Jumlah peserta angkatan pertama Sekolah Lapang ini sebanyak 40 orang. Sekolahnya dimulai pada September tahun lalu dan lulusannya akan diwisuda akhir September ini. Menurut Eka, materi yang diajarkan beragam, dari soal pentingnya lingkungan, reforestasi, pembibitan, usaha kopi, hingga pemanfaatan teknologi untuk pendataan tanaman serta menghitung luas lahan dengan global positioning systems (GPS). Siswa yang diundang adalah anak dari petani yang dibina Sunda Hejo.

Melani, 17 tahun, dari Mandalasari, Garut, salah satu siswanya. Ayahnya adalah petani sayuran. Ia mengikuti sekolah itu karena anjuran pamannya. Menurut Melani, kelasnya diadakan dua pekan sekali, menggabungkan antara materi dan praktik di lapangan, termasuk penanaman pohon. “Kelasnya mengajarkan banyak hal, dari soal kopi hingga peduli lingkungan,” katanya, Selasa, 31 Agustus lalu.

Siswa lain adalah Adam Siva Kusdinar, 21 tahun, warga Desa Sirnajaya, Kecamatan Cisurupan. Setelah mengikuti sekolah itu, ia mengaku langsung mempraktikkan ilmunya. Di kebun kopi milik orang tuanya seluas satu hektare ia menerapkan penyemaian dan perawatan. Hasilnya menggembirakan. Lahan 140 meter persegi garapannya menghasilkan 5-6 kuintal ceri kopi. Padahal biasanya hasilnya hanya tiga kuintal. “Saya menerapkan semua yang diperoleh di sekolah alam, salah satunya penggunaan pupuk kompos dan organik,” ujar Adam.

Sekolah Alam yang berlangsung setahun itu gratis. Menurut Hamzah, untuk sekolah itu dia mendapatkan banyak bantuan. Ada bantuan peralatan, sumbangan pemateri, dan ada juga donasi ke yayasan saat peluncuran sekolah tahun lalu. Selain itu, setiap tahun ada keuntungan dari koperasi yang diserahkan ke yayasan. Selain menangani sekolah, yayasan Tanah Air mengkoordinasikan program reforestasi. “Pembibitan itu juga butuh biaya cukup besar,” tuturnya.

Hamzah menambahkan, tujuan utama Sekolah Lapang antara lain mengajarkan idealisme hutan kepada para penerus petani itu. Hutan tidak hanya menjadi sumber mata air dan oksigen, tapi juga kehidupan ekonomi. Soal apakah mereka akan mengikuti jejak orang tuanya menjadi petani, itu tidak bisa dipaksakan. “Semuanya diserahkan kepada minat masing-masing,” dia menambahkan.

ANWAR SISWADI (BANDUNG), SIGIT ZULMUNIR (GARUT)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus