Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pemerintah memasukkan soal pajak karbon ke RUU Ketentuan Umum Perpajakan.
Sebagai pajak baru, ketentuan pajak karbon sepatutnya diatur dalam undang-undang tersendiri.
Prinsip dasar pajak karbon untuk mendorong perubahan perilaku ramah lingkungan, bukan buat menambah pendapatan.
MENTERI Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam rapat kerja dengan komisi Dewan Perwakilan Rakyat yang membidangi keuangan pada Selasa, 29 Juni lalu, menyampaikan niat untuk menerapkan pajak karbon tahun depan. Pajak karbon, menurut Sri, buat mengurangi emisi karbon yang berdampak negatif bagi lingkungan. Rencana ini mengundang reaksi. Kalangan aktivis lingkungan hidup menyebut ini hanya salah satu cara mengurangi emisi yang harus disertai kebijakan lain, seperti stop memakai bahan bakar fosil, yang menghasilkan emisi karbon terbesar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak Neilmaldrin Noor mengatakan soal pajak karbon dimasukkan ke revisi Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP). "Belum ada dasar regulasi untuk mengenakan pungutan atas emisi karbon," kata Neilmaldrin, Rabu, 18 Agustus lalu. RUU KUP, yang masuk Program Legislasi Nasional Prioritas 2021, sudah memasuki tahap pembahasan: pembicaraan tingkat pertama di DPR.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menanggapi rencana penerapan pajak karbon, Manajer Kampanye Keadilan Iklim Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Yuyun Harmono mengatakan ini langkah baik yang seharusnya dilakukan jauh-jauh hari seperti di sejumlah negara. "Dalam ekonomi, sering kali tidak dimasukkan eksternalitas (konsekuensi) negatif dalam biaya. Adanya pajak karbon harapannya orang tidak berpikir bisa seterusnya menghasilkan emisi tanpa ada biaya ekonomi yang ditanggung," ucapnya, Kamis, 19 Agustus lalu.
Inayati, pengajar Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, mengatakan soal eksternalitas negatif kurang menjadi perhatian pasar karena orientasi utamanya adalah mengejar keuntungan. "Kalau ini tidak diintervensi pemerintah, pasar akan terus berlangsung seperti itu," ujarnya. Pemerintah memiliki sejumlah cara untuk campur tangan mengatasi hal ini. Dalam perpajakan, yang bisa dilakukan adalah dengan mekanisme insentif dan disinsentif.
Dalam konteks perubahan iklim, kata Inayati, insentif bisa dilakukan dengan memberi pengurangan pajak untuk industri yang ramah lingkungan, yang menggunakan energi terbarukan, atau yang menerapkan prinsip ekonomi hijau. Sebaliknya dengan disinsentif. Salah satunya dengan pajak karbon. "Pajak karbon didesain untuk menghukum penghasil polusi," tuturnya. Uang hasil pajak karbon, menurut dia, idealnya untuk mengatasi masalah yang ditimbulkan oleh emisi karbon.
Dalam draf RUU KUP yang terdapat di situs web DPR, pajak karbon akan diterapkan untuk aktivitas yang menghasilkan emisi karbon yang berdampak negatif bagi lingkungan hidup. Subyek pajak ini adalah pribadi atau badan yang membeli barang mengandung karbon atau melakukan aktivitas yang menghasilkan emisi. Draf itu tidak menyebutkan sektor apa saja yang akan dikenai pajak, termasuk mekanismenya. "Pengaturan lebih lanjut melalui peraturan Menteri Keuangan," ujar Neilmaldrin Noor.
Tarif pajak karbon, seperti tertera dalam draf rancangan undang-undang itu, ditetapkan paling rendah sebesar Rp 75 per kilogram setara karbon dioksida (CO2e). Menurut Neilmaldrin, pemerintah melihat pengenaan pajak serupa di beberapa negara lain, seperti Jepang, Singapura, Kolombia, Spanyol, Prancis, dan Cile. "Pemerintah juga telah menyesuaikan benchmark tersebut dengan kondisi di Indonesia," ucapnya.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform Fabby Tumiwa menilai pajak karbon merupakan salah satu cara untuk mengurangi emisi karbon. Namun dia mengingatkan bahwa tujuan dasarnya adalah untuk mendorong aktor ekonomi melakukan perubahan menuju sistem yang rendah karbon. "Karena itu, kita harus mengaitkan ini dengan target emisi gas rumah kaca menuju dekarbonisasi," katanya, Jumat, 13 Agustus lalu.
Menurut Fabby, yang juga harus dilakukan adalah memetakan sumber penghasil emisi, apakah dari sektor hutan dan lahan, energi, pembangkit, transportasi, atau pembakaran sampah. Fabby memberi contoh kelapa sawit. Jika dianggap sebagai penyumbang emisi yang besar, pembukaan lahan tanaman itu tidak boleh sembarangan serta menggunakan teknologi lebih baru dan varietas lebih unggul. "Atau dikenai pajak karbon," ujarnya.
Inayati mengingatkan hal yang sama. Menurut dia, pajak karbon bukan untuk mendapatkan penerimaan negara. "Ini adalah instrumen untuk mengubah perilaku industri agar lebih ramah lingkungan. Kalau tak mau ramah lingkungan, dia harus menanggung pajak," tutur doktor ilmu administrasi Universitas Indonesia itu.
Yuyun Harmono menambahkan, penerapan pajak karbon juga harus sinkron dengan kebijakan pengurangan emisi lain. Misalnya semua kegiatan yang menyumbang gas rumah kaca harus dihentikan. Salah satu saran dari Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC), kata Yuyun, adalah secepatnya meninggalkan energi fosil karena menjadi penyumbang gas efek rumah kaca terbesar. "Itu harus jalan bersama," dia menambahkan.
Titi Muswati Putranti dari Tax Centre Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia mengatakan, lembaganya melakukan kajian selama setahun soal pajak karbon, termasuk membuat perbandingan dengan negara yang sudah menerapkannya, seperti Jepang. Rekomendasi pertama dari penelitian itu adalah perlunya pemerintah menyempurnakan instrumen yang ada.
Saat ini, menurut Titi, Indonesia sudah mengenakan pajak yang dapat dikaitkan dengan upaya penurunan emisi. Antara lain, pajak pertambahan nilai (PPn) atas bahan bakar minyak dan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) untuk kendaraan bermotor. Di daerah juga ada pajak kendaraan bermotor dan bea balik nama kendaraan. "Kalau ada pajak karbon, pajak yang sudah ada bagaimana? Apakah tidak menjadi double?" ujarnya, Kamis, 19 Agustus lalu.
Titi juga mengingatkan bahwa pajak karbon untuk mengubah perilaku produsen. Walaupun nanti ada penerimaan, seharusnya hasilnya dibelanjakan untuk kegiatan memperbaiki lingkungan. "Jangan sampai penerimaannya untuk membiayai pengeluaran umum. Harus didedikasikan pada masalah lingkungan," katanya. Dalam draf RUU KUP, soal pemanfaatannya ditulis "Penerimaan dari pajak karbon dapat dialokasikan untuk pengendalian perubahan iklim".
Sorotan lain dari pajak karbon adalah pada penempatannya dalam RUU KUP, yang selama ini biasanya mengatur ketentuan umum. "Sebagai satu jenis pajak, itu perlu diatur dalam undang-undang sendiri, seperti PPn, PPH, dan PBB," ujar Titi. Dia menangkap kesan bahwa pemerintah ingin cepat mengenakan pajak ini sehingga saat ini dimasukkan saja ke RUU KUP, sehingga membuatnya seperti undang-undang sapu jagat.
Pemerintah menyadari ada kontroversi soal ini dan membuka diri untuk menerima masukan. Meski kabar yang beredar menyebutkan bahwa pajak karbon akan diterapkan tahun depan, Neilmaldrin Noor mengatakan, "Sejauh ini kami belum menyatakan pajak karbon akan diberlakukan tahun depan karena hal ini tengah dibahas bersama DPR." Dia menambahkan, pemerintah juga berhati-hati agar pajak karbon tidak memberatkan konsumen.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo