Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Maraknya pembangunan dan perambahan liar mengancam kawasan hutan lindung Teluk Youtefa.
Selain warga setempat, sejumlah pejabat Papua ditengarai memiliki bangunan di tepi pantai Holtekamp yang termasuk kawasan lindung.
Proyek pembangunan venue dayung untuk Pekan Olahraga Nasional 2021 dinilai dapat menggerus ekosistem teluk.
UMBUL-umbul berkibar di depan lahan di simpang tiga Jalan Abepura-Keerom di tepi pantai Holtekamp, Kota Jayapura, Papua, pada pertengahan Agustus lalu. Di dalam lahan berdiri bangunan menyerupai bungalo yang belum rampung tapi sudah dilengkapi instalasi listrik. Dindingnya dihiasi gambar burung cendrawasih dan atapnya berkelir hijau. Di seberangnya berjejer lapak-lapak pedagang.
Bangunan dan lahan seluas sekitar 1 hektare itu tertutup untuk publik. Seorang penjaga lahan menyatakan bangunan itu adalah milik Wakil Gubernur Papua Klemen Tinal. “Untuk pribadi,” kata si penjaga. Kepala Kampung Enggros, Distrik Abepura, Origenes Meraudje, membenarkan bahwa bangunan bungalo di Pantai Holtekamp yang berdekatan dengan wilayahnya itu adalah milik Klemen Tinal. “Itu di lokasi bekas dusun sagu dan kelapa-kelapa,” kata Meraudje pada Kamis, 20 Agustus lalu.
Klemen Tinal tak menjawab ketika ditanyai soal status bangunannya di lahan di tepi jalan Pantai Holtekamp. Dia langsung melenggang cepat saat ditemui selepas perayaan Hari Kemerdekaan Ke-75 Republik Indonesia di Sasana Krida, Kota Jayapura, pada 17 Agustus lalu. “Pembangunan apa?” kata Klemen sambil melangkah menuju lantai satu kantor Gubernur Papua untuk mengikuti siaran langsung upacara peringatan kemerdekaan dari Jakarta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sepekan setelah perayaan kemerdekaan, pesta besar digelar di bungalo itu. Baliho berisi ucapan ulang tahun ke-50 untuk Klemen terpancang di depan bangunan. Masyarakat tumpah ruah memenuhi jalan Pantai Holtekamp untuk menikmati pesta. Foto Klemen terpasang bersanding dengan Gubernur Papua, Lukas Enembe, dan pelaksana tugas Sekretaris Daerah M. Ridwan Rumasukun. Para undangan memenuhi area bungalo, disuguhi nyanyian dan tarian tradisional dari Sanggar Seni Saireri Bhayangkara I Jayapura.
Para pedagang ikut kecipratan rezeki. Di tepi jalan itu ada setidaknya 100 lapak pedagang. Seorang perempuan penjaga lapak menyebutkan para pedagang di sana dipindahkan dari kawasan jalan raya Abepura-Keerom. Mereka membayar uang sewa Rp 500 ribu setiap bulan namun membangun lapak dagangannya sendiri. “Wali Kota izinkan membangun di sini, asal jangan dekat tiang listrik dan badan jalan,” kata dia.
Lahan di sepanjang pesisir Teluk Youtefa, termasuk jalan yang membelah Pantai Holtekamp, berada di kawasan hutan lindung Papua. Jalur itu menyambung dengan Jembatan Youtefa hingga jalan lingkar Jayapura yang juga berada di kawasan hutan lindung. Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2014 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah 2013-2033 menyebutkan hutan lindung Kota Jayapura seluas 6.634 hektare. Kawasan itu mencakup hutan lindung Abepura, hutan lindung Bougenville (Muara Tami), dan hutan lindung Teluk Youtefa.
Kawasan Teluk Youtefa sebelumnya merupakan Taman Wisata Alam. Statusnya diubah menjadi kawasan hutan lindung dan taman wisata alam pada 2019, menyusul pembangunan Jembatan Youtefa yang menghubungkan kawasan Pantai Holtekamp dan jalan lingkar menuju Jayapura. Area di sisi kiri dan kanan jalan, yang lebarnya mencapai 500 meter, juga merupakan kawasan hutan lindung. Adapun kawasan laut di teluk masuk area Taman Wisata Alam Teluk Youtefa.
Makin terbukanya akses jalan Hamadi-Holtekamp yang membelah lokasi hutan lindung Teluk Youtefa membuat perambahan lahan meningkat. Puluhan bangunan, ruko, dan lapak pedagang berdiri di kawasan itu. Sebagian lahan ada yang sudah dikaveling dengan menimbun karang. Salah satu lahan yang dikaveling dipasangi penanda bertulisan “Tanah Ini Akan Dibangun Gedung Gereja GBDP Jemaat Marguni Pantai Holtekamp Jayapura”.
Sejumlah pejabat Papua diduga memiliki bangunan di kawasan hutan lindung itu. Sekitar 100 meter dari bangunan yang diduga milik Klemen Tinal, berdiri struktur bertembok beton yang diapit dua bangunan dari kayu. Tak ada papan keterangan proyek. Di sisi depan hanya ada tulisan “88”. Penduduk setempat menyebut bangunan itu milik keluarga Gubernur Lukas Enembe. Seorang pegawai Badan Pertanahan Nasional Kota Jayapura juga menyatakan ada kerabat Lukas yang menjadi pemilik bangunan. Hingga Jumat, 2 Oktober lalu, Lukas belum bisa dimintai konfirmasi atau ditemui karena sedang sakit.
Bekas Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Anak, Yohana Yembise, juga disebut-sebut memiliki kaveling lahan di kawasan hutan lindung itu. Namun dia juga belum memberikan penjelasan atas pertanyaan yang diberikan. “Ibu sakit,” ujar salah satu saudaranya ketika ditemui di kediamannya pada Jumat sore, 16 Agustus lalu. Hingga pekan lalu, Yohana yang juga menjadi dosen di Universitas Cendrawasih itu masih belum bisa dihubungi.
Hasil penelusuran di lapangan menunjukkan kawasan hutan lindung Teluk Youtefa telah dirambah dan berisi banyak bangunan. Tiga dari empat lokasi titik koordinat global positioning system bangunan dan ruko di pesisir Teluk Youtefa yang dikonfirmasi ke Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah X Jayapura pada 23 Juli lalu juga berada di dalam kawasan hutan lindung. Termasuk di antaranya bangunan yang disebut dimiliki Klemen Tinal dan keluarga Lukas Enembe.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pembangunan di wilayah hutan lindung youtve-hamadi di tepi pantai Holtekamp, Jayapura, Papua, Juli 2020. Jubi/Tempo/Engel Wally
Menurut Kepala Bidang Sarana dan Prasarana Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Jayapura, Dolfina Jece Mano, kawasan timur di Distrik Muara Tami terus dikembangkan, termasuk Jembatan Youtefa yang diresmikan Presiden Joko Widodo pada 28 Oktober tahun lalu.
Dolfina mengatakan pembangunan jembatan itu sesuai dengan kajian dampak lingkungan. Belakangan, makin marak pembukaan lahan dan hutan serta pembangunan fisik. “Menurut peruntukan memang kawasan dilindungi, tapi kenyataan di lapangan sudah berubah,” kata dia pada 28 Juli lalu.
Untuk bisa membangun, masyarakat harus mengajukan permohonan izin ke kepala kampung hingga pemerintah daerah. Proyek dalam skala besar bahkan sampai harus melibatkan perizinan hingga ke Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Rekomendasi baru bisa dikeluarkan jika rencana pembangunan sesuai dengan tata ruang daerah. “Kalau tidak sesuai, kami tolak. Tapi di lapangan tidak seperti itu,” kata Dolfina.
Dolfina mengakui ada kendala dalam menertibkan perizinan karena ada pihak yang sudah membangun lebih dulu. Mereka hanya membuat kesepakatan dengan penguasa ulayat sebelum mengajukan permohonan izin ke pemerintah daerah. Menurutnya, bangunan dan ruko di pesisir Teluk Youtefa menyalahi aturan. “Kadang kendalanya di lapangan masyarakat bilangnya sudah ada sertifikat,” ujar dia.
Masalah lain muncul di Teluk Youtefa dari pembangunan venue dayung untuk Pekan Olahraga Nasional 2021. Venue ini terletak sekitar 300 meter dari Jembatan Youtefa. Sejak awal Juli lalu, proyek venue dayung dengan lintasan sepanjang 2 kilometer ini sudah digarap. Para pekerja, truk, dan ekskavator dikerahkan untuk membawa tumpukan batu dan karang guna menimbun sebagian laut dan hutan bakau. Pohon-pohon sagu, cemara, pandan, dan mangrove di sisi kiri-kanan jalan ditebang dan diuruk timbunan karang. Lintasan dayung pun bakal dikeruk hingga 3 meter. Lokasi itu juga akan dilengkapi pengaman pantai menggunakan struktur besi dan beton.
Pembangunan venue dayung itu sempat menuai protes masyarakat. Pada awal Juli lalu, warga Kampung Enggros menutup lokasi proyek dan menuntut ganti rugi tanah. Kepala Dinas Pemuda dan Olahraga Provinsi Papua, Alex Kapisa, mengatakan tidak akan ada ganti rugi tanah karena yang ditimbun adalah laut. Dia menyebutkan Pemerintah Provinsi Papua hanya menyewa lokasi itu. “Lahan itu tidak kami beli, hanya disewa dari persiapan sampai pelaksanaan PON,” kata dia.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan Kota Jayapura, Ketty Kailola, mengatakan lokasi venue dayung dan bangunan-bangunan di sepanjang Pantai Holtekamp termasuk dalam area hutan lindung. Seharusnya tidak boleh ada aktivitas pembangunan di sana. “Kawasan itu tidak bisa dibangun dan belum ada analisis mengenai dampak lingkungan,” kata Kailola.
Menurut peneliti dan dosen Jurusan Perikanan dan Kelautan Universitas Cenderawasih, John Kalor, pengerukan membuat laut keruh dan mempengaruhi kadar oksiden di dalam air. Kondisi ini membawa dampak bagi pasokan oksigen untuk ikan dan biota laut. Sebagian terumbu karang juga terancam rusak dan mati. “Apalagi wilayah Teluk Youtefa memiliki lamun yang luas sehingga mempengaruhi ikan berkembang biak,” katanya.
Kepala Balai Wilayah Sungai Papua, Nimbrot Rumaropen, mengatakan venue dayung tadinya akan dibangun di tiga tempat, yaitu Sentani, Kabupaten Jayapura, dan Teluk Youtefa. Proyek akhirnya dipusatkan di Teluk Youtefa sesuai dengan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2020 tentang Percepatan Dukungan PON XX di Papua. Menurut Rumaropen, hak masyarakat akan tetap diperhatikan selama pembangunan berlangsung. “Kami minta dukungan masyarakat untuk menyukseskan PON,” kata dia.
Kepala Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Papua, Edward Sembiring, mengatakan kawasan mangrove yang terentang hingga 500 meter di sisi jalan itu termasuk wilayah hutan lindung yang merupakan kewenangan Dinas Kehutanan. BKSDA, menurut Sembiring, bertanggung jawab pada kawasan taman wisata alam dan area laut. Taman Wisata Alam Youtefa terdiri atas blok khusus seluas 38,6 hektare, blok pemanfaatan (1.391 hektare), blok perlindungan (294 hektare), blok religi (5,63 hektare), dan blok tradisional (78,61 hektare).
Wilayah kampung-kampung seperti Engross, Tobati, dan Nafri masuk di blok khusus. Blok pemanfaatan dipergunakan untuk pariwisata. Adapun blok tradisional berisi kawasan bakau yang dikenal sebagai Hutan Perempuan oleh masyarakat Kampung Enggros dan Tobati. “Kalau untuk kepentingan pembangunan ada perjanjian kerja sama,” kata Sembiring. “Kalau yang jual-beli ini yang rumit.”
Pembangunan venue PON di kawasan hutan lindung teluk youtefa, Jayapura, Papua, Juli 2020. Jubi/Tempo/Enggel Wally
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Jayapura, Rory Cony Huwae, tak menampik kabar maraknya penebangan mangrove, pohon sagu, pandan, hingga penimbunan karang di kawasan hutan lindung. Dia bahkan menyebut pembangunan venue dayung tak sesuai dengan prosedur. “AMDAL-nya bagaimana? Ini kan langsung saja. Ketika dicek, kita melakukan penundaan, ini program nasional. Sudah waktunya kita revisi tata ruang dengan adanya perkembangan ini,” kata Huwae.
Huwae menambahkan, pembangunan di wilayah dari kawasan Jembatan Youtefa hingga simpang tiga Pantai Holtekamp juga menyalahi aturan. Sebab, wilayah itu sudah jelas termasuk area hutan lindung. “Di situ cuma untuk kawasan lindung dan daerah resapan,” katanya pada 28 Juli lalu.
Bangunan-bangunan yang ada di sepanjang Jalan Holtekamp hingga Jembatan Youtefa dibuat tanpa izin. Kepala Dinas Penanaman Modal dan Perizinan Terpadu Satu Pintu Kota Jayapura, Yohanis Wemben, menyebut bangunan-bangunan itu melanggar aturan sempadan pantai dan jalan. Area proyek venue dayung untuk PON 2021 bahkan tidak memiliki izin mendirikan bangunan. “Nanti kami tertibkan,” ujarnya.
Badan Pertanahan Nasional Papua memastikan bangunan yang berdiri di area hutan lindung, termasuk venue dayung, tak memiliki sertifikat. Lembaga itu baru bisa mengeluarkan sertifikat jika pemohon mendapat rekomendasi dari Dinas Kehutanan dan Kementerian PUPR. Petugas BPN pun pasti akan mengecek ulang lokasi yang diajukan pemohon. “Kalau di hutan lindung, hutan kota, kami tidak bisa keluarkan sertifikat,” kata Emanuel Guntur Waromi dari Bidang Pengukuran dan Survei Lokasi BPN Papua.
Direktur Yayasan Pusaka Frangky Samperante menduga ada kongkalikong pejabat daerah yang membuat perambahan dan pembangunan di kawasan hutan lindung Teluk Youtefa meningkat. “Melanggar Undang-Undang Kehutanan dan Lingkungan Hidup, apalagi kalau hutan lindung perlu izin menteri dan DPR,” kata Frangky.
GABRIEL WAHYU TITIYOGA, TIMOTEUS MARTEN, DOMINGGUS A MAMPIOPER (JAYAPURA)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo