Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Penelitian terbaru tim riset kegempaan Institut Teknologi Bandung menemukan adanya zona kesenjangan seismik di selatan Pulau Jawa yang jika runtuh akan menimbulkan gempa magnitudo 9,1 dan memicu tsunami setinggi 20 meter.
Di dalam seismic gap itu ditemukan zona yang terkunci atau slip deficit dengan asumsi periode pengulangan 400 tahun. Namun gempa magnitudo 9,0 atau lebih besar belum tercatat dalam katalog sejarah gempa.
Hasil penelitian ini merupakan bahan penting untuk meningkatkan kesiap-siagaan masyarakat dan memperkuat desakan untuk menambah sistem peringatan dini tsunami yang masih jarang di selatan Jawa.
KABAR yang tidak sepenuhnya baru tentang akan adanya megathrust alias gempa besar yang memicu tsunami setinggi 20 meter di selatan Jawa membuat Ellyn gentar. Warga yang tinggal di pinggir Pantai Pangandaran, Jawa Barat, itu mengaku ngeri. “Semoga kita semua terhindar dari segala marabahaya,” tulis Ellyn di media sosial. Warganet lain, Fitri, memilih tak memberitahukan informasi itu kepada orang tuanya karena punya pengalaman buruk. “Pas terjadi gempa, mereka panik bukan main,” ujarnya.
Soal gempa besar itu kembali menjadi pembicaraan ramai setelah tim peneliti merilis hasil studi terbaru mengenai potensi gempa dan tsunami di pesisir selatan Jawa. Potensinya memang mencengangkan: kekuatan gempanya magnitudo 9,1 dan bisa memicu tsunami setinggi 20 meter di Banten dan Jawa Barat serta 12 meter di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sebagai perbandingan, dalam bencana gempa dan tsunami di Aceh pada 2004, kekuatan gempanya magnitudo 9,3, ketinggian tsunami 15-30 meter, dan lebih dari 170 ribu orang tewas.
Informasi yang menimbulkan kerisauan publik itu membuat Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) turun tangan menenangkan keadaan. Kepala Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami BMKG Daryono mengatakan belum ada teknologi yang bisa memprediksi kapan, di mana, dan seberapa besar gempa. “Kami berharap masyarakat terus meningkatkan literasi, selanjutnya tidak mudah kaget setiap kali ada informasi potensi bencana,” katanya di Jakarta, Ahad, 27 September lalu.
Kehebohan ini muncul setelah tim riset kegempaan yang dimotori peneliti Institut Teknologi Bandung mempublikasikan hasil studi terbarunya di jurnal ilmiah Nature. Laporan berjudul “Implications for megathrust earthquakes and tsunamis from seismic gaps south of Java Indonesia” itu terbit pada 17 September lalu. Laporan itu menyoroti potensi gempa dari zona seismic gap di selatan Jawa. Seismic gap atau kesenjangan seismik adalah kawasan yang aktif secara tektonis, tapi sangat jarang terjadi gempa besar dalam waktu yang sangat lama.
Potensi gempa dan tsunami di patahan Jawa ini sebenarnya bukan hal baru. Menurut peneliti paleotsunami di Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Eko Yulianto, sebelumnya ahli geofisika dari Amerika Serikat, Robert McCaffrey, mengemukakan dalam publikasinya pada 2008 bahwa jalur subduksi selatan Jawa yang memiliki panjang lebih dari 1.800 kilometer (dari Selat Sunda hingga Nusa Tenggara) berpotensi menghasilkan gempa dengan magnitudo 9,6 jika runtuh secara bersamaan, dan akan berulang setiap 675 tahun.
Menurut ketua tim peneliti, Sri Widiyantoro, kebaruan riset mereka adalah pendekatannya melalui ilmu gempa bumi atau seismologi dan geodesi, khususnya metode global positioning system (GPS) yang digabungkan dengan pemodelan tsunami. “Jadi ini riset multidisiplin,” tutur seismolog dari Kelompok Keahlian Geofisika Global Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan ITB itu, Kamis, 24 September lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Widiyantoro mengatakan penelitian timnya menggunakan data mutakhir soal lokasi pusat dan kedalaman gempa dalam katalog BMKG dari April 2009 hingga November 2018. Sebagai pembanding, tim mengutip data katalog International Seismological Centre dari 1964. “Datanya menunjukkan adanya seismic gap juga. Jadi konsisten,” ucap Widiyantoro, yang memimpin sepuluh peneliti dari ITB; Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB); Pusat Studi Gempa Nasional; Badan Informasi Geospasial (BIG); BMKG Bandung; University of Cambridge, Inggris; University of Bergen, Norwegia; dan Kyoto University, Jepang.
Setelah penjabaran pada peta, tergambar zona sepi lindu itu terhampar di sepanjang Pulau Jawa-Bali. Zona itu berada di antara palung dan pantai selatan Jawa. Tim membagi dua zona sepi lindu itu, yaitu segmen barat dari Banten hingga Jawa Barat dan segmen timur dari Jawa Tengah, Jawa Timur, sampai Bali. Temuan itu kemudian diperkuat olahan data GPS dari 37 stasiun milik BIG, Kementerian Pertanian, serta Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional.
Pemodelan data GPS itu dilakukan anggota tim dari Kelompok Riset Geofisika Global ITB. “Hasilnya, di tempat sepi gempa itu ada zona yang terkunci atau slip deficit,” kata Widiyantoro. Dalam analisisnya, tim membuat bidang patahan itu dengan panjang 660 kilometer dan lebar 210 kilometer. Jika deformasi atau perubahan kecepatan gerak dari pengukuran GPS yang diamati lebih kecil daripada laju gerak lempeng, area tersebut berpotensi menjadi sumber gempa pada masa mendatang.
Menurut tim, area dengan slip deficit terkuat berada di selatan Jawa Barat yang kemungkinan besar merupakan sumber potensial megathrust. Luas zona slip deficit di selatan Jawa Barat setara dengan gempa bumi magnitudo 8,9 dengan asumsi periode ulang gempa 400 tahun seturut hasil penelitian sebelumnya. Untuk periode ulang yang sama, zona dengan slip deficit tinggi di bagian timur setara dengan gempa magnitudo 8,8. “Jika kedua zona slip deficit itu pecah dalam satu kejadian gempa, akan dihasilkan gempa magnitudo 9,1,” tutur Widiyantoro.
Untuk memperkirakan potensi bahaya tsunami di sepanjang pantai selatan Pulau Jawa, tim melakukan pemodelan tsunami dengan tiga skenario, yaitu pada segmen Jawa bagian barat, segmen Jawa bagian timur, dan segmen gabungan dari Jawa bagian barat dan timur. Skenario terburuknya, ketika kedua segmen itu pecah bersamaan, potensi ketinggian tsunami di dekat pulau-pulau kecil sebelah selatan Banten bisa mencapai 20,2 meter dan di Jawa Timur 11,7 meter.
Gempa besar di selatan Jawa ini bukan mitos. Sejak 1700, setidaknya telah terjadi sebelas gempa besar dengan magnitudo 7,0-8,5. “Sedangkan gempa magnitudo 9,0 atau lebih besar di selatan Jawa belum tercatat dalam katalog sejarah gempa,” ucap Widiyantoro. Tsunami di area ini, dalam katalog BMKG, terjadi pada 1840, 1859, 1921, 1994, dan 2006. Dari catatan Belanda, tsunami 1840 dan 1859 di Pacitan, Jawa Timur, dan tsunami 1921 di Cilacap, Jawa Tengah, tidak menimbulkan korban.
Eko Yulianto menambahkan, prediksi soal gempa dan tsunami dalam penelitian itu didasari asumsi atau logika tertentu. Asumsi yang dimaksud Eko itu di antaranya seismic gap memang runtuh dan menghasilkan gempa, gempa besar terakhir terjadi 400 tahun lalu dan belum ada gempa besar lagi, serta kecepatan pengumpulan energi selama 400 tahun dianggap sama dengan pengumpulan energi hasil pengukuran menggunakan perangkat GPS. “Seandainya salah satu asumsi itu salah, angka (tsunami) 20 meter itu akan luluh dengan sendirinya,” ujarnya.
Abdul Muhari, anggota tim yang juga pelaksana tugas Direktur Pemetaan dan Evaluasi Risiko BNPB, mengatakan riset terbaru ini merupakan bahan penting untuk meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat. “Kalau ada tsunami 10-12 meter, orang harus lari berapa jauh ke tempat yang aman dalam waktu kurang dari 20 menit—jeda gempa sampai datangnya tsunami,” katanya. Widiyantoro menambahkan, hasil riset ini memperkuat desakan meningkatkan sistem peringatan dini tsunami yang masih jarang di selatan Jawa.
ABDUL MANAN, ANWAR SISWADI (BANDUNG)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo