Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kapten kapal nelayan Vietnam yang ditangkap April 2020 lalu menjelaskan bagian dan cara kerja pair trawl.
Pair trawl merupakan alat tangkap ikan utama yang dimiliki kapal ikan asing yang mencuri ikan di Laut Natuna Utara itu.
Di Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Kota Batam, Kepulauan Riau, ada 130 nelayan Vietnam yang ditahan.
TUMPUKAN jaring yang tingginya satu meter dan besarnya seukuran lapangan voli itu membuat sempit halaman Pangkalan Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Kota Batam, Kepulauan Riau. Jaring yang lengkap dengan tambang, timah pemberat, dan bola apung itu berasal dari kapal nelayan Vietnam yang ditangkap karena mencuri ikan di Laut Natuna Utara. Jaring itu adalah pair trawl alias pukat hela dasar yang ditarik dua kapal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Nguyen Hu Phoc, kapten kapal Vietnam yang tertangkap pada April 2020, pair trawl menjadi alat tangkap utama kapal ikan asing itu. Hu Phoc menyadari alat tangkap ikan yang dilarang oleh Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan tentang Penempatan Alat Penangkapan Ikan dan Alat Bantu Penangkapan Ikan serta Penataan Andon Penangkapan Ikan itu sangat merusak. Bahkan alat ini, kata dia, menjadi salah satu penyebab habisnya ikan di laut negaranya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hu Phoc menunjukkan satu per satu bagian pair trawl dan cara kerjanya. Mulut jaring itu memiliki mata besar, makin ke ujung matanya makin kecil. Panjangnya mencapai 110 meter. Di bagian belakang jaring ada timah pemberat yang bobotnya 100-200 kilogram. Bagian atas mulut jaring dipasangi bola apung. “Bola merah itu untuk membuka mulut jaring,” ujar pria 49 tahun tersebut dalam bahasa Vietnam yang diterjemahkan. Di bagian dasar mulut jaring, ada roda besi untuk menggelindingkan jaring.
Setelah mulut jaring terbuka, dua kapal nelayan menariknya menyusuri laut dan mengangkut semua ikan yang masuk ke pukat hela dasar itu. “Ikan yang ditangkap tidak menentu. Kalau di Natuna ikan mata besar, ikan sarden, dan lainnya,” tutur Hu Phoc kepada Tempo, awal November 2021. “(Ikan) paling kecil segini,” ujarnya sambil menunjukkan tiga jarinya yang didempetkan.
Ketika jaring ditarik, Hu Phoc mengaku juga mendapat beberapa batu karang. Jika karang besar dan keras, jaring bisa tersangkut dan sobek. “Sering juga sobek. Kalau sobek (jaring) kita tarik ke atas kapal dan perbaiki dulu,” kata pria yang sudah mendekam di Pangkalan PSDKP Batam selama 19 bulan itu. Dia hanya tertawa ketika ditanyai apakah Laut Natuna Utara akan bernasib seperti laut di negaranya karena maraknya pair trawl.
Hu Phoc mengaku terpaksa melaut karena tidak ada pekerjaan lain di darat. Kapal yang ia nakhodai milik seorang pengusaha. “Di Vietnam, kalau punya duit, bisa bisnis kapal untuk nelayan,” ucapnya. Hu Phoc mengatakan biasanya dalam satu kali menurunkan pair trawl bisa mendapatkan 1 ton ikan di Laut Natuna Utara. Dalam satu hari, Hu Phoc bersama kapal pasangannya yang juga ditangkap bisa menurunkan jaring dua kali.
Jika dibandingkan dengan di laut Vietnam, satu kali menurunkan jaring, ia hanya beroleh 200-500 kilogram ikan. Hasil itu tak cukup untuk membeli minyak dan membayar biaya operasional kapal. “Jika di Vietnam dapat 3 ton, di Natuna bisa 9 ton,” tutur Hu Phoc, yang harus membayar denda Rp 150 juta ke pengadilan di Indonesia untuk bisa kembali ke Vietnam. “Semenjak ditangkap, bos kapal tak bertanggung jawab,” ucapnya.
Hu Phoc menyatakan tidak akan mencuri ikan lagi di Natuna setelah kembali ke Vietnam. Ia mengatakan akan mencari pekerjaan di darat. “Takut melaut. Nanti ditangkap, uang tebusan tidak ada,” ujarnya. Ia mengaku istri dan dua anaknya serta dua sepupu yang biasa ia nafkahi hanya hidup dari bantuan tetangga. “Kalau dikasih beras mereka makan, kalau tidak ya gimana lagi,” katanya, pasrah.
Tidak ada aktivitas Hu Phoc selama di Pangkalan PSDKP Batam. Pada siang, ia hanya berkeliling kompleks untuk berolahraga ringan. Berdasarkan data, sampai November 2021, ada 130 nelayan Vietnam yang ditahan di Pangkalan PSDKP Batam. Tekong kapal nelayan harus membayar denda yang ditetapkan pengadilan untuk dapat kembali ke negara asal. Sedangkan anak buah kapal bisa dipulangkan dengan biaya sendiri. Banyak yang tak bisa pulang karena tidak memiliki uang.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo