Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DALAM ritual po’a loka atau upacara memberi makan jatabara—sebutan lokal elang flores (Nisaetus floris)—Karolus Like, 81 tahun, pasti merapalkan doa dalam bahasa Lio. Mosalaki atau kepala suku Melemba itu memimpin upacara untuk meminta izin kepada leluhur setiap kali ada orang luar yang datang ke hutan adat Otoseso. Seekor ayam kampung, sirih, pinang, dan tembakau menjadi sesaji dalam ritual tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saat ritual berlangsung biasanya jatabara datang. Ia akan hinggap di salah satu pohon di atas batu sesaji di hutan adat yang terletak sekitar 600 meter di sisi selatan Kampung Wolojita, Kelurahan Wolojita, Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur, itu. “Kalau ada orang datang dan mau lihat jatabara tapi tidak melalui ritual po’a loka, jatabara tidak akan muncul,” kata Karolus kepada Tempo, Sabtu, 10 Agustus 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hutan adat Otoseso merupakan salah satu habitat elang flores di Pulau Flores. Hutan seluas 4,1 hektare tersebut didominasi topografi lereng yang cukup curam. Pohon-pohon di hutan itu masih terjaga dengan baik. Di sekitar hutan adat itu ada lahan pertanian penduduk yang ditanami hortikultura dan tanaman keras, seperti kemiri dan jambu mete.
Di tengah-tengah Hutan Otoseso terdapat sebuah bukit yang dianggap sakral oleh masyarakat adat Melemba. Bukit yang berjarak sekitar 4 kilometer dari Laut Sawu itu hanya bisa dimasuki warga saat menggelar ritual adat seperti po’a loka dan syukuran panen yang diselenggarakan setiap tahun. Pada acara syukuran panen, elang flores biasanya mengitari Kampung Wolojita ketika mendengar bunyi gong. “Sepertinya mereka juga ikut bergembira,” tutur Karolus.
Hermanus Calvin Worho, mahasiswa kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Nusa Cendana, Kupang, pernah meneliti karakteristik Hutan Otoseso sebagai habitat elang flores. Studi yang terbit di jurnal Wana Lestari edisi 1 Juni 2022 itu mengungkap bahwa Hutan Otoseso dipilih elang karena diapit perkampungan yang memudahkannya mengamati ayam dan anak babi yang hendak dimangsa. Pohon sarang juga tersedia. Fauna kecil, seperti kadal, serangga, burung kecil, dan mamalia kecil, pun berlimpah di situ.
Hermanus mencatat tiga jenis pohon yang kerap menjadi sarang elang flores di Hutan Otoseso, yakni kemiri (Aleurites moluccana), pulai atau jita (Alstonia scholaris), dan fai atau sengon laut (Paraserianthes falcataria). Menurut Hermanus, ketiga pohon itu merupakan jenis pohon yang menyembul, memiliki tajuk yang lebar dan terbuka (tidak rapat), serta mempunyai percabangan yang kuat. Sarang elang biasanya terletak di ujung cabang utama atau di bawah naungan tajuk yang terbuka.
Riset Hermanus juga menemukan ancaman terhadap habitat elang flores di Hutan Otoseso yang terdiri atas dua faktor, yaitu manusia dan alam. Aktivitas manusia, seperti mencari kayu bakar di dalam kawasan hutan adat dan menggembala ternak sapi di sekitar Hutan Otoseso, sangat berpengaruh terhadap komposisi dan vegetasi habitat elang flores. Letak Hutan Otoseso yang dekat dengan lahan tidur dan perkebunan juga meningkatkan risiko kebakaran. Tingkat kebisingan yang tinggi pun mengganggu elang flores karena lokasi Hutan Otoseso hanya berjarak 50 meter dari jalan raya.
Sementara itu, faktor alam yang mengancam habitat elang flores adalah bencana kebakaran hutan dan lahan yang dipicu kemarau, angin siklon tropis Seroja yang membuat layu pohon-pohon sarang, serta gangguan dari elang jenis lain, yaitu elang bonelli (Aquila fasciata).
Elang flores dan suku Melemba sudah bertahun-tahun hidup berdampingan. Pohon kemiri yang ditanam masyarakat menjadi sarang jatabara. Warga suku Melemba tidak mengusiknya. Sebab, mereka punya keyakinan bahwa elang flores adalah jelmaan leluhur. Kepercayaan itu yang membuat mereka sangat menghormati elang flores. Merek menggelar ritual po’a loka ketika ada orang luar yang datang ke Hutan Otoseso agar leluhur tidak marah.
Masyarakat adat Melemba juga mempunyai aturan adat untuk menjaga kelestarian hutan habitat elang flores tersebut. Warga tidak bebas masuk ke hutan adat Otoseso. Mereka dilarang menebang pohon di hutan tersebut. Jika melanggar, mereka akan mendapat sanksi, dari teguran lisan hingga denda adat atau seliwu seeko, yakni menyerahkan sejumlah uang dan seekor babi besar. Aturan itu makin ketat seiring dengan meningkatnya kesadaran mengenai pelindungan elang flores.
Pada 2019, sebanyak 25 warga adat di Wolojita bekerja sama dengan Balai Taman Nasional Kelimutu membentuk Komunitas Jatabara untuk memperkuat konservasi elang flores di hutan adat Otoseso. Mereka punya program pemantauan elang flores sebulan sekali, baik di hutan adat Otoseso maupun di tempat-tempat lain yang menjadi daerah jelajah burung pemangsa alias raptor tersebut.
Warga Ende menyerahkan seekor burung elang flores (Spizaetus Floris) yang tak sengaja terkena jerat kepada petugas BBKSDA Nusa Tenggara Timur di Ende, 27 Juli 2022./Antara/HO-Dok TN Kelimutu.
Komunitas Jatabara juga memelihara ayam kampung untuk makanan raptor tersebut. “Kami kasih makan elang flores seminggu sekali. Tidak setiap hari karena stok ayam terbatas,” ucap Yohanes Deni Lemba, anggota Komunitas Jatabara, pada Sabtu, 10 Agustus 2024.
Selain itu, anggota komunitas ini melakukan sosialisasi kepada masyarakat dan anak-anak sekolah mengenai pelindungan terhadap burung endemis Nusa Tenggara tersebut.
Kerja keras Komunitas Jatabara membuahkan hasil. Dalam dua tahun terakhir, Deni mengungkapkan, ada penambahan populasi elang flores di hutan adat Otoseso. Saat ini ada total 14 individu elang flores di hutan tersebut. “Tahun lalu, ada penetasan satu ekor. Tahun ini juga ada satu ekor,” katanya, merujuk pada hasil pemantauan Komunitas Jatabara.
Keberhasilan lain adalah makin banyak warga yang teredukasi mengenai pelindungan elang flores. Padahal, jauh sebelum adanya Komunitas Jatabara, masih banyak warga di Kampung Wolojita atau desa-desa lain yang menjadi pemburu elang flores. Mereka menganggap raptor itu sebagai hama karena memangsa ternak ayam dan anak babi.
Clara Dibtaning Swasti, staf Balai Taman Nasional Kelimutu, menguatkan pernyataan Deni ihwal kesadaran masyarakat akan konservasi elang flores yang membaik. Clara mengatakan sejauh ini kesadaran masyarakat Ende akan pelindungan elang flores terus meningkat. Cerita tentang konflik warga dengan elang flores sudah tidak lagi terdengar.
“Warga sudah makin sadar. Pernah ada petani yang memasang jerat dan tidak sengaja elang flores terkena jeratnya. Petani itu melaporkan ke petugas dan elang flores tersebut kemudian direhabilitasi dan dilepaskan kembali ke habitatnya,” tutur Clara.
Tantangan atau ancaman bagi populasi elang flores, Clara menambahkan, justru kompetisi dengan predator lain, seperti elang bonelli, dalam mempertahankan teritori.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Ambrosius Adir berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Penjaga Habitat Jatabara"