Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

teroka

Pemberontakan Robot Karel Capek dalam Pentas Teater Petra

Djakarta International Theater Platform 2024 mementaskan naskah lama dari Cek tentang pemberontakan robot. 

1 September 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PADA 1920, seorang penulis Cek, Karel Čapek, mengimajinasikan pada masa depan (ia membayangkan tahun 2000) robot-robot akan menguasai dunia. Ia menulis sebuah naskah drama fiksi sains langka berjudul R.U.R., singkatan dari Rossumovi Univerzální Roboti atau Rossum’s Universal Robots.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Naskah visioner tersebut berkisah tentang pabrik pembuatan robot di sebuah pulau. Pabrik ini memproduksi dan menjual robot secara massal, termasuk sebagai alat bantu pertanian dan perang. Suatu hari, Helena Glory—orang berpengaruh yang memimpin lembaga Humanity League—mengunjungi pabrik. Lembaganya memiliki misi melindungi robot, juga memperlakukannya seperti manusia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam visi Helena, robot bukan semata-mata kelas pekerja yang diperbudak industri. Mereka juga harus bisa merasakan “kebahagiaan”. Paras Helena yang rupawan membuat para saintis di pabrik itu terpesona dan diam-diam berkompetisi membuat robot yang benar-benar menyerupai manusia, memiliki rasa dan sebagainya. Akibatnya, di pabrik itu makin lama para robot makin sadar akan eksploitasi manusia. Rasa benci kepada manusia terbangun dan akhirnya mereka melakukan pemberontakan.

Naskah itu dipentaskan di Cek pada 1921, kemudian diterjemahkan ke bahasa Inggris dan dipentaskan di Eropa. Untuk pertama kalinya kata “robot”—yang aslinya dalam bahasa Cek berarti pekerja—masuk daftar kosakata bahasa Inggris dan sejak saat itu menyebar ke seluruh dunia, termasuk digunakan dalam bahasa Indonesia. 

Pada Kamis, 22 Agustus 2024, di Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, naskah tersebut disajikan Teater Petra dalam perhelatan Djakarta International Theater Platform (DITP) 2024 dengan sutradara Sultan Mahadi Syarif. Panggung dibagi dua. Lantai atas menjadi tempat lalu-lalang robot. Adapun lantai bawah atau prosenium menjadi ruang-ruang pertemuan dan laboratorium para saintis. Layar besar yang menjadi latar menampilkan citra-citra teknologi canggih.

Pertunjukan cukup lancar. Sayangnya, inti persoalan sejak awal tidak cukup kuat disajikan. Dialog-dialog penting di awal antara Helena dan para saintis mengenai kemungkinan robot memiliki hasrat, jiwa, dan rasa cinta (mengapa harus ada robot laki-laki dan perempuan yang diproduksi bila tak ada hasrat seksual di antara mereka) tidak sampai secara clear kepada penonton. Juga dialog-dialog tentang pembebasan manusia dari pekerjaan karena semua digantikan robot dan percobaan para saintis memberi robot jaringan urat saraf agar robot seperti manusia bisa merasakan sakit.

Performative sound dari Deden Bulqini dalam gelaran Djakarta International Theater Platform 2024, di Jakarta. Dok. DITP

Dialog-dialog di panggung tertelan oleh penonjolan suasana visual dan tata cahaya panggung yang futuristik. Betapapun demikian, adegan saat robot mulai menjalankan pemberontakan terasa kuat. Makhluk-makhluk mesin itu berbaris, berderap bersama melintas di lantai atas, memberi kesan akan menyerbu para saintis. Bila saja adegan massal pembangkangan robot ini diperbanyak, suasana dramatis tentu lebih terasa menekan.

Naskah Karel Čapek tersebut menjadi sangat relevan di masa dunia saat ini yang banyak membicarakan manfaat serta bahaya artificial intelligence atau kecerdasan buatan. Meski ramalan Čapek bahwa robot bakal menguasai dunia pada 2000 tak terjadi, hari ini pembicaraan tentang mesin yang akan mengambil alih pekerjaan manusia menjadi perbincangan serius. Čapek syahdan tidak menginginkan naskahnya ini dimaknai secara pesimistis. Ia justru sebenarnya ingin mengkomedikan sains.

Keberanian Teater Petra dari Jakarta memanggungkan naskah tersebut—meski pementasannya masih terasa kedodoran—membuka mata kita bahwa dunia pernaskahan teater sudah sejak 1920 merefleksikan tema-tema robot dan transhuman. Pembicaraan mengenai robot dalam dunia seni memang telah ada sejak zaman setelah Perang Dunia II. 

Di Jerman, pada 1927, sineas Fritz Lang menghasilkan film bisu hitam-putih sains fiksi berjudul Metropolitan (pernah diputar di Jakarta dalam acara Goethe-Institut). Film ini menceritakan sebuah kota distopia yang dalam bayangannya ada pada 2006. Di kota ini, ribuan pekerja dieksploitasi di pabrik-pabrik bawah tanah. Tatkala mereka memberontak, penguasa kota menciptakan robot perempuan yang mereplikasi diri Maria, sosok petinggi kota yang dihormati keluarga-keluarga buruh. Robot Maria ini ditugasi memadamkan revolusi para pekerja.

Performative sound dari Deden Bulqini dalam gelaran Djakarta International Theater Platform 2024, di Jakarta. Dok. DITP

Selain menghadirkan Teater Petra yang menyajikan secara utuh naskah R.U.R., DITP menginisiasi sebuah performative sound dari Deden Bulqini yang menampilkan beberapa teks alinea dialog naskah R.U.R. Bulqini selama ini dikenal menangani multimedia pementasan berbagai kelompok teater, seperti Teater Koma dan Teater Garasi. Sekian lama bekerja sebagai pendukung seniman lain, kini dia muncul dengan nama sendiri. Teater Wahyu Sihombing di Taman Ismail Marzuki dipenuhi sosok robot dengan berbagai instrumen musik elektronik dan layar. Di tengah cuplikan beberapa dialog R.U.R. di layar, Bulqini menampilkan komposisi elektronik, olahan bunyi-bunyi, juga teriakan-teriakan yang didistorsi komputer.

Di tengah ambiens bunyi elektronik itu, Mohammad Wali Irsyad, anggota Teater Payung Hitam dari Bandung, dengan kepala plontos dan tubuh liat bertelanjang dada, melakukan gerakan-gerakan merunduk perlahan, menggelimpang, memberi aksentuasi suasana. Pertunjukan Bulqini sebenarnya bisa lebih dari itu. Sosok robot hanya menjadi pajangan, tidak berdialektika dengan penampil ataupun teks di layar. Komposisi Bulqini juga tak mengejutkan bagi yang biasa menyaksikan pentas eksperimen elektronik seperti yang pernah diprogramkan Dewan Kesenian Jakarta dalam Pekan Komponis Indonesia 2016.       

Yang menarik—meski tidak berkaitan langsung dengan tema “Posthuman”—adalah pentas Dakh Theatre dari Ukraina yang berkolaborasi dengan sanggar Gema Citra Nusantara dari Jakarta. Mereka menampilkan karya berjudul Error.  Di kolam depan planetarium Taman Ismail Marzuki, dibangun panggung pertunjukan. Tampak di situ bertumpukan gelembung besar plastik hitam. Video ditembakkan ke kubah planetarium. Berbagai kolase gambar dan fragmen film dokumenter muncul di blenduk atap planetarium.  

Seorang anggota Dakh Theatre memainkan akordeon sembari menyenandungkan lagu rakyat Ukraina. Para penari Gema Citra Nusantara di dalam air kolam melakukan gerakan-gerakan yang tampaknya modifikasi tarian Minang dan Aceh sembari mengikuti irama tabuhan. Meski tak berhubungan, panggung dan visual teater dari Ukraina serta tarian di air itu terasa bisa dinikmati sebagai satu kesatuan. Apalagi tatkala proyektor menampilkan citra-citra folklor Ukraina, dari gambar rusa salju sampai pola-pola geometris tradisi Ukraina, yang terasa klop dengan kesukariaan para penari di air. 

Namun suasana gembira itu kemudian berubah menjadi kelam saat proyektor menembakkan video ke blenduk planetarium yang menampilkan suasana sehari-hari warga Ukraina ketika hidup di tengah perang. Seorang ibu di video itu menceritakan pengalamannya.

Pertunjukan “ERROR” oleh GogolFest/Dakh Theatre pada Festival Djakarta International Theater Platform 2024 di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, 25 Agustus 2024. Tempo/Martin Yogi Pardamean

“Hari ini kami menginap di ruang bawah tanah. Kemarin ledakannya sangat dahsyat. Bom dijatuhkan dari pesawat ke rumah sakit bersalin. Jendela di rumah kita dipecah. Belakangan, aku mengetahui dari radio bahwa itu adalah bom dengan diameter 10 meter. Kami semua sangat takut sampai gemetar. Bagaimana kabarmu di sana? Hari ini hari Senin, kami duduk di ruang bawah tanah, makin hari makin buruk keadaannya, ada pesawat para penjajah di langit. Takut. Kami tak bisa memasak. Air hampir habis. Dan kami tidak berani pergi mengambilnya. Kami makan sedikit saja. Ayahmu selalu lapar. 

Kami mendengar berita dan berharap akan dibantu. Kami bersiap bertahan hidup. Cuaca dingin sekali. Kami tidur memakai topi, jaket kulit domba, lima sweter, dan kaus kaki. Kami tidak berbicara banyak. Aku ingin bertahan hidup dan memelukmu, anakku sayang. Hari ini tanggal 17. Baterai telepon selulerku tinggal sedikit saja. Kami masih hidup. Meski kami sudah berkali-kali berpamitan dengan kehidupan ini. Kami berada di neraka…."

Setelah visual ini, beberapa aktor Dakh Theatre merunduk-runduk di bawah panggung, di antara tiang-tiang besi panggung dan air, seolah-olah menggambarkan kehidupan di bungker-bungker sempit bawah tanah. “Tak ada satu pun bangunan yang tidak kena bom. Seluruh kota terbakar. Kami bahkan takut keluar dari basemen. Kami takut. Kami tidak tahu apa yang terjadi besok,” tutur ibu dalam video itu, sesenggukan.

Dihubungkan dengan pentas R.U.R., kita sadar robot-robot perang di masa kini mencakup beragam drone yang dikendalikan dari jauh dan menjatuhkan bom-bom di banyak titik di kota. “Anda dapat mendengar siulnya. Dan ketika itu terbang di dekat Anda, Anda tidak mendengar apa pun. Sama seperti kami yang tidak mendengar apa pun. Aku cuma mendengar ledakannya. Asap...,” kata ibu itu tentang bom yang menerjang rumahnya. 

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Merefleksikan Posthuman"

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus