Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
IQAir menyebutkan kualitas udara Jakarta paling buruk di antara kota-kota di dunia.
Parameter pencemaran udara diukur dari konsentrasi partikulat halus yang berukuran kurang dari 2,5 mikrometer.
Polutan juga berasal dari PLTU di Jawa Barat dan Banten yang dibawa angin ke Jakarta.
DIYA Farida tak akan melewatkan “ritual” mengecek aplikasi Nafas yang terpasang di telepon selulernya tiap kali hendak ke luar rumah di Kota Tangerang Selatan, Banten. Bagi Climate Impact Associate Yayasan Indonesia Cerah itu, informasi kualitas udara ambien yang diberikan Nafas bisa menjadi acuannya menyiapkan masker pengganti yang harus dibawa. “Polusi udara di Tangerang Selatan tak beda dengan Jakarta. Saya mengganti masker setiap tiga-empat jam,” kata Diya melalui WhatsApp, Sabtu, 25 Juni lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Faya—panggilan akrab Diya Farida—juga membuka situs web IQAir, yang melaporkan pantauan polusi udara dalam waktu sebenarnya. Ketika mengetahui IQAir merilis laporan ihwal Jakarta sebagai kota dengan kualitas udara terburuk di dunia, Faya mengaku ia tertawa bercampur sedih. Dia tertawa karena apa yang telah diprediksi banyak orang jadi kenyataan. Faya juga sedih lantaran Jakarta selalu menjadi juara, bahkan untuk beberapa hari berturut-turut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada pukul 11.00, Rabu, 15 Juni 2022, IQAir menempatkan Jakarta di posisi pertama sebagai kota dengan kualitas udara terburuk di dunia. Situs itu mencatat, indeks kualitas udara (AQI) Ibu Kota mencapai 190 atau masuk kategori tidak sehat. Sedangkan konsentrasi polutan partikulat halus yang berukuran lebih kecil dari 2,5 mikrometer (PM2.5) tercatat 127 mikrogram per meter kubik (µg/m3) atau 25,4 kali di atas nilai panduan kualitas udara tahunan Badan Kesehatan Dunia (WHO) yang 5 µg/m3.
Hari itu bukan rekor udara terkotor Jakarta. Pada Senin, 20 Juni 2022, pukul 06.00, IQAir kembali menempatkan Jakarta sebagai kota paling berpolusi dengan AQI 205 alias kategori sangat tidak sehat. Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria menduga kualitas udara memburuk akibat naiknya volume kendaraan bermotor. Menurut data Dinas Perhubungan DKI Jakarta, volume kendaraan pribadi roda empat naik 6,25 persen setelah pelonggaran aturan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat di Jakarta dan sekitarnya.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya membantah jika udara Jakarta disebut terburuk di dunia. “Itu kan hasil monitoring analisis pakai metode tertentu dari swasta. Saya tidak bermaksud membela diri, tapi kita lihat dari metode yang biasa dipakai,” kata Siti Nurbaya di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin, 20 Juni lalu. Menurut Menteri Siti, berdasarkan analisis Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, kualitas udara Jakarta pada hari itu justru berada di nomor 44 dari negara-negara lain.
Yenny Silvia Sari Sirait, pengacara publik Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, menilai Menteri Siti melakukan pembelaan diri. Menurut Yenny, Siti merasa sudah melakukan pemantauan dengan baik sehingga tak harus melakukan yang lebih. “Kalau ada metode yang mendeteksi kualitas udara Jakarta buruk, seharusnya (dia) melakukan riset terhadap metode itu dan standar apa yang digunakan,” tutur Yenny, anggota tim advokasi Gerakan Ibukota (Inisiatif Bersihkan Udara Koalisi Semesta), yang mengajukan gugatan warga negara terhadap pencemaran udara Jakarta.
Menurut Yenny, pemerintah pusat selalu menyangkal. Dalam memori banding yang diajukan pemerintah, misalnya, pemerintah mengatakan sudah mengendalikan polusi udara, termasuk menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. “Tapi, kalau lihat PP Nomor 22 Tahun 2021 itu, tidak ada langkah konkret yang terukur untuk mengendalikan polusi udara. Tidak menetapkan sumber pencemar, faktor pencemar, dan kadar setiap faktor pencemar,” ujarnya.
Warga melintas di depan alat pengukur kualitas udara di Kompleks Gelora Bung Karno, Jakarta, Jumat, 24 Juni 2022. TEMPO / Hilman Fathurrahman W
Tanpa penetapan sumber pencemar di Jakarta itu, kata Yenny, kebijakan yang diambil pun tidak efektif. “Akhirnya semua orang berasumsi bahwa sumber pencemar udara di Jakarta adalah transportasi. Padahal permasalahan lingkungan hidup itu tidak dibatasi oleh wilayah administratif,” ucapnya. “Banyak riset yang menunjukkan bahwa polusi udara di Jakarta banyak disebabkan oleh kehadiran pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang jumlahnya puluhan di wilayah Banten dan Jawa Barat.”
Fajri Fadhillah, Kepala Divisi Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Hidup Indonesian Centre for Environmental Law, membenarkan ihwal pencemaran udara lintas batas itu. Fajri mengutip penelitian Asep Sofyan dari Kelompok Keahlian Pengelolaan Udara dan Limbah Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan Institut Teknologi Bandung. “Asep membahas pergerakan pencemaran udara di antara area Jakarta, Jawa Barat, dan Banten dari sisi arah angin, kecepatan angin, dan data meteorologi lain,” tuturnya.
Perpindahan pencemaran udara dari luar Jakarta dan sebaliknya, kata Fajri, bukan fenomena baru. “Penelitian Asep dan akademikus dari Toyohashi University of Technology, Jepang, itu dilakukan pada 2005-2010,” ucap Fajri. Ia juga menunjukkan penelitian Lauri Myllyvirta dari Centre for Research on Energy and Clean Air pada Agustus 2020. “Studinya lebih spesifik menunjukkan sumber pencemaran udara di luar Jakarta itu dari sektor industri dan PLTU. Lalu memodelkan perpindahan pencemaran udara di musim kemarau dan hujan.”
Myllyvirta menemukan, ternyata bekerja dari rumah dan pembatasan sosial berskala besar tidak meningkatkan kualitas udara Jakarta. Terbukti konsentrasi PM2.5 meningkat sejak akhir Maret hingga awal Juni 2020. Berdasarkan citra satelit TROPOMI, PLTU Suralaya di Banten tetap beroperasi dan menghasilkan emisi seperti biasa. Lintasan angin pada 12 April 2020, ketika PM2.5 di Jakarta melonjak, menunjukkan udara bergerak ke arah timur laut, melewati PLTU Suralaya, dan membawa PM2.5 ke Jakarta.
Pelaksana tugas Deputi Bidang Klimatologi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika, Urip Haryoko, mengatakan, sejak 15 Juni 2022, konsentrasi PM2.5 mengalami peningkatan dan mencapai puncaknya pada level 148 µg/m3 (29,6 kali di atas nilai panduan tahunan WHO). “Menurunnya kualitas udara di Jakarta disebabkan oleh kombinasi antara sumber emisi dari kontributor polusi udara dan faktor meteorologi yang kondusif untuk menyebabkan terakumulasinya konsentrasi PM2.5,” kata Urip dalam keterangan tertulis.
Menurut Urip, sumber pencemaran udara itu berasal dari sumber lokal, seperti transportasi dan permukiman, ataupun sumber regional dari kawasan industri dekat dengan Jakarta, misalnya Jawa Barat dan Banten. Adapun faktor meteorologi yang kondusif adalah pola angin yang bergerak ke arah timur dan timur laut menuju Jakarta, tingginya kelembapan udara relatif menyebabkan peningkatan proses perubahan wujud dari gas menjadi partikel, dan munculnya lapisan inversi dekat permukaan bumi yang menahan PM2.5.
Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta masih menganggap sumber pencemaran udara terbesar di Ibu Kota adalah sektor transportasi darat. Asep Kuswanto, Kepala Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta, mengatakan, berdasarkan hasil inventarisasi emisi yang dilakukan pihaknya bersama Vital Strategies pada 2020, sektor transportasi berkontribusi terbesar terutama untuk polutan PM2.5, yaitu sekitar 67 persen. “Hal ini konsisten dengan hasil kajian sebelumnya,” ucap Asep melalui jawaban tertulis pada Jumat, 24 Juni lalu.
Asep mengatakan DKI Jakarta tengah mengendalikan kualitas udara Jakarta berpanduan pada Instruksi Gubernur Nomor 66 Tahun, misalnya dengan uji emisi gas buang kendaraan pribadi. Sepanjang 2022, kata Asep, sebanyak 156.960 kendaraan telah menjalani uji emisi. Selain itu, telah dilakukan peremajaan kendaraan umum dan rekayasa lalu lintas dengan kebijakan nomor kendaraan ganjil-genap. Juga pembangunan ruang terbuka hijau. “Hingga saat ini sudah dibangun seluas 33,3 juta meter persegi,” tuturnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo