Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

lingkungan

Monster Pelahap di Jatiluhur

Ikan buaya mengganggu komunitas ikan lokal karena bersifat predator. Belum ada aturan yang melarangnya untuk dijual-belikan.

25 November 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ARYO Sawung sedang kebingungan. Tiga ikan jenis alligator gar (Atractosteus spatula) atau biasa disebut ikan buaya miliknya entah mau diapakan. Mau dijual, belum ada yang berminat. Dibuang ke sungai, khawatir akan merusak habitat ikan asli penghuni sungai. Sebab, ikan ini terkenal rakus. Tetap dipelihara, kolam yang dimilikinya sudah tak cukup untuk menampung. Maklum, ikan buaya adalah jenis ikan tawar raksasa yang panjangnya bisa mencapai 4 meter.

"Enggak tahu mau diapakan nih ikan. Bingung mau dijual atau dibuang," kata pria 31 tahun yang bekerja di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan ini saat ditemui Tempo di rumahnya di kawasan Kebon Jeruk, Jakarta, Kamis dua pekan lalu. Ketiga ikan tersebut ia beli tiga tahun lalu dari pasar ikan di Jalan Sumenep, Menteng. Harga ketiga ekor ikan kala itu Rp 200 ribu. "Sekarang kalau dijual bisa dapat Rp 2 juta."

Ikan ini tergolong hewan purba. Tubuhnya panjang silindris berkepala menyerupai buaya. Itu sebabnya orang menyebutnya ikan buaya. Ekornya lebar membundar dan terdapat dua sirip di punggung serta bagian bawah tubuh dekat ekor. Ada dua sirip bawah lainnya, yang satu di bagian tengah tubuh dan lainnya lebih dekat ke kepala. Moncongnya pendek, kuat, dan besar. Rahang atas dan bawah memiliki barisan gigi tajam dan besar.

Sebagai predator, ikan ini terkenal rakus. Itu sebabnya melepas ikan buaya sembarangan bisa menuai bencana, seperti yang terjadi di Waduk Jatiluhur di Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat, medio September lalu. Para petambak dan nelayan di sana dikejutkan oleh penampakan ikan buaya. Konon, ikan karnivora yang tergolong spesies asing invasif ini berkeliaran di sekitar keramba dan memangsa ikan yang dibudidayakan penduduk.

"Ada petani yang menjaring anak ikan buaya yang baru sebesar jari tangan," ujar Ajang, petani jaring terapung di Waduk Jatiluhur. Acon, pemilik jaring terapung lainnya, membenarkan kesaksian rekannya itu. "Beberapa waktu lalu ada ikan buaya yang menyerang kolam jaring terapung para petambak di sini," katanya.

Penasaran ingin melihat secara langsung ikan buaya di alam liar, pada Kamis dua pekan lalu Tempo menyambangi blok Pasir Laya di sekitar perairan Waduk Jatiluhur. Ribuan jaring terapung atau keramba ikan berjajar rapi menjorok ke arah barat dan selatan di lokasi yang lumayan jauh dari bibir tanggul Ubrug. Kira-kira perlu setengah jam perjalanan memakai perahu motor untuk mencapai lokasi tersebut.

Salah satu di antara deretan keramba itu adalah milik Ko Aling. Menurut Acon, dari keramba Ko Aling inilah kegemparan menghinggapi ratusan petambak ikan air tawar di sekitarnya. Penyebabnya, sejumlah ikan buaya peliharaan Aling yang dibesarkan di dalam keramba itu dikabarkan terlepas. Ikan buaya inilah yang dituding menjadi biang kerusakan beberapa keramba di sekitarnya dan memangsa ikan budi daya milik petambak lain.

Seekor ikan buaya bahkan sempat tersangkut di jala milik Awok, warga Desa Galumpit, yang sedang mencari ikan. Awok kaget lantaran baru kali ini ia melihat ikan menyeramkan tersebut di Waduk Jatiluhur. "Ikan itu ramai-ramai dipukuli sampai nyaris mati," ujar Acon. Ikan sepanjang 3 meter dan berbobot 90 kilogram itu lantas diserahkan ke Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Purwakarta. "Kata orang Dinas, ikan mirip buaya itu namanya alligator gar dan termasuk jenis predator."

Rusnanto, anggota tim investigasi ikan buaya di Waduk Jatiluhur, membenarkan insiden lepasnya ikan buaya itu. Tahun lalu peristiwa serupa terjadi. Ketika itu, ada tujuh ekor ikan buaya yang lepas dari keramba ke perairan waduk. Tidak diketahui ikan milik siapa. "Kabarnya, ada ikan buaya yang terlihat dan pernah terjaring. Tapi tak pernah ada bukti fisiknya," ucapnya.

Tim investigasi lantas menghimpun informasi dari Kelompok Pengawas Mandiri dan Himpunan Nelayan Jatiluhur yang beranggotakan 400 orang. Tim yang terdiri atas 10 orang dari unsur Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Kelautan dan Perikanan, serta Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia ini dibentuk untuk merespons kejadian yang menghebohkan itu.

"Kami ke sana, tapi tak menemukan apa-apa," ujar Rusnanto, Kepala Bidang Pengawasan dan Pengendalian BBKIPM Jakarta I KKP. Ia tidak memungkiri tujuh ekor ikan buaya yang lepas ke waduk kini mungkin bertambah besar dan sudah berbiak. Apalagi ikan itu di habitat alaminya bisa tumbuh hingga 4 meter. Namun, sejak kejadian tahun lalu, semua ikan buaya di Jatiluhur, yang memang dibudidayakan sebagai ikan hias oleh sebagian petambak, telah diangkat dan dipindahkan dari keramba. "Tidak boleh lagi memelihara ikan buaya di kawasan Jatiluhur," kata Rusnanto.

Ko Aling, yang dijumpai secara terpisah, membantah kabar bahwa ikan buaya peliharaannya kabur dan memangsa ikan petambak. "Rumor itu enggak benar," ujarnya. Ia menyatakan puluhan ikan buayanya saat itu tidak berkurang dan hidup tenang di sebuah kolam ikan terapung 7 x 7 meter yang terbuat dari jaring. Kolam ikan buaya miliknya berada di antara jaring-jaring apung berisi ikan nila, emas, dan patin.

Untuk membuktikan omongannya, Ko Aling kerap menantang para pengunjung yang berani masuk ke keramba ikan buaya miliknya. "Kalau Anda kena gigit, saya bayar," ujarnya. Toh, ia tidak bisa terus membela diri. Kejadian tahun lalu membuatnya harus memindahkan semua ikan buaya ke tempat yang dirahasiakan di Bandung. Puluhan ikan berbobot sekitar 10 kilogram dan panjang 70 sentimeter itu tetap dipelihara sebagai hobi, meski ia tak menolak jika ada yang ingin membelinya. "Kami jual Rp 500 ribu per ekor," ucapnya.

Rusnanto mengakui larangan terhadap perdagangan ikan buaya belum tertuang dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 17 Tahun 2009. Lampiran peraturan itu baru mencantumkan 30 spesies ikan kategori berbahaya. Di antaranya 11 spesies ikan piranha, 5 spesies ikan buntal, dan 1 spesies belut listrik. Kasus di Waduk Jatiluhur bakal menjadi bahan acuan bagi tim investigasi untuk mengajukan rekomendasi perbaikan peraturan. "Ikan buaya akan dilarang seperti halnya piranha, buntal, dan arapaima," ucapnya.

Mahardika Satria Hadi, Nanang Sutisna (Purwakarta)


Fakta Unik Ikan Buaya

Alligator gar (Atractosteus spatula) atau biasa disebut ikan buaya merupakan ikan air tawar raksasa dengan bentuk kepala seperti buaya. Untuk mencapai tubuh dewasa, dibutuhkan waktu puluhan tahun. Dagingnya aman dikonsumsi, tapi telurnya sangat beracun bagi manusia, hewan, ataupun unggas.

Siklus hidup

  • Pertumbuhannya tergolong lamban untuk mencapai ukuran dewasa. Betina butuh 11 tahun dan hidup selama 50 tahun. Sang jantan matang pada umur 6 tahun dan sekurangnya hidup hingga 26 tahun.

    Mangsa

  • Semua yang bisa masuk ke mulutnya akan dimakan. Ikan buaya adalah predator bagi kebanyakan ikan di sekitarnya.

    Ukuran

  • Ikan buaya terberat yang pernah tertangkap adalah 126 kilogram. Konon, pernah ada yang mencapai 158 kilogram dengan panjang 4 meter lebih.

    Tertarik cahaya

  • Ikan buaya sering muncul ke permukaan pada siang hari dan mendekati sumber cahaya pada malam hari untuk mencari ikan kecil.

    Berbiak

  • Pada musim semi, ikan buaya betina akan didekati dua-tiga pejantan untuk kemudian telurnya dibuahi. Satu betina bisa membawa 138 ribu telur.

    Ramah manusia

  • Meski terlihat menakutkan, buruk rupa, bertubuh besar, bergigi tajam, dan karnivora, ikan buaya belum pernah terdengar memangsa manusia.

    Penyebaran

  • Total ada tujuh spesies ikan buaya yang persebaran aslinya membentang dari Sungai Mississippi dan anak-anak sungainya di Amerika Serikat bagian selatan; Teluk Meksiko; sampai Amerika Tengah.
  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus