Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PEMIDANAAN dokter akibat tudingan kesalahan menjalankan praktek pengobatan merupakan jenis pemidanaan khusus. Hakim yang tidak menguasai profesi dunia kedokteran tak boleh memutuskan sendiri persoalan itu. Ia harus menerima masukan dari orang yang betul-betul ahli. Bila pendapat ahli telah diminta tapi tetap diabaikan, sikap itu terbilang sembrono.
Kasus ini berkaitan dengan dokter Dewa Ayu Sasiary Prawani, yang meringkuk di penjara karena divonis melakukan malpraktek. Mahkamah Agung menganggap doker Ayu menyebabkan pasien hamil bernama Siska Makatey tewas di Rumah Sakit Profesor Kandou, Manado, pada 2010. Dokter asal Bali itu memimpin operasi melahirkan. Bayi Siska selamat, tapi sang ibu tak tertolong.
Ayu dianggap lalai karena tak mengetahui Siska mengidap penyakit jantung. Ia sebelumnya tak melakukan roentgen dada. Padahal tekanan darah Siska tinggi. Operasi cito caesar yang dilakukannya dengan cara anestesi bisa berisiko kegagalan fungsi jantung— yang berakibat kematian. Kecerobohan dokter Ayu berlipat karena operasi membahayakan ini tidak dikonsultasikan dengan keluarga.
Kesimpulan Mahkamah Agung ini ditolak Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Ikatan Dokter Indonesia. Operasi yang dilakukan dokter Ayu bersifat darurat sehingga tidak memerlukan pemeriksaan penunjang. Majelis juga menganggap tewasnya Siska bukan karena kelalaian dokter, melainkan lantaran—ketika perutnya dibuka—udara masuk ke jantung. Kejadian seperti itu tidak bisa diprediksi.
Pada titik ini memang Mahkamah Agung tidak boleh menyepelekan masukan di atas. Berkaca pada kasus Ayu, siapa pun dokter yang harus menangani pasien yang kondisinya darurat, dan gagal, kini bisa dibayang-bayangi ketakutan tuntutan pemidanaan. Bila Mahkamah Agung tetap berkukuh, pendapatnya seharusnya bertolak dari spesialis kandungan lain yang pendapatnya berseberangan dengan Majelis Kehormatan.
Majelis Etik Kedokteran juga harus menerima kenyataan bahwa dari sisi prosedur, kinerja rumah sakit banyak yang amburadul. Adalah fakta bahwa, sebelum dioperasi di rumah sakit, Siska dibawa lebih dulu ke Puskesmas Bahu, Manado. Dari situ sesungguhnya perut Siska dibuka tujuh-delapan sentimeter untuk melihat kondisi kepala bayi. Di puskesmas itu juga terjadi pemecahan air ketuban. Karena bayi sulit dilahirkan, Siska dilarikan ke Rumah Sakit Profesor Kandou.
Di rumah sakit ini Siska tiba pukul 07.00 dan baru ditangani pukul 22.00. Itu menyebabkan kondisinya semakin parah. Kasus pembiaran seperti ini sering terjadi di rumah sakit, dan berujung pada tewasnya pasien. Adalah fakta pula bahwa pihak dokter memberikan uang Rp 50 juta kepada keluarga korban sebagai tanda belasungkawa. Untuk ukuran daerah, uang sebesar itu terasa tak lazim. Apakah ini bagian dari usaha agar pihak keluarga tak melapor?
Semua fakta ini harus didalami. Majelis Kehormatan Etik Kedokteran, yang menyerukan solidaritas dan mogok terhadap dokter se-Indonesia, juga harus membeberkan argumen ilmiahnya secara luas. Argumennya selama ini kurang diketahui publik. Dengan cara itu, masyarakat mafhum betapa pentingnya usul menghidupkan lagi Peradilan Khusus Profesi Kedokteran yang dihapus dari Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo