Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Status air Danau Maninjau, Agam, Sumatera Barat, hipertrofik akibat pencemaran dari pelet keramba jaring apung.
Danau Maninjau adalah satu dari 15 danau strategis nasional yang perlu diselamatkan karena masalah kualitas airnya.
Pemerintah perlu menyediakan sumber ekonomi alternatif untuk mengurangi jumlah keramba di Danau Maninjau dari 23.000 menjadi 6.000.
SETIDAKNYA ada dua tempat terbaik di ketinggian untuk menikmati Danau Maninjau yang terletak di Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Selain obyek wisata alam Puncak Lawang yang sudah terkenal, satu lagi adalah sebuah area persinggahan dekat Kelok 44, jalan dari arah Kecamatan Matur menuju tepi danau. Pada awal September 2024, cuaca sangat cerah sehingga muka danau terlihat kebiruan karena becermin pada langit yang sedikit berawan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Danau Maninjau tampak jelas seperti kawah besar dengan pagar bukit dan tebing tinggi di sekelilingnya. Setelah 2000-an, sebagian orang merasa lebih bisa menikmatinya dari kejauhan karena danau terbesar kedua di Sumatera Barat ini sudah tak seperti dulu. Airnya tak lagi jernih dan dalam waktu tertentu bisa menyeruak bau amis yang menyengat dan membuat tak nyaman berada di dekatnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menjadi tempat wisata favorit bagi wisatawan asing sejak 1970-an, namanya perlahan memudar setelah diperkenal- kannya budi daya ikan dengan metode keramba jaring apung. Ekonomi dari keramba mendongkrak ekonomi masyarakat di sekitar danau. Namun residunya mengotori danau sehingga menyebabkan status airnya hipertrofik, satu tingkat di bawah danau mati.
Liputan jurnalisme konstruktif yang didukung International Media Support atau IMS ini memotret kehidupan sekitar Danau Maninjau yang pernah menjadi ikon pariwisata. Tempat budi daya perikanan keramba yang semula upaya coba-coba kemudian meledak sehingga jumlahnya kini lebih dari 23 ribu petak. Pemerintah berupaya memulihkan danau meski belum banyak membuahkan hasil. Alasannya antara lain adalah tentangan dari warga.
•••
ACHJAR Ilyas, 76 tahun, masih mengingat dengan baik masa-masa kecilnya di tepi Danau Maninjau. Ia lahir di Jorong Bancah, Nagari Maninjau, 10 Februari 1948, yang hanya beberapa meter dari bibir danau. “Orang Maninjau mandi ke danau, sore hari pergi ke lapau (warung), malam ke surau, kalau besar pergi merantau,” kata komisaris independen di Maybank Indonesia itu saat ditemui di kantornya di Jakarta, Selasa, 1 Oktober 2024.
Nagari Maninjau adalah satu dari sepuluh nagari di Kecamatan Tanjung Raya. Daerah ini berada di pintu gerbang menuju danau bagi siapa pun yang datang melalui Kelok 44, jalur menuju Maninjau dari Kecamatan Matur atau arah Kota Padang. Sembilan nagari lain berada di sisi kiri dan kanannya di sekitar danau vulkanis seluas 99,96 kilometer itu.
Di lokasi yang kini terdapat Hotel Maninjau Indah, dulu terdapat teluk yang diberi nama Talago Biru. Pada 1950-an, Achjar dan kawan-kawan masa kecilnya biasa berenang di sana. Koin yang dilempar ke danau masih terlihat kelap-kelipnya saat menuju dasar. Setelah itu, mereka berlomba mengejarnya. “Di telaga itu airnya betul-betul biru jernih,” ujar mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia ini.
Wali Nagari Maninjau Harmen Yasin, saat ditemui di kantornya pada Rabu, 11 September lalu, mengatakan daerah ini pada 1950 sudah punya sejumlah infrastruktur dasar, termasuk instalasi air bersih, karena menjadi ibu kota Distrik Maninjau pada masa penjajahan Belanda. Jalan bernama Kelok 44 itu juga sudah ada pada periode sebelum Indonesia merdeka.
Meski lokasinya di pinggir danau, sumber ekonomi sebagian besar masyarakat adalah lahan pertanian dan perkebunan. Tentu saja setiap daerah memiliki luas lahan yang berbeda karena topografinya. Maninjau punya tanah datar lebih sedikit ketimbang Bayua dan Koto Malintang, tapi agak lebih luas dari Sungai Batang dan Tanjung Sani yang halaman belakangnya berupa bukit atau tebing tinggi.
Wisatawan menikmati suasana sore di kawasan Danau Maninjau, Sumatera Barat, 12 September 2024. Tempo/ Abdul Manan.
Warga yang memiliki sawah bisa menanaminya dengan padi dan palawija, seperti jagung dan kacang tanah. Mereka yang memiliki lahan di bukit bisa menanam lada, cengkih, pala, dan kayu manis. Mereka yang punya lahan luas akan perlu bantuan orang lain untuk memetik hasil ladang. “Saya tukang panjat cengkih karena enggak punya kebun. Saya dapat upah dengan sistem bagi hasil,” kata Achjar.
Selain berladang, sebagian warga mencari penghidupan ekonomi di danau. Ada yang memancing di tepian danau atau memakai biduk. Ada juga yang menangkap ikan di tengah danau memakai pukat. Ikan yang tersedia secara alami di danau bera- gam, dari bada hingga rinuak. “Kalau yang saya alami dulu, untuk kebutuhan sehari-hari sebetulnya cukup, lah, waktu itu.”
Menurut pengajar di Universitas Bung Hatta, Padang, Hafrijal Syandri, mereka ke danau menangkap ikan dengan memancing dan memakai jala atau jaring. Ikan yang ditangkap adalah ikan asli dan endemis danau, seperti bada, rasmora, rinuak, dan sidat. “Itu kan alat tangkap yang sangat tradisional,” tuturnya saat ditemui di Padang, 10 September 2024.
•••
Presiden Sukarno pernah memuji keindahan Maninjau saat kunjungannya
pada 1948. Pantun itu diingat masyarakat dengan sejumlah versi. Salah satu versinya tertera di dinding Hotel Maninjau Indah, “Kalau makan pinang, makanlah dengan sirih yang hijau. Kalau pergi ke tanah Minang, jangan lupa mampir ke Maninjau.”
Meski danau itu dikenal sebagai destinasi wisata pada 1970-an, perintisannya dimulai pada 1950-an. Menurut Harmen Yasin, yang memulainya adalah Jamaluddin Isa dengan membangun Talago Biru. Ada pohon beringin dan rumput di sekitarnya. Di sisi lain ada anggar—tempat orang terjun untuk mandi. Di sampingnya dibikin pondok Tapak Kudo sebagai tempat duduk dan beristirahat.
Achjar Ilyas mengingat kehidupan di Maninjau pada periode itu seperti kehidupan desa pada umumnya yang “tenang dan nyaman”. Namun ada periode yang membuat ekonomi sedikit lebih sulit, yakni saat meletus pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia atau PRRI. Achjar menerangkan, saat itu beberapa kebutuhan mesti dipasok dari luar daerah, yakni minyak tanah dan garam. “Kalau di luar dari itu sebetulnya cukup untuk makan,” dia mengimbuhkan.
Setelah peristiwa PRRI dan peristiwa 1965, ada keinginan masyarakat mengembangkan Maninjau. Gubernur Sumatera Barat saat itu, Harun Zen, ingin menghidupkan sektor wisata. Salah satu yang dimintai bantuan adalah Ilham Rajo Bintang, yang aktif di Kesenian Irama Minang di Jakarta. “Harun Zen meminta Bapak balik karena dia sangat membutuhkan orang Minang untuk pulang membangun pariwisata,” ujar Popi Mailani Rajo Bintang, salah satu anak Ilham.
Popi mengungkapkan, Harun Zen sebenarnya menyodorkan sejumlah tempat di Sumatera Barat yang bisa dikembangkan potensi wisatanya oleh Ilham Rajo Bintang. “Ayah saya memilih Danau Maninjau yang saat itu tak punya lampu karena belum ada setrum. Karena itu kampung dia,” ucap Popi Mailani Rajo Bintang saat ditemui di Jakarta, Rabu, 4 September 2024.
Presiden Sukarno dalam kunjungan kerja ke kawasan Danau Maninjau, Sumatera Barat, 10 Juni 1948. https://kepustakaan-presiden.perpusnas.go.id
Awalnya, Popi menerangkan, ayahnya mengembangkan restoran untuk mengakomodasi tamu internasional yang datang menikmati Danau Maninjau. Setelah itu, barulah secara perlahan dibangun pondok-pondok kecil di dekatnya. Saat angka kunjungan wisatawan mancanegara makin tinggi, barulah Ilham membangun Hotel Maninjau Indah pada 1974.
Tak tersedia data jumlah wisatawan yang datang ke Maninjau pada 1970-an. “Kalau malam hari datang ke Pasar Maninjau, bule yang di situ dan yang ketemu di jalan jauh lebih banyak daripada orang Maninjau sendiri,” tuturnya.
Warga yang lahir di Koto Gadang dan kini tinggal di Jakarta, Walneg S. Jas, juga mengingat masa-masa saat Maninjau menjadi salah satu lokasi wisata favorit Sumatera Barat. “Setiap hari selalu ada bule-bule berkeliaran di situ,” katanya, Senin, 30 September 2024. Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Himpunan Alumni Institut Pertanian Bogor atau IPB University, Jawa Barat, periode 2021-2025 ini menjalani pendidikan sekolah dasar di desanya sebelum ke sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas di Kota Padang.
Saat wisata berkembang, sektor lain mengikuti. Di sekitarnya terdapat toko suvenir, restoran, dan toko makanan yang menyediakan buah tangan. Popi mengatakan masa emas wisata di Maninjau ini berlangsung pada 1970 sampai pertengahan 1990-an. Pada saat itu setidaknya terdapat dua hotel. Selain Maninjau Indah, ada Pasir Panjang. Jumlah homestay lebih banyak, 60 unit.
Hendri, pria 40 tahun yang berasal dari Jorong Gasang, Nagari Maninjau, menikmati manfaat ekonomi dari tumbuhnya wisata itu dengan menjadi pemandu wisata. Upahnya lebih-kurang Rp 35 ribu. “Obyek yang ditawarkan adalah melihat bunga Rafflesia, pohon cengkih, dan pala,” ucapnya saat ditemui di sela-sela kesibukannya melakukan pembibitan ikan nila di Nagari Maninjau, Kamis, 12 September 2024.
Pada waktu itu, Hendri juga kerap melihat wisatawan mancanegara yang naik sepeda berkeliling danau. Bisnis lain yang juga muncul dan berkembang adalah jasa penyewaan sepeda, sepeda motor, dan buku. “Saya melihat wisatawan ada yang menikmati danau dengan duduk di samping hotel sambil membaca buku,” dia menambahkan.
•••
DI masa jaya pariwisata yang masih terpusat di sisi timur Danau Maninjau itu, sekitar Juli 1992, sejumlah alumnus Universitas Bung Hatta melakukan uji coba budi daya ikan dengan sistem keramba jaring apung. Kepala Dinas Perikanan dan Ketahanan Pangan Kabupaten Agam Rosva Deswira mengatakan uji coba awalnya dilakukan dengan membuat empat petak keramba.
Menurut Hafrijal Syandri, uji coba ini meniru konsep yang dikembangkan petani di Waduk Cirata, Jawa Barat. Model awalnya adalah menggunakan kotak keramba yang memakai jaring untuk menahan ikan dan bambu untuk membuatnya mengapung di danau. Kini keramba memakai besi agar lebih tahan di air dan drum untuk membuatnya terapung di air.
Seperti inovasi lain, awalnya banyak sekali yang mencemooh. “Awalnya diejek-ejek begini, ‘Masak, ikan sudah ada di danau mau dipelihara lagi di dalam danau. Dikurung lagi. Kapan besarnya?’,” kata Rosva. Wali Nagari Maninjau, Harmen Yasin, juga mendengar ungkapan seperti, “Habis duit orang tuanya untuk kuliah, pulang kampung pekerjaannya begini.”
Uji coba itu membuahkan hasil. Budi daya ikan mas, yang belakangan menjadi budi daya nila, terlihat menjanjikan secara ekonomi. Harmen menerangkan, setelah melihat hasil itu, warga yang sebelumnya mencemooh justru mengikutinya. Popi Mailani menambahkan, perkembangannya lebih pesat karena Pemerintah Kabupaten Agam juga mendukungnya dengan memberikan sejumlah bantuan.
Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sumatera Barat Reti Wafda mengatakan ada dukungan terhadap petani keramba pada saat itu karena memang ada program pengembangan perikanan di danau. “Begitu kita kasih bantuan, langsung berkembangnya melejit,” tuturnya. Pemerintah tidak menduga soal dampaknya lingkungan di kemudian hari.
Namun ada faktor lain yang mungkin juga membuat warga sekitar danau melirik usaha baru ini. Rosva mendengar cerita juga soal kondisi pertanian cengkeh dan pala milik sedang buruk karena hama penyakit dan harganya juga anjlok. “Ada peluang ini yang ini makanya mereka beralih ke sana,” katanya.
Budi daya ini pun berkembang sangat pesat. Dalam waktu delapan tahun saja, jumlah keramba meledak menjadi 3.500 pada 2001. Sepuluh tahun kemudian, jumlahnya naik hampir 4.000 persen menjadi 15 ribu. Berdasarkan pendataan Dinas Perikanan dan Pertanian Agam pada 2022, jumlahnya meledak menjadi 23.359 petak yang dimiliki 1.678 orang.
Rosva menuturkan, secara bisnis ini sangat menggiurkan. Pendapatan bersih dari keramba minimal Rp 800 ribu per petak dengan masa panen tiga-empat bulan. Itu sudah dikurangi ongkos tenaga kerja dan biaya pakan ikan (pelet). “Kalau untuk hidup, sepuluh petak cukup. Kalau untuk biaya sekolah dan kebutuhan tersier, 20 petak,” ujarnya. Lebih dari itu? “Jutawan. Bisa beli Rubicon,” ucapnya, berkelakar.
Senja di Danau Maninjau, Sumatera Barat, 10 September 2024. Tempo/Fachri Hamzah
Mereka yang hidup dari keramba jaring apung ini juga banyak. Ada tenaga pembibitan, pemberi pakan, petugas panen, penyedia jasa pakan, hingga penyedia transportasi hasil panen ke pasar atau ke luar daerah, seperti Pekanbaru dan Jambi. Dinas Perikanan tak punya hitungan soal jumlah orang yang hidup dari keramba. Menurut taksiran sejumlah sumber, mungkin yang menikmati langsung tak kurang dari 2.000 orang.
Hasil keramba berkontribusi penting bagi ekonomi masyarakat sekitar danau. Harmen Yasin mengatakan dulu rumah permanen dan bagus di sekeliling danau sangat jarang. Sekarang pemandangannya berbeda. “Orang mampu menguliahkan dan menyejahterakan anaknya dari duit keramba,” ujarnya.
•••
kUE ekonomi dari keramba terasa manis bagi petani tapi pahit bagi lingkungan. Alarm awal dari dampak budi daya keramba ini sebenarnya sudah mulai dirasakan pada 1997. Rosva Deswira menyebutkan kematian massal ikan tahun itu terjadi karena jumlah keramba sudah meledak menjadi ribuan petak. Pemicunya adalah siklus alam berupa naiknya belerang dari dasar danau, atau yang oleh masyarakat sekitar dikenal sebagai tubo belerang.
Sebelum ada keramba, tubo belerang adalah fenomena yang jamak. Menurut Hafrijal Syandri, di masa lalu tubo belerang datang setidaknya sekali dalam lima tahun. Hal itu menyebabkan ikan-ikan endemis atau ikan asli danau kekurangan oksigen. Ikan-ikan itu akhirnya menuju tepian untuk mencari air yang lebih banyak oksigen. Waktu itu ikan hanya mabuk, tidak mati. “Istilahnya bagi orang dulu mencuci danau.”
Setelah ada keramba, Hafrijal menambahkan, tubo belerang membawa lebih banyak kematian pada ikan di danau. Intensitasnya lebih sering daripada sebelumnya. “Banyak ikan yang mati terkurung di keramba saat tubo belerang itu datang. Berbeda dengan ikan lepas yang bisa lari atau mencari area yang lebih banyak oksigennya,” tuturnya.
Selain tubo belerang, ada fenomena yang disebut peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional, Ivana Yuniarti, sebagai pembalikan massa air akibat perubahan cuaca danau. Menurut dia, keramba mengubah profil oksigen di dalam danau. Oksigen yang awalnya masih ada di kedalaman 30-40 meter lama-lama naik. Artinya, oksigen bisa habis pada kedalaman 10-20 meter. Ketika ada angin besar, zona itu naik ke atas dan bisa membunuh ikan.
Pemicu makin parahnya kematian massal ikan adalah menumpuknya endapan yang disebabkan oleh pelet pakan ikan keramba yang jatuh ke dasar danau dan menumpuk bertahun-tahun. Hafrijal pernah meneliti besaran endapan pelet ikan ini dengan memasang jaring penampung di salah satu keramba milik petani Maninjau.
Di satu petak keramba, petani bisa menebar 10 ribu ekor ikan nila dan itu membutuhkan pakan sekitar 1,5 ton selama satu masa periode panen. Ternyata jaring penampung itu bisa menangkap sekitar 250 kilogram limbah pelet. “Coba bayangkan kalau dikalikan jumlah keramba 20 ribu petak. Berapa ton?” kata Hafrijal.
Pembalikan massa air itu, Hafrijal menambahkan, terjadi saat cuaca di luar danau dingin sementara di bawah panas. Pembalikan arus itu mengangkat sisa pakan yang mengendap. Ini menjadi seperti racun bagi ikan. Sebab, hal itu menyebabkan kadar oksigen turun dari 6 bagian per juta (ppm) menjadi 3 ppm dan menyebabkan ikan keramba mengalami kekurangan oksigen atau hiperplasia.
Belum bisa diperkirakan secara jelas berapa banyak endapan yang dihasilkan pelet ikan yang masuk ke dasar Danau Maninjau. “Sekarang diperkirakan sudah 10 meter tingginya sedimen itu,” ujar Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sumatera Barat Reti Wafda.
Kematian ikan massal terus terjadi dan tak berhenti. Kematian besar berikutnya terjadi pada 2016, yang juga merata di seluruh danau. Fajri, warga Nagari Sungai Batang pemilik keramba, mengingat peristiwa itu. “Pada 2016, ikan memang mati semua. Warna air pun berubah karena kandungan belerang itu. Petani keramba libur sekitar delapan bulan atau hampir setahun setelah peristiwa itu,” tuturnya.
Perkembangan ini berdampak pada destinasi wisata yang belum genap berusia 20 tahun itu. Menurut Popi Rajo Bintang, warga lain, saat jumlah keramba sedikit, dampaknya tidak begitu dirasakan. Namun ini berbeda saat kuantitasnya sudah mencapai ribuan. Ia menyebutkan menyusutnya jumlah wisatawan mancanegara sebagai barometer kerusakan air danau. “Karena mereka ke sana tujuannya berenang.”
Dampak kondisi air danau itu langsung menggigit sektor pariwisata. Kematian ikan massal terus terjadi, tapi jumlah keramba tak juga berkurang. Pada 2001, misalnya, jumlah keramba menjadi 3.500 dan tak pernah tercatat turun. Pada periode yang sama, Popi mengimbuhkan, penurunan kedatangan wisatawan mulai terjadi. “Dari akhir 1900-an itu sebenarnya sudah goodbye. Tidak ada lagi pariwisata,” katanya.
Dengan meredupnya daya tarik danau, sebagian wisatawan hanya singgah dan menginap di wilayah tetangga Agam, Kota Bukittinggi. Achjar Ilyas meninggalkan Maninjau pada 1966 sehingga tak banyak mengikuti perkembangan daerah kelahirannya. Saat ia pulang kampung pada 2000, keramba sudah banyak, tapi danau masih bisa dijadikan tempat mandi. “Pernah juga saya nyebur ke dalam. Gatal-gatal dan ini enggak gampang dibersihin. Agak lengket, licin,” dia menambahkan.
Petani keramba menolak dituding sebagai pencemar danau dan malah menyebut Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Maninjau yang dibangun pada 1983 sebagai penyebabnya. “Karena PLTA kan membendung danau. Begitu membendung, sampah-sampah enggak keluar, enggak hanyut,” ujar Reti Wafda, menirukan protes petani keramba. Belum lagi soal adanya sampah masyarakat yang masuk ke danau.
PLTA Maninjau memang pernah menjadi sorotan setelah banyaknya kematian massal ikan. Namun, Hafrijal Syandri menjelaskan, PLTA tidak memasukkan beban pencemaran ke badan air. Ia menyebutkan pelet yang menjadi sedimen di dasar danau dan tak bisa mengalir ke luar danau sebagai penyebab kematian massal ikan. “Danau Maninjau itu seperti kuali. Kalau yang mengendap itu tidak bisa. Paling sedimen ringan yang mengapung,” ucapnya.
Pemerintah menyadari bahaya pencemaran danau ini sehingga merumuskan sepuluh program Save Maninjau pada 2008. Programnya antara lain pengendalian keramba, pembersihan permukaan danau dari sampah, penyelamatan biota endemis, pengerukan atau penyedotan sedimen, dan pemfasilitasan mata pencarian petani keramba ke lahan darat. “Program itu dibikin karena banyak kematian massal ikan,” kata Hafrijal.
Pada 2014, pemerintah Agam juga mengeluarkan Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2014, yang isinya antara lain membatasi keramba jaring apung (KJA) sampai jumlah maksimal 6.000 petak. “Menurut LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia), kapasitas danau 6.000 KJA,” ujar Reti Wafda. Pada tahun itu, jumlah keramba 16.580 petak, hampir tiga kali daya tampung danau.
Pemerintah berusaha menguranginya, tapi terganjal kendala zonasi dan perizinan. Menurut Ivana Yuniarti, ada faktor tumpang-tindih antara hukum nasional dan hukum nagari soal pengaturan danau di Sumatera Barat. Ini yang diduga menjadi penyebab tidak adanya zonasi dan instrumen pengendalian keramba melalui skema perizinan. Pemerintah mengakui ada kendala itu.
Pemerintah mengakui ada kendala ini. Soal pemanfaatan danau di tangan nagari, Harmen menjelaskan, hal itu adalah hasil keputusan musyawarah ninik mamak pada 1911 bahwa sapangadoan (satu lemparan batu) dari tapian (tepian) adalah hak pemilik tapian. “Aturan adat itu enggak tertulis, tapi mengikat masyarakat adat.”
Lahirnya peraturan daerah pada 2014 itu tak bisa menahan laju penambahan jumlah keramba. Reti Wafda pernah melakukan survei untuk memetakan pendapatan alternatif masyarakat ketika jumlah keramba dikurangi. Pemerintah hendak mengetahui keinginan masyarakat. “Kami disambut spanduk, demo,” tuturnya.
Selain penolakan, Hafrijal Syandri melanjutkan, ada masalah keuangan dalam mengatasi persoalan keramba ini. Ia pernah mengikuti pertemuan Zoom antara Gubernur Sumatera Barat Mahyeldi Ansharullah dan Bupati Agam Andri Warman serta Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan pada 2019 di gedung Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Padang. Luhut menyarankan keramba segera disingkirkan. Gubernur meminta Bupati melaksanakannya. “Tapi Bupati menanyakan uangnya dari mana?” kata Hafrijal.
Dalam sebuah pertemuan dengan pejabat Sumatera Barat dan Agam, Luhut menyampaikan bahwa revitalisasi Danau Maninjau diperkirakan menelan biaya hingga Rp 237 miliar. Dana itu diperlukan untuk pengerukan sisa pakan dan kotoran ikan yang selama berpuluh-puluh tahun mengendap di dasar danau. Volume sedimen yang harus disedot sebanyak 2.745.000 meter kubik.
Sebagai bagian dari upaya mengurangi jumlah keramba, Reti Wafda menambahkan, pemerintah provinsi menyusun perda rencana tata ruang wilayah. Regulasi ini akan menjadi basis penyusunan tata ruang di danau, termasuk zonasi dan perizinan. Namun pembahasannya tidak dilanjutkan karena pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 60 Tahun 2021 yang menetapkan Maninjau sebagai satu dari 15 danau strategis nasional.
Setelah keluarnya perpres itu, Gubernur Sumatera Barat menggelar rapat Forum Komunikasi Pimpinan Daerah di Bukittinggi pada 2022. Suasana cukup panas di luar area pertemuan karena ada demonstrasi masyarakat Tanjung Raya yang menyampaikan aspirasi menolak rencana pengurangan keramba.
Menurut Reti, Gubernur mengumpulkan semua institusi untuk mendengarkan masukan. Setelah Gubernur mendengarkan pemaparan dan mempertimbangkan situasi keamanan, disepakati ada moratorium pengurangan keramba. “Saya terbayang wajah beliau (bupati). Habis presentasi (terlihat) semangat, begitu (ada kesepakatan) ini langsung lesu,” ucapnya, mengingat peristiwa itu, Senin, 9 September 2024.
Bupati Andri Warman menerima wartawan Tempo di kantor perwakilan Pemerintah Kabupaten Agam di Bukittinggi, Rabu, 11 September 2024. Dalam kesempatan itu, dia menjelaskan tantangan yang dihadapinya untuk menyelesaikan pencemaran danau. Namun dia tak ingin pernyataannya dikutip karena pertimbangan situasi politik. Andri maju kembali dalam pemilihan kepala daerah Agam.
Hafrijal Syandri memaparkan, Dinas Perikanan Sumatera Barat pernah memberi bantuan perahu dan mesin tempel untuk merangsang warga beralih ke perikanan tangkap. Ternyata, perahu itu malah dipakai untuk mengangkut pelet ke keramba. “Makanya pada 2023 langsung saya stop anggarannya,” kata Reti. Tapi bantuan untuk kelompok perikanan darat tetap diberikan.
Meski terlihat putus asa, pemerintah masih terus berupaya mengurangi keramba, kali ini dengan melibatkan Tentara Nasional Indonesia. Deswira mengatakan ada proses pengurangan keramba yang sedang berlangsung di Bayua, nagari yang memiliki KJA lebih dari 4.000 petak. Namun dia tak bersedia menjelaskan detailnya. Kepala Staf Komando Distrik Militer 0304/Agam Mayor Deswanto, saat dimintai konfirmasi Tempo, belum bersedia berbicara soal itu.
Deputi Bidang Koordinasi Pengelolaan Lingkungan dan Kehutanan Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi Nani Hendiarti mengatakan pemerintah menilai perlu ada pembatasan keramba sesuai dengan daya dukung lingkungan. “Solusinya ada alternatif penghasilan,” ucapnya saat dihubungi Tempo. Alternatif sumber ekonomi yang disiapkan adalah agrikultur hingga wisata. “Tapi memang belum terlalu banyak, masih sedikit realisasinya.”
Tim dari Pemerintah Provinsi Sumatera Barat, Pemerintah Kabupaten Agam, dan pemerintah pusat terus menggelar pertemuan. Reti mengungkapkan, ada sejumlah kesulitan yang dihadapi untuk menyelesaikan soal ini dan membuat peserta pertemuan merasa capek. “Ya, sudahlah. Capek juga ini Maninjau. Biar aja alam yang menghukum,” tuturnya. “Kita bukannya menyerah.”
Statistik memang menunjukkan tren kenaikan jumlah keramba, tapi produksinya sebenarnya turun. Jumlah keramba pada 2018 sebanyak 15.310 dan bertambah menjadi 23 ribu pada 2023. Namun produksinya turun dari 25.615,52 ton menjadi 10.822,27 ton. “Keramba di Maninjau itu terisi 30-40 persen. Artinya tingkat penurunan produksi di kawasan itu turun 70 persen,” kata Reti. Ia menyebutkan hal itu adalah seleksi alam untuk pengurangan keramba.
•••
HAFRIJAL Syandri menjelaskan, kondisi air yang buruk dan kenaikan harga pakan memang akan mengurangi pendapatan petani. Tapi hal itu tak akan menghentikan petani keramba, kecuali ikan tidak bisa hidup lagi di dalam keramba akibat kualitas air yang buruk. Dia mengungkapkan, saat diminta beralih dari karamba, warga meminta diberikan mata pencarian pengganti yang pendapatannya setara.
Pemerintah juga punya sikap relistis, yaitu memilih tak mengangkat semua keramba dan menyisakan jumlahnya sesuai dengan kapasitas danau, yaitu 6.000 petak. Reti menilai jumlah itu cukup untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga petani keramba. “Tambahan pendapatan bisa didapat dari memancing, wisata, dan lainnya,” ucapnya.
Harmen, yang masih menjadi Ketua Gerakan Cinto Maninjau, pernah meminta kepada Bupati Agam bantuan 200 ribu bibit cengkih, pala, dan alpukat untuk mengurangi ketergantungan warga pada keramba. “Kalau cengkihnya berbuah, alpukatnya berbuah, warga takut atau enggak hasil tanaman mereka dicuri orang? Pasti takut. Otomatis enggak ada keinginan menambah keramba lagi.”
Walneg S. Jas menyebutkan rencana penyedotan sedimen yang ditaksir berbiaya Rp 230 miliar yang hingga kini belum terwujud. Ia membayangkan, jika Rp 100 miliar dialihkan ke ekonomi alternatif, entah peternakan entah perkebunan, hal itu bisa membantu 3.000-5.000 keluarga. Sekitar 2.000 orang yang bekerja di mata rantai keramba pun bisa beralih. “Ekonomi alternatif yang masif adalah satu-satunya cara menyelamatkan Maninjau sekaligus menyelamatkan ekonomi masyarakat,” kata Ketua Koto Gadang di Jabodetabek ini.
Ribuan ikan keramba jaring apung yang mati di Danau Maninjau, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, 29 April 2021. Antara/Muhammad Arif Pribadi
Namun ada sejumlah kendala yang harus juga diatasi. Menurut Hafrijal, ada masalah politik yang membuat pejabat seperti bupati berat mengambil kebijakan pemulihan Maninjau. "Dia membutuhkan suara orang di situ (Maninjau)," ujarnya. Dengan ditetapkan sebagai danau prioritas nasional, Hafrijal menambahkan, pemerintah pusat sudah saatnya ikut menangani dan campur tangan lebih dalam.
Kendala lain yang juga disampaikan Hafrijal adalah keterbatasan dana bagi Kabupaten Agam dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah 2023 sebesar Rp 1,4 triliun ini. Dengan menjadi danau strategis nasional, menurut Walneg S. Jas, lebih bagus karena institusi yang menanganinya punya sumber daya lebih besar. Ia berharap gubernur dan bupati tidak hanya menunggu dan tak segan bertanya atau mengingatkan pejabat di Jakarta.
Yohanes Paskalis dan Fachri Hamzah dari Sumatera Barat berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Artikel ini merupakan bagian dari jurnalisme konstruktif yang didukung International Media Support