Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

olahraga

Andalan Baru Tenis Putri

Karier Priska Madelyn Nugroho mencorong setelah ia menjuarai Australia Terbuka Junior, 18 tahun sesudah Angelique Widjaja mengawali prestasi tenis putri Indonesia di turnamen itu. Memilih sekolah mandiri agar bisa menyesuaikan kegiatan belajar dengan jadwal latihan dan turnamen.

 

14 Maret 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Priska Madelyn Nugroho mengasah kemampuannya bermain tenis sejak kecil.

  • Melakoni studi mandiri, Priska lebih mudah menyesuaikan jadwal belajar, latihan, bertanding.

  • Menjadi satu dari empat atlet muda Asia yang berada di daftar 20 petenis putri terbaik ITF.

SEJAK kembali dari turnamen Piala Fed di Dubai, Uni Emirat Arab, awal pekan lalu, Priska Madelyn Nugroho lebih banyak menghabiskan waktunya dengan beristirahat. Tubuhnya masih didera rasa pegal karena dalam turnamen yang berlangsung pada 3-7 Maret itu dia melakoni enam pertandingan, empat di antaranya di sektor tunggal. “Tim kami cuma tiga petenis, gempor juga mainnya,” kata Priska seraya tertawa saat ditemui Tempo di kediamannya di Jakarta Pusat pada Kamis, 12 Maret lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kontingen Indonesia dalam kompetisi internasional tenis putri tahunan itu hanya terdiri atas Priska, Aldila Sutjiadi, dan Janice Tjen serta pelatih Deddy Tedjamukti. Tim-tim lain mengirim pemain lebih banyak. Kontingen Taiwan, menurut Priska, bahkan berisi 21 orang, termasuk fisioterapis dan rekan berlatih (hitting partner). 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Priska pun takjub terhadap tim Cina, yang lebih komplet dan diperkuat Wang Qiang, petenis peringkat ke-28 Asosiasi Tenis Profesional Putri (WTA). Wang mengalahkan Serena Williams dalam turnamen Grand Slam Australia Terbuka pada Februari lalu. “Tim pendukung Wang Qiang saja lebih besar daripada kontingen Indonesia,” tutur Priska. 

Berusia 16 tahun, Priska salah satu pemain termuda dalam turnamen itu. Dia juga baru pertama kali mengikuti Piala Fed, yang masuk kategori turnamen senior. Tapi nyalinya tak surut. 

Priska malah bersemangat karena menghadapi para petenis dengan peringkat lebih tinggi dan berpengalaman. Priska bahkan menghadapi tim ganda putri India yang diperkuat Sania Mirza, mantan petenis nomor satu dunia yang pernah tiga kali menjuarai Grand Slam. “Pengalaman berharga bisa melawan dia,” ujar Priska. 

Priska, Aldila, dan Janice berhasil membuat Indonesia mempertahankan posisi di Grup I zona Asia dan Oseania. Mereka mengalahkan tim Uzbekistan dan Taiwan. Indonesia menempati peringkat keempat di Grup I di bawah Cina, Korea Selatan, dan India. Priska menyumbang empat kemenangan, tiga di sektor tunggal dan satu di kategori ganda. 

Priska bertransformasi menjadi tulang punggung tenis putri Indonesia. Namanya kian menjulang berkat prestasinya menjuarai Australia Terbuka Junior kategori ganda putri pada 31 Januari lalu. Pasangannya adalah atlet 14 tahun asal Filipina, Alexandra Eala. Dalam laga final yang digelar di Melbourne Park, mereka dengan mudah menaklukkan Ziva Falkner/Matilda Mutavdzic dalam dua set dengan skor 6-1 dan 6-2. Itu turnamen kelimanya dalam Grand Slam Junior. 

Menurut Priska, tantangan terbesar dalam Australia Terbuka justru muncul pada semifinal, kala menghadapi Kamilla Bartone/Linda Fruhvirtova. Tertinggal 1-6 pada set pertama, Priska/Alexandra harus bermain lebih lama pada set ketiga untuk meraih kemenangan 7-5 dan 10-8. “Tekanannya luar biasa. Begitu main di final jadi lebih ringan,” ucap Priska. 

Priska menambah sejarah prestasi petenis putri Indonesia dalam Australia Terbuka Junior. Sebelumnya, Angelique Widjaja menjadi petenis Indonesia pertama yang menorehkan kemenangan 18 tahun lalu. Angelique, berpasangan dengan petenis Argentina, Gisela Dulko, mengalahkan ganda putri Svetlana Kuznetsova/Matea Mezak dalam tiga set dengan skor 6-2, 5-7, dan 6-4. Angelique juga mengantongi gelar juara di Wimbledon dan Prancis Terbuka Junior. 

Pengurus Pusat Persatuan Tenis Seluruh Indonesia (PP Pelti) memberikan hadiah uang sebesar Rp 150 juta kepada Priska atas keberhasilannya di Melbourne Park. Ketua Umum PP Pelti Rildo Ananda Anwar mengatakan hadiah itu bisa membantu Priska mengikuti beberapa program pertandingan di luar negeri. 

Menurut Anwar, prestasi Priska membawa kebanggaan karena bisa meneruskan sejarah apik petenis putri Indonesia, antara lain Angelique Widjaja dan Yayuk Basuki, yang bisa menjuarai turnamen tenis bergengsi dunia. Prestasi Priska bisa menjadi inspirasi bagi para petenis lain untuk mengikuti jejaknya. “Kami berharap Priska bisa meraih prestasi lebih baik lagi,” kata Anwar. 

Tenis adalah dunia Priska. Padahal keluarganya tak memiliki latar belakang mendalam soal olahraga tersebut. Ayah Priska, Albertus Nugroho, bermain tenis bersama rekan-rekannya hanya sebagai olahraga rekreasi. Namun Priska sudah mengenal olahraga itu sejak berusia empat tahun. Dia kerap menemani kakak laki-lakinya bermain tenis pada akhir pekan. “Katanya, saya jadi pemungut bola dulu, ha-ha-ha…,” ujar Priska. 

Kemampuan bermain Priska berkembang begitu ia bergabung dengan klub tenis Kemayoran. Pada usia tujuh tahun, dia didaftarkan ke turnamen mini di klub itu. Di luar dugaan, dia bermain bagus dan membawa pulang medali juara. Kegiatan tenis yang semula hanya iseng dilakukan untuk bermain berangsur menjadi lebih serius. 

Priska kian sering mengikuti turnamen nasional yang bisa berlangsung hingga sepekan, antara lain di Magelang, Solo, Semarang, dan Bandung. Dia mulai menjajal turnamen internasional pada usia 11 tahun. Kemenangan perdana dipetiknya dalam turnamen Federasi Tenis Internasional (ITF) di Ho Chi Minh, Vietnam, pada 2016. Peringkatnya perlahan terkerek naik dan menjadi tiketnya masuk ke Grand Slam Junior. 

Kesibukan di dunia tenis membuat Priska mengelola ulang urusan sekolahnya. Sejak kecil, dia belajar di sekolah swasta yang memiliki peraturan ketat. Priska merasa kesulitan menyesuaikan jadwal karena tak bisa terus-menerus absen untuk ikut bertanding. Latihannya juga sudah setiap hari pada pagi dan sore. Priska akhirnya pindah sekolah pada kelas V demi bisa mendapatkan jadwal yang lebih fleksibel. 

Keringanan yang diberikan sekolah membuat Priska bisa berkonsentrasi. Namun aktivitasnya bertambah setelah ia menjalani turnamen ITF U-14. Dia bahkan pernah absen selama lima pekan karena tur ke Eropa tiga tahun lalu. 

Sadar tak bakal bisa mengikuti ritme belajar konvensional, Priska memilih metode studi mandiri (homeschooling) selepas sekolah menengah pertama. Priska bisa belajar di mana pun dengan mengandalkan laptop dan Internet. “Dulu agak stres, kayak kejar-kejaran sama pelajaran,” ucapnya. 

Prestasi Priska mengantarnya bergabung dalam program WTA Future Stars. Pada 2017, dia menjuarai turnamen WTA Future Stars U-14. Dia pun lolos seleksi program Grand Slam Development Fund Touring yang disponsori ITF. Dalam program ini, ITF memilih sejumlah pemain bertalenta dari negara berkembang dan mensponsori perjalanan mereka ke kompetisi tertinggi. 

Berkat program ITF itulah Priska bisa mengikuti rangkaian turnamen Grand Slam junior. Dia tak perlu pusing memikirkan ongkos bertanding yang bisa mencapai ratusan juta rupiah. “Sudah dibayari, disediakan pelatih pula. Tapi itu yang bikin kita lebih berfokus,” tutur Priska, yang suka bermain di lapangan rumput. 

Priska kini menempati peringkat ke-14 dalam klasemen petenis junior ITF. Dia menjadi satu dari empat petenis Asia yang masuk daftar 20 petenis muda terbaik ITF. Tandem Priska di Australia Terbuka, Alexandra Eala, berada di posisi keempat. Adapun dua petenis Asia lain berasal dari Cina, yakni H. Wong dan Z. Bai, yang peringkatnya di bawah Priska. 

Terus mengumpulkan poin di tingkat junior, Priska juga tertarik masuk ke level profesional. Untuk itu, dia membutuhkan jam terbang bermain di level senior lebih banyak. Dengan prestasinya saat ini, Priska berpeluang mendapat akses khusus Junior Reception dan masuk ke babak utama dalam turnamen terendah untuk level senior dengan hadiah sebesar US$ 15 ribu. 

Priska juga memiliki opsi kedua untuk mengembangkan karier tenisnya, yaitu dengan bermain di tingkat universitas di Amerika Serikat. Menurut Priska, petenis putri dengan prestasi bagus, apalagi memiliki peringkat ITF tinggi, lebih mudah memperoleh tawaran bermain sekaligus sekolah. “Untuk main profesional atau ke college masih terbuka. Saya ada waktu sampai Agustus 2021 untuk ambil keputusan.”

GABRIEL WAHYU TITIYOGA

 

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus