Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Tokyo pernah berjaya dengan menggelar Olimpiade Musim Panas 1964.
Olimpiade itu menunjukkan kebangkitan Jepang dari keterpurukan Perang Dunia Kedua.
Kini Olimpiade kembali ke Tokyo dalam situasi yang berbeda.
"Dewa Olimpus dari Yunani Kuno tersenyum kepada Tokyo setelah pembukaan spektakuler dan penuh warna terjadi pada Selasa itu," tulis wartawan Greg Taylor di surat kabar Australia The Age edisi 12 Oktober 1964 mengenai pembukaan Olimpiade Tokyo. Judul laporannya: "Hari Kebanggaan Tokyo".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Acara pembukaan di Stadion Nasional yang dipenuhi 75 ribu penonton itu memang wah. Musik membahana dari 300 pemain musik dan enam band. Helikopter-helikopter menderu-deru di udara dan 1.000 bendera berkibaran di jalan-jalan sekitar stadion. Lima pesawat tempur berakrobat di udara, asapnya membentuk cincin-cincin lambang Olimpiade. Sebanyak 8.000 merpati dilepas ke udara. Semua terbang kecuali tiga merpati yang tetap beredar di arena hingga pesta usai.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Olimpiade itu adalah yang pertama digelar di Asia dan menjadi kebanggaan Jepang. "Gerakan Olimpiade telah menyeberangi setiap lautan dan Olimpiade pada akhirnya ada di sini, di Timur, yang membuktikan bahwa ia milik seluruh dunia," kata Avery Brundage, Presiden Komite Olimpiade Internasional, dalam pidatonya saat itu.
Pesta olahraga dunia ini juga menjadi simbol kebangkitan Negeri Sakura dari reruntuhan Perang Dunia Kedua. Secara simbolik, Jepang memilih Yoshinori Sakai sebagai pembawa obor dalam acara pembukaan. Mahasiswa dan atlet lari ini lahir di dekat Hiroshima ketika bom nuklir jatuh di kota tersebut. Sakai, yang dijuluki "Anak Bom Atom", berlari mengelilingi stadion, lalu meniti 179 anak tangga hijau ke puncak menara tempat baki api Olimpiade berada. Dia memberikan hormat kepada Kaisar Hirohito, sang tuan rumah yang duduk sendiri di podium kehormatan, sebelum menyalakan api abadi Olimpiade.
Sebanyak 94 negara ikut serta dalam kejuaraan akbar ini. Beberapa negara, termasuk Indonesia, Cina, serta Korea Utara, memilih absen dan berpartisipasi dalam Games of the New Emerging Forces alias Ganefo, pesta olahraga tandingan Olimpiade yang digagas Presiden Sukarno pada November 1963. Indonesia saat itu juga sedang berkonfrontasi dengan Malaysia sehingga Panglima Tentara Nasional Indonesia Letnan Jenderal Ahmad Yani meminta Sukarno menarik keikutsertaan Indonesia dari Olimpiade Tokyo. Alasannya, menurut Menteri Penerangan Roeslan Abdulgani, Indonesia harus berfokus dalam meningkatkan konfrontasi di semua ranah, termasuk olahraga.
Robert Whiting, pengarang Amerika Serikat yang berada di Tokyo ketika Olimpiade itu digelar, merekam kenangannnya dalam Tokyo Junkie: 60 Years of Bright Lights and Back Alleys...and Baseball, yang terbit pada April lalu. Whiting menyaksikan bagaimana Tokyo tumbuh pesat dalam beberapa tahun saja dari sebuah kota di negara dunia ketiga menjadi sebuah megalopolis.
Untuk menyambut Olimpiade, tulis Whiting, Jepang melakukan pembangunan secara besar-besaran, termasuk membuat jalur kereta layang. Saat tenggat makin dekat, pekerja konstruksi bergegas menyelesaikan semuanya. Pembangunan terlihat di mana-mana. Buldoser yang mengeduk tanah dan truk sampah yang mengangkut pasir untuk proyek reklamasi di pelabuhan bolak-balik ke sungai tanpa putus. Pada Januari 1964, pemerintah kota mengerahkan 1,6 juta penduduk untuk membantu membersihkan jalan-jalan Tokyo dari sampah bekas pembangunan.
Yang terkenal tentu saja pembangunan Shinkansen, kereta cepat yang menghubungkan tiga kota besar: Tokyo, Nagoya, dan Osaka. Dengan kecepatan sekitar 200 kilometer per jam, Shinkansen menjadi kereta tercepat di dunia saat itu sekaligus menunjukkan keunggulan teknologi Jepang pascaperang.
Pembukaan Olimpiade Tokyo 1964 yang dipenuhi penonton, di Tokyo, Jepang./IOC
Oxford Olympics Study menghitung biaya Olimpiade Tokyo sekitar US$ 282 juta dalam kurs dolar Amerika Serikat tahun 2015. Itu baru biaya untuk hal yang berhubungan dengan olahraga, belum mencakup pembangunan sarana pendukung seperti jalan, kereta, dan bandar udara, juga perombakan hotel dan bisnis lain. Namun, dengan Olimpiade pun, hanya 352 ribu orang asing yang berkunjung pada tahun tersebut. Kunjungan pada tahun-tahun berikutnya juga masih di sekitar angka tersebut. Meski demikian, berbagai studi menunjukkan berbagai proyek pembangunan itu telah memberikan manfaat jangka panjang bagi Tokyo selama 50 tahun berikutnya.
Kebanggaan Olimpiade 1964 itulah yang bergema lagi ketika Tokyo terpilih sebagai penyelenggara Olimpiade Musim Panas 2020. Kiyoteru Tsutsui, profesor sosiologi dan Direktur Pusat Studi Jepang di University of Michigan, Amerika Serikat, menyebutkan Olimpiade kali ini mulanya dibingkai sebagai simbol pemulihan dari tiga bencana besar di Jepang pada 2011, yakni gempa Tohoku, tsunami, dan kecelakaan nuklir Fukushima Daiichi. Olimpiade diharapkan menjadi pemersatu dan penyemangat masyarakat Negeri Matahari Terbit.
Namun keadaan berubah ketika pandemi Covid-19 melanda tahun lalu. Segala rencana untuk menciptakan sebuah pesta olahraga yang megah sirna karena pemerintah harus menerapkan karantina wilayah untuk menahan laju penularan virus. Komite Olimpiade Internasional menunda perhelatan itu dan akhirnya menggelarnya tahun ini, meski Tokyo masih dalam masa darurat kesehatan.
Komite menerapkan kebijakan tanpa penonton. Pembukaan di Stadion Nasional, yang dibangun pada masa Perdana Menteri Shinzo Abe dengan merobohkan stadion yang dulu menjadi arena pembukaan Olimpiade 1964, berlangsung spektakuler tapi sepi penonton.
Kemeriahan Olimpiade sebelumnya tak berulang. Orang-orang hanya bisa menonton berbagai pertandingan melalui televisi. Masyarakat pun lebih cemas Olimpiade ini akan memperburuk pandemi. Mereka menggelar protes di jalan-jalan Tokyo.
Kiyoteru Tsutsui menilai masyarakat Jepang memandang Komite Olimpiade Internasional cuma memaksakan kepentingan ekonomi tanpa pertimbangan memadai terhadap aspek keamanan dan kesehatan. "Komite itu mirip Dana Moneter Internasional (IMF) atau Bank Dunia selama krisis ekonomi Asia di negara terkena dampak atau Uni Eropa—entitas internasional yang mendorong agendanya tanpa akuntabilitas dari rakyat," tuturnya kepada Stanford News pada Kamis, 22 Juli lalu.
Ekonom dan pengusaha yang dulu berharap dapat menangguk untung besar dari Olimpiade kini khawatir akan kerugian yang harus ditanggung. Takahide Kiuchi, ekonom di Nomura Research Institute dan mantan anggota direksi Bank of Japan, menyatakan status darurat pertama di Jepang tahun lalu diperkirakan telah menelan kerugian 6,4 triliun yen atau Rp 843 triliun lebih. Kerugian juga terjadi dalam status darurat kedua dan sekarang. "Jika (Olimpiade) memicu penyebaran infeksi dan memaksa keadaan darurat lagi, kerugian ekonomi akan bertambah besar," ujarnya dalam sebuah laporan yang diterbitkan pada Mei lalu.
Jika Olimpiade dibatalkan, Kiuchi menambahkan, kerugian langsungnya akan setara dengan sepertiga produk domestik bruto Jepang pada tahun fiskal 2020, yang sekitar Rp 237 triliun. "Hitungan ini menunjukkan keputusan menggelar atau membatalkan Olimpiade harus dibuat dari perspektif infeksi daripada kerugian ekonomi," katanya seperti dikutip Reuters. Penilaian ini mendukung pandangan Masayoshi Son, jutawan dan CEO SoftBank Group, yang menilai Jepang "akan rugi banyak" jika Olimpiade berujung pada kenaikan kasus infeksi.
Pemerintah dan perusahaan Jepang telah menghabiskan lebih dari US$ 10 miliar atau sekitar Rp 144 triliun guna mempersiapkan Olimpiade, termasuk US$ 3 miliar untuk membangun delapan gedung pertandingan baru, seperti Stadion Nasional. Ada pula tambahan dana US$ 1 miliar untuk persiapan dan pencegahan infeksi.
Apa pun yang terjadi, duit pembangunan gedung-gedung itu telah terpakai. Tak ada harapan pula mendapat pemasukan dari wisatawan asing karena Jepang menutup pintu bagi mereka sejak Maret lalu. Ketika Tokyo terpilih sebagai penyelenggara Olimpiade, panitia memperkirakan pendapatan dari tiket, hotel, makanan, wisata kota, dan barang aksesori Olimpiade mencapai US$ 2 miliar. Semua sumber pendapatan itu kini sirna.
Olimpiade akhirnya pulang ke Tokyo, tapi dalam situasi yang jauh berbeda. Tanpa gegap gempita, tanpa keramaian. Tapi pemerintah Jepang masih berharap Olimpiade Tokyo ini dapat memberikan semangat kepada masyarakat yang dilanda pandemi Covid-19.
Iwan Kurniawan
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo