Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

prelude

Rasio Dokter Kian Timpang

Menteri Kesehatan Suwardjono Suryaningrat mengatakan ada 474 pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) yang tidak memiliki dokter sama sekali. Padahal calon dokter menumpuk di fakultas kedokteran swasta karena ujian CMS yang sukar diikuti.

5 September 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Terjadi kelangkaan dokter sementara calon dokter menumpuk di fakultas kedokteran swasta.

  • Pemerintah menghapuskan ujian CMS yang dianggap menghambat produksi calon dokter dari fakultas kedokteran swasta.

  • Terbitkan kurikulum standar beserta aturan teknis mengenai jumlah murid yang dapat diterima dan ujian masuknya.

HINGGA 1 September 2020, tercatat 102 dokter meninggal karena tertular corona. Kematian ini menempatkan Indonesia di posisi berbahaya pada masa mendatang. Menurut data Badan Kesehatan Dunia (WHO ) pada 2017, rasio perbandingan dokter dengan populasi di Indonesia berada di angka 4 : 10.000. Artinya, tiap sepuluh ribu populasi di Indonesia, hanya ada empat dokter yang tersedia. Jumlah ini jauh di bawah standar ideal WHO yang mematok angka 1 : 500.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Platform pemantau Covid-19, Pandemictalks, merilis Indeks Pengaruh Kematian Nakes untuk menggambarkan dampak setiap kematian tenaga kesehatan buat ketahanan sistem kesehatan Indonesia jangka panjang. Hasilnya, indeks Indonesia berada di angka 330,9, yang berarti kematian satu dokter akan berpengaruh terhadap 330.900 penduduk. “Publik harus tahu betapa tingginya arti nyawa dokter di Indonesia,” kata Muhammad Kamil, inisiator Pandemictalks.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dia mengatakan kematian dokter akibat tertular corona yang tak dapat dikendalikan lajunya bisa menyebabkan kelangkaan dokter. “Ini berdampak buruk bagi sistem kesehatan Indonesia terlebih menghasilkan satu dokter yang mumpuni membutuhkan waktu bertahun-tahun,” ujarnya. Menilik ke tahun-tahun belakang, pada 1970-an, Indonesia juga dirundung kelangkaan dokter.

Pada periode tersebut berbagai wabah silih berganti menerjang Indonesia, dari kolera, cacar, malaria, hingga demam berdarah. Tempo pada 28 Oktober 1978 menyoroti akrobat pemerintah untuk mempercepat “kelahiran” dokter lewat artikel berjudul “Jalan Baru Masih Berduri”.

Pemerintah saat itu mulai menelaah apa saja penghambat produksi dokter di Indonesia. Pelaksanaan ujian lewat Consortium Medical Sciences (CMS) dianggap salah satu hambatan karena menyebabkan bertumpuknya calon dokter di fakultas kedokteran swasta. Kondisi ini sangat kontras dengan keadaan sistem kesehatan Indonesia waktu itu.

Menteri Kesehatan saat itu, Suwardjono Suryaningrat, mengatakan ada 474 pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) yang tidak memiliki dokter sama sekali. Agar tak menjadi penghambat, Suwardjono berinovasi. Ia menyelenggarakan ujian External Examination (EE) untuk para mahasiswa fakultas kedokteran swasta yang masih “terjebak” di dalam kampus. Ujian ini dilaksanakan mulai April 1978.

Menurut Suwardjono, pelaksanaan ujian EE dapat menjadi jalan pintas untuk menggenjot produksi dokter. “Daripada mereka harus antre menunggu giliran ujian CMS yang biasanya bertahun-tahun baru didapatkan,” katanya. Syarat untuk mengikuti EE juga terbilang mudah, yaitu mahasiswa tingkat akhir yang telah menjalani masa bakti di daerah selama setahun.

Tapi keinginan pemerintah mengakselerasi jumlah dokter dengan melaksanakan EE tak mulus. Pada salah satu pelaksanaannya, dari 160 pendaftar, hanya 80 yang dapat melaksanakan ujian. Dari jumlah tersebut, hanya 39 orang yang berhasil lulus menjadi dokter. Ketika dibuka ujian gelombang selanjutnya, ada tumpang-tindih dengan separuh peserta yang tidak kebagian jatah ujian dalam ujian sebelumnya. “Kita tidak bisa begitu saja meluluskan mereka setiap kali mereka sudah lulus sebagai dokter lokal,” ucap Prof Dr Asri Rasad, Sekretaris Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Selain soal ujian, manajemen internal fakultas swasta dianggap menjadi hal yang menghambat produksi dokter. Beberapa fakultas kedokteran swasta tak memiliki rumah sakit untuk praktik mahasiswanya seperti yang dimiliki Trisakti. Maka mahasiswa mesti mondar-mandir ke rumah sakit “tumpangan”. Hal ini menjadi rintangan bagi mahasiswa tingkat akhir yang mesti menjalani praktik co-as.

Ditambah pengajar di fakultas kedokteran swasta yang minim. Dulu fakultas-fakultas ini bisa mengandalkan tenaga pengajar yang berasal dari Universitas Indonesia. Sekarang praktik mengajar di luar kampus menjadi aktivitas ilegal. Aturan ini berlaku sejak Mahar Mardjono, Rektor Universitas Indonesia, terpilih sebagai Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Untuk mengatasi kesemrawutan di pendidikan kedokteran swasta, pemerintah bersama majelis pimpinan fakultas kedokteran swasta mempersiapkan kurikulum dasar fakultas kedokteran. Di dalamnya diatur jumlah ideal dan persyaratan untuk mahasiswa baru yang akan diterima. “Hasil kerja majelis akan diserahkan kepada pemerintah,” kata Ketua Majelis Soewarno. Kurikulum ini diharapkan dapat menjawab keraguan atas mutu dokter lulusan swasta.



Artikel lengkap terdapat dalam Tempo edisi 28 Oktober 1978. Dapatkan arsip digitalnya di:

https://majalah.tempo.co/edisi/1067/1978-10-28

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus