Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

prelude

Habibie dan Pesawat Itu

BACHARUDDIN Jusuf Habibie meninggal pekan lalu pada usia 83 tahun. Ia identik de-ngan pesawat terbang N250.

14 September 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Majalah Tempo mengulas pesawat itu dua bulan sebelum diluncurkan pada edisi 11 Juni 1994. Di kediaman Duta Besar RI di Washington, Menteri Riset dan Teknologi B.J. Habibie berbicara tentang tawaran dari sejumlah negara bagian di Amerika Serikat untuk merakit pesawat N250 di daerah mereka.

Tawaran itu datang dari enam negara bagian: Ohio, Alabama, Utah, Arizona, Oregon, dan Kansas. “Sudah berkembang dari empat peminat menjadi enam peminat,” ujar Habibie seraya mengumbar senyum. Disebut-sebut pula bahwa perusahaan Boeing telah berniat menanamkan dana-nya di anak perusahaan Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN) di Amerika.

Menurut sebuah sumber, 60 persen sahamnya dipegang IPTN, sisanya di -tangan Boeing. Sinyalemen ini sejalan dengan pernyataan Habibie. “Saya tak akan -keluar uang sendirian,” ucapnya. “Mereka boleh membeli saham sampai 40 persen.” Soal kerja sama Boeing-IPTN memang belum jelas benar. Boeing juga belum memastikan. “Setahu saya, tak ada pengumuman resmi soal kerja sama itu,” kata juru bicara Boeing di Seattle, Mark Hooper.

Tapi dia mengakui Boeing tengah menjajaki rencana memproduksi pesawat komu-ter berkapasitas di bawah seratus penumpang. Kemungkinan itu ditandai dengan ditunjuknya Richard James sebagai Vice President Boeing khusus untuk menangani pesawat komuter. Memang akan sulit menerima bahwa Boeing tertarik merakit pesawat buatan IPTN. Tapi mungkin saja ada alasan kuat untuk itu. Misalnya? Menurut perhitungan Habibie, dalam 20 tahun mendatang akan ada permintaan 4.500 pesawat komuter seperti N250 itu. Berarti setiap tahun dibutuhkan 225 pesawat komuter.

Sedangkan Amerika memerlukan 1.200 pesawat. Padahal hanya ada tiga perusahaan yang membuat pesawat jenis N250, yakni IPTN, ATR72 (Prancis), dan ATP (Inggris). Jika dibandingkan dengan dua pesaingnya, mungkin N250 lebih unggul, baik dalam kemampuan jelajah, teknologi, maupun harga. Pesawat dengan enam bilah baling-baling ini dihargai sekitar US$ 13,5 juta per buah, lebih murah 10 persen dari pesaing.

Singkatnya, prospek pasar N250 memang ada. Hanya, menurut majalah terkemuka Aviation Week & Space Technology edisi pekan lalu, pengangkatan Richard James lebih dititikberatkan pada tugas memasarkan Boeing 737-700, yang berkapasitas di bawah seratus orang. Katakanlah kerja sama IPTN-Boeing masih belum konkret, tapi adanya permintaan pasar yang lebih positif bukanlah satu-satunya alasan bagi Habibie untuk merakit N250 di Amerika.

Lalu? Ada pertimbangan lain, -yakni -biaya produksi dan sertifikat Lembaga -Penerbangan Federal Amerika Serikat (FAA). Yang terakhir ini ibarat visa bagi pesawat agar bisa beroperasi di Amerika. Kabarnya, rencana merakit pesawat di luar negeri ini berangkat dari jumlah komponen N250 yang 39,73 persen berasal dari Amerika. Adapun komponen dari Indo-nesia 38,6 persen, selebihnya dari Prancis, Inggris, serta Jerman.

Tapi sumber lain malah menyebutkan hampir 65 persen komponen N250 berasal dari Amerika. Itu berarti cukup banyak biaya, terutama transportasi, yang bisa dihemat jika pesawat N250 dirakit di Amerika. Selain itu, mitra Amerika dapat diajak memasok dana. “Rasanya ide Habibie ini tampaknya cukup layak, meskipun risikonya tinggi,” tutur seorang pegawai IPTN North America.

Tapi, yang terpenting, sertifikat FAA akan mudah didapat seandainya N250 dirakit di Amerika. Adapun sertifikat FAA -biasanya baru diberikan setelah ada bila-teral airworthiness agreement antara Ame-rika dan negeri pembuat pesawat. Ini berarti dinas kelaikan udara di negara si pembuat kapal harus setara dengan Amerika. Dan, bagi Indonesia, untuk bisa setara -dengan Amerika, diperlukan waktu. Faktor itulah yang tidak menunjang proyek N250 ini.

Tapi, andai kata N250 jadi juga dirakit di Amerika, untuk lima-tujuh tahun IPTN menyediakan dana US$ 350 juta atau sekitar Rp 700 miliar. Investasi ini tak seberapa mengingat prospek pesawat N250 memang diperkirakan cerah—apalagi, dengan memproduksi 259 unit, IPTN sudah bisa mencapai titik impas. Namun seorang pejabat Bank Dunia mengingatkan, “Pasar pesawat terbang ini angin-anginan. Jadi risikonya cukup tinggi,” ucapnya kepada Bambang Harymurti dari Tempo.

Yang pasti, IPTN akan menghadapi persaingan ketat. Soalnya, di kelas N250, Jepang akan menggandeng Boeing, ATR, Saab, dan AVIC (Cina). Adapun Cina menggandeng McDonnell Douglas, sementara Samsung (Korea) mengajak Cina dan Lock-heed. Tapi pesaing yang potensial adalah perusahaan Brasil, Embraer, yang akan meluncurkan pesawat komuter setahun setelah N250.


 

Artikel lengkap terdapat dalam Tempo edisi  9 Februari 1974. Dapatkan arsip digitalnya di:

https://majalah.tempo.co/edisi/1147/1994-06-11

 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus