Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di tengah rumah-rumah itu terdapat rumah siwaluh jabu atau suah. Tak seperti rumah lain yang tutup karena penghuninya baru begadang merayakan pergantian tahun, bangunan berarsitektur tradisional itu tutup karena memang tak berpenghuni. Inilah rumah asli Karo.
Pada 1920-an, tiga rumah suah berdiri kokoh di desa itu. Rumah suah merupakan bangunan yang tidak berkamar dan biasa dihuni delapan keluarga. Para penghuni tidur di lantai, hanya bersekatkan kain, sebagai pemisah antarkeluarga. Dalam memasak, delapan keluarga dibagi menjadi empat kelompok, sehingga di suah terdapat empat tungku.
Suah tidak memakai paku. Bulatan kayu dengan pahatan seadanya disatukan memakai potongan kayu lainnya dengan pasak. Penyangganya, 12 potongan kayu bulat setinggi 1 meter, berdiri di atas bongkahan batu alam. Meski telah berumur hampir seratus tahun, fondasi berbahan kayu pengkih belum lapuk.
Pada 1970-an, rumah suah tak lagi dihuni. Dua rumah ambruk. Satu rumah kini tertatih dalam proses penyelamatan, yang dilakukan oleh Gerakan Koin untuk Rumah Adat Karo sejak akhir 2009. "Kondisinya masih 50 persen," kata Desnalri Sinulingga, Ketua Gerakan Koin. Bangunan di atas lahan 10 x 7 meter itu memang compang-camping. Anak tangga berbahan bambu rusak. Beberapa bagian dinding juga bolong.
Desember 2009, enam mahasiswa Fakultas Seni Rupa Universitas Negeri Medan tergugah melihat kondisi rumah suah, yang merupakan warisan budaya Tanah Karo. Desnalri Sinulingga, Sada Kata Ginting, Destanta Permana Purba, Oky M. Barus, dan Sry Juita Ginting bersepakat untuk bertindak.
Dari hasil inventarisasi mereka, masih terdapat 20 bangunan rumah adat yang tersisa. Namun hanya sedikit yang masih dihuni. Desa Melas dipilih sebagai proyek penyelamatan, meski hanya ada satu rumah yang tersisa di sana. "Masyarakatnya masih orisinal, belum terpengaruh," kata Desnalri, memberi alasan.
Mulanya warga kurang antusias terhadap gerakan para mahasiswa kota tersebut. Namun, setelah Gerakan Koin untuk Rumah Adat Karo dideklarasikan pada 20 Mei 2010, masyarakat tergerak. Bahkan seorang pemilik hutan bambu menyilakan mereka mengambil bambu secara gratis.
Desnalri dan teman-teman memang kesulitan. Dari berbagai upaya, hanya terkumpul Rp 200 ribu. Baru setelah Desnalri, yang saat itu Wakil Pemimpin Redaksi Tabloid Sora Sirulo, berdiskusi dengan para atasannya, jalan keluar terbuka. Hasilnya, terkumpul Rp 6 juta. Kini proses restorasi masih berjalan, meski tertatih. "Target kami sudah harus selesai 2012 ini," ujar Desnalri berjanji.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo