Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Yulia Sugandi merilis buku Orang Hubula yang mendalami masyarakat adat Hubula di Lembah Palim, Papua Pegunungan.
Buku ini menggambarkan cara orang Hubula menempatkan alam sebagai otoritas tertinggi, meski ada pemerintahan dan gereja.
Orang Hubula juga menjaga garis keturunan dan mengharamkan perkawinan sesama anggota marga.
TAK banyak buku yang mendalami kehidupan masyarakat adat Papua. Orang Hubula karya Yulia Sugandi menjadi oase di tengah kekeringan itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Orang Hubula merupakan kelompok masyarakat adat yang hidup di Lembah Palim—lebih sering disebut Baliem—Kabupaten Jayawijaya, Provinsi Papua Pegunungan. Sejumlah literatur menyamakan mereka dengan atau bagian dari suku Dani. Faktanya, menurut Yulia, tidak demikian. "Suku yang tinggal di luar Lembah Palim disebut Dani Barat. Dalam bahasa Hubula disebut Palika," ujarnya dalam diskusi buku Orang Hubula di Goethe-Institut, Menteng, Jakarta Pusat, pada Sabtu, 2 November 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Yulia mengatakan praktik kehidupan tersebut berpijak pada falsafah yang ditinggalkan para leluhur mereka. Perubahan sosial—masuknya Kristen, pemerintahan, dan pembangunan—memunculkan nilai-nilai baru. Buku ini menjabarkan bagaimana orang Hubula menavigasi berbagai nilai yang datang dan tetap menegakkan kedaulatan kosmologinya.
Menurut Yulia, ada tiga prinsip utama dalam kehidupan orang Hubula. Pertama, asas instrumental. Kita melindungi alam karena alam memberikan manfaat kepada kita. Kedua, asas intrinsik, yaitu menganggap alam dan semua bagiannya memiliki kedudukan yang sama dengan manusia. Penghormatan ini juga berlaku bagi zat yang mereka anggap ada, tapi tak kasatmata. "Misalnya Oi Yare, roh penjaga pohon," ucapnya kepada Tempo setelah diskusi buku.
Sampul buku Orang Hubula karya Yulia Sugandi.
Ketiga, asas relasional, yaitu membangun hubungan baik dengan leluhur. "Relasi itu terus mereka bangun, baik dengan yang terlihat maupun tidak terlihat," kata mantan pengajar Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor itu. Kedaulatan kosmologis tersebut, ia melanjutkan, tetap mereka tempatkan di posisi tertinggi setelah kehadiran otoritas pemerintah dan gereja.
Dalam bukunya, Yulia menulis bahwa cerita leluhur orang Hubula merupakan representasi topografi Lembah Palim sekaligus eko-kosmologi relasi mereka dengan lingkungan. "Hubungan orang Hubula dengan leluhur sangat penting dalam menjaga kesuburan orang Hubula, tumbuhan, babi, dan tanah," demikian tertulis di halaman 116 dan 117. Mereka menempatkan haluan kehidupan pada alam dengan falsafah wen (kebun), wene (kabar), dan wam (babi).
Yulia mengatakan buku yang bermula dari disertasi doktoralnya ini menggambarkan budaya regeneratif orang Hubula, yang juga ada di masyarakat adat pada umumnya. Budaya regeneratif ini menekankan nilai identitas dan relasi ekologis yang erat antara manusia, tanah, dan segenap lanskapnya. Nilai komoditas atau ekonomi hanya bagian kecil dari budaya regeneratif. "Bagi Hubula, perubahan sosial yang bermartabat harus tertanam dalam hubungan kosmologis yang harmonis. Bukan dalam proses komodifikasi," ucapnya.
Ambrosius Mulait, warga asli Hubula, mengatakan mereka masih menjaga betul garis keturunan, yaitu Wita dan Waya. Anggota marga yang sama dilarang menikah. "Hukumnya pawi atau haram," kata Mulait, 29 tahun, lewat sambungan telepon pada Rabu, 6 November 2024. "Jika melanggar, anak bisa meninggal dan keluarga itu dikutuk oleh leluhur."
Sejarawan Hilmar Farid mengapresiasi buku Orang Hubula karena mengkritik dasar berpikir tentang pembangunan. Penulis, dia melanjutkan, tidak sekadar mempertimbangkan kebudayaan dalam pembangunan. "Tapi juga menggeser perspektif kita," tuturnya setelah diskusi buku tersebut.
Menurut Direktur Jenderal Kebudayaan periode 2015-2024 itu, pergeseran cara pandang tersebut dimungkinkan karena riset mendalam penulis soal lingkungan, adat, masyarakat, serta budaya orang Hubula. "Yulia memperlihatkan bahwa pembangunan dengan orientasi ekonomi sering kali mengabaikan semua itu," ujarnya. "Seandainya pembangunan benar-benar bersandar pada kekayaan budaya dan kekayaan alam yang dimiliki masyarakat, itu akan menjadi kekuatan yang luar biasa."
Yulia menjelajahi wilayah Papua Pegunungan sejak 2000-an. Dia terdorong oleh ketimpangan sosial yang terang-benderang di sana: kekayaan alam Papua berlimpah, tapi indeks pembangunan manusianya rendah. Saat mendalami budaya masyarakat Hubula, dia melepaskan diri dari semua jargon, termasuk pembangunan demi kehidupan yang lebih baik. "Itu menurut standar siapa," ucapnya.
Ketika tinggal bersama orang Hubula, Yulia mendapati nilai-nilai baru. Misalnya, bagi masyarakat modern, berkebun untuk memenuhi kebutuhan pangan dan ekonomi. Tapi, bagi orang Hubula, berkebun merupakan cara membangun relasi dengan alam. Mereka meletakkan ubi jalar dan daunnya di atas tanah setelah panen sebagai penghormatan bagi leluhur yang memberi kesuburan lahan. Menurut dia, praktik itu selayaknya bertasbih bagi orang Islam.
Damayanti Buchori, Direktur Center for Transdisciplinary & Sustainability Sciences IPB, memuji studi antropologi yang dilakukan Yulia. Menurut ahli ilmu serangga itu, pengetahuan lokal penting untuk memajukan pengetahuan Indonesia, yang ia sebut sedang tertatih-tatih mencari jati diri.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo