Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

teroka

Perginya Sang Katalisator

Anung adalah aktivis sejati yang rendah hati dan memegang teguh komitmen. Seorang katalisator yang mampu mengerjakan semua hal.

3 Oktober 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Nama Anung mungkin tak banyak diketahui orang, tapi catatan hidupnya bercerita panjang sebagai aktivis tiada henti.

  • Anung menjadi semacam katalisator di berbagai organisasi.

  • Kecintaan Anung pada lingkungan tersalurkan ketika ia mendapatkan beasiswa dari Walhi.

SOSOKNYA energetik meski fisiknya terlihat agak rapuh. Ia ramah kepada siapa saja yang ditemuinya. Orangnya supel dalam pergaulan dan selalu tersenyum. Kalau sedang berbicara, ia berfokus pada topik. Ia tak tertarik bergibah saat teman-temannya sibuk membicarakan seseorang. Ia selalu memegang teguh komitmen dan berdisiplin terhadap jadwal. Itulah Anung Didik Budi Karyadi, yang kerap dipanggil Mas Anung oleh teman-temannya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ia aktivis sejati yang tak pernah menonjolkan diri. Namanya mungkin tak banyak diketahui orang. Tapi, kalau kita melihat catatan hidup Anung, isinya bercerita panjang tentang aktivisme tiada henti. Sejak akhir 1980-an, ia aktif di Yayasan Geni Salatiga, lantas di Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Transparency International Indonesia, Kemitraan, Institut Studi Arus Informasi, dan Greenpeace Indonesia. Ia bergabung dengan Sekretariat Nasional Jokowi menjelang Pemilihan Umum 2014.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di berbagai organisasi itu, Anung menjadi semacam katalisator. Ia bisa mengerjakan hampir semua hal. Saat ada ketegangan di antara teman-temannya, kehadiran Anung sering kali mampu membangun kembali dinamika kelompok. Ia memiliki kemampuan berkomunikasi yang baik dengan semua orang.

Saya pertama kali mengenal Anung saat kuliah di Fakultas Teknik Elektro Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), Salatiga, Jawa Tengah. Anung adalah senior saya meski secara umur lebih muda. Dia angkatan 1979, sementara saya angkatan 1980. Namun, dengan model perkuliahan yang ada saat itu, ketika mahasiswa bisa bebas memilih mata kuliah yang akan diambil, kecuali mata kuliah yang berkaitan dengan prasyarat, kami sering berada di kelas dengan mata kuliah sama.

Anung aktif terlibat dalam berbagai kegiatan mahasiswa, baik di dalam kampus maupun ekstra-kampus. Ia ikut mencalonkan diri sebagai kandidat ketua senat mahasiswa pada 1982. Pencalonannya sempat memunculkan polemik karena ia kandidat beragama Islam di kampus yang ketika itu nuansa kekristenannya masih sangat kental tersebut. Walhasil, Anung kemudian tidak terpilih. Tapi ia berani ikut berkampanye dan memaparkan berbagai program yang akan dijalankan seandainya terpilih. Di mata saya, Anung setidaknya adalah orang yang berani mencoba mendobrak kultur yang ada.

Anung ikut hadir dalam upacara pendirian Lintas Alam Elektro di kawah mati puncak Gunung Merapi pada 1983. Ia juga aktif di Himpunan Mahasiswa Pecinta Alam UKSW. Di lapangan kampus, ia kerap terlihat bergelayutan di antara batang pepohonan untuk mengajarkan rappelling kepada anggota baru pencinta alam. Ia juga belajar tentang penyusuran gua bawah tanah kepada dokter Kho, yang tinggal di Bogor, Jawa Barat.

Meski agak ringkih dan kerap masuk angin, Anung seorang pendekar Merpati Putih. Ia mempelajari banyak ilmu kanuragan, termasuk getaran. Kalau datang ke tempat tinggal saya yang juga ditinggali beberapa teman Merpati Putih, ia selalu membawa sejumlah botol minuman ringan dan pipa pompa air Dragon. Tak lama setelah kedatangannya, pasti di belakang rumah terdengar botol pecah atau teriakan disusul suara patahan besi yang terpelanting.

Rumah kos yang saya tinggali menjadi salah satu tempat nongkrong mahasiswa. Biasanya, menjelang tes, ujian tengah atau akhir semester, banyak teman yang belajar di sana. Selain saya, ada dua mahasiswa Teknik Elektro yang tinggal di rumah kos tersebut. Tapi, seperti mahasiswa pada umumnya, semua yang mau belajar pada dasarnya adalah mahasiswa malas yang hanya belajar semalam suntuk menjelang tes. Kami menyebutnya sebagai kegiatan “wayangan”. Anung salah satu peserta tetap acara wayangan itu, meski ia sering tidak hadir saat tes dengan alasan perut kembung atau masuk angin dan memilih mengikuti tes susulan.

Saat kuliah, Anung dibelikan orang tuanya mobil Toyota HiAce. Mobil minibus inilah yang membiayai hidupnya sebagai mahasiswa karena orang tuanya tak mengirimkan uang bulanan lagi. Anung menyulap mobil yang ia beri nama Al-An’am, yang berarti binatang ternak, itu menjadi mobil omprengan.

Dengan Al-An’am, Anung hidup berdikari. Ia mencukupi semua kebutuhannya secara mandiri, dari membayar kuliah, gaji sopir dan kernet, bensin, serta kontrak rumah hingga membiayai perawatan mobil dan hidup sehari-hari. Bersama teman-temannya, ia memilih mengontrak rumah di kawasan Kauman, Salatiga. Suatu hari, Al-An’am yang dikemudikan seorang temannya dan membawa sejumlah orang terguling di kawasan Ambarawa. Saat itu mereka akan menengok kawan asal Temanggung yang baru lulus. Anung tentu kecewa karena mobilnya tak bisa menghasilkan uang selama masuk bengkel. Ia bahkan harus mengeluarkan biaya untuk memperbaiki mobilnya. Tapi ia menganggapnya sebagai kenyataan yang harus diterima. Itulah Anung, yang punya solidaritas dan kesetiakawanan tinggi. Kadang ia lebih memikirkan orang lain ketimbang diri sendiri.

Anung sulung dari lima bersaudara yang lahir dan besar di Blora, Jawa Tengah. Bapaknya, Sujadi, adalah Kepala Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Blora yang di kemudian hari dipindahkan menjadi kepala sekolah di Kudus dan lalu di Semarang. Meski sempat kuliah di UKSW, Anung menamatkan pendidikan S-1 Teknik Elektro di Sekolah Tinggi Teknologi Nasional Yogyakarta. Ia kemudian mengambil program S-2 Ilmu Administrasi Publik di Universitas Nasional, Jakarta.

Saya dan Anung sering terlibat dalam kegiatan yang sama. Selain sama-sama memiliki hobi bertualang dan naik gunung, kami punya banyak kesamaan minat. Ketika saya menulis buku Seputar Kedung Ombo, Anung ikut membantu mengumpulkan data terakhir situasi di lokasi Waduk Kedung Ombo yang saat itu masih berada di bawah pengawasan ketat Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Ia berhasil menyusup ke lokasi dan mewawancarai sejumlah tokoh masyarakat.

Kecintaan Anung pada lingkungan tersalurkan ketika ia mendapatkan beasiswa dari Walhi, yang waktu itu berkantor di Pejompongan, Jakarta Pusat. Kami terlibat kampanye menolak pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN). Saat saya berhalangan menghadiri undangan lokakarya tentang PLTN di Jerman, Anung yang pergi menggantikan saya.

Saat terjadi upaya penggusuran warga Tanah Merah di kawasan Priok, Jakarta Utara, ketika masyarakat yang tak mau pindah dikepung tentara, Anung dan saya bersama sejumlah teman bergantian masuk-keluar lokasi dan menyelundupkan beras, mi, telur, serta berbagai makanan lain. Kami juga menjadi guru sukarela di sekolah darurat yang didirikan di lokasi tersebut. Pernah suatu ketika Anung menderita sakit punggung akibat salah posisi sewaktu mengangkat karung berisi beras. Rupanya, salah satu ruas tulang punggungnya terjepit. Selama sebulan Anung harus memakai penopang punggung dan berjalan dengan gaya yang aneh.

Selama mengikuti program beasiswa di Walhi, Anung bersama fellow lain memilih tinggal di kantor, yang memang kosong saat malam. Tempat tinggal saya saat itu hanya sepelemparan batu jauhnya dari kantor Walhi. Setiap malam saya datang menemui Anung dan kawan-kawan dan menantang bermain truf. Yang kalah harus menjalani hukuman sebanyak angka kekalahan masing-masing. Pilihannya push-up, squat jump, atau sit-up. Setiap malam kami bisa melakukan gabungan ketiganya dengan total hukuman mencapai 300-500. Walhasil, otot tubuh kami, meski jadi kian berisi, beberapa bagian selalu terasa pegal-pegal. Tapi kami menjalaninya setiap malam hingga subuh. Itu terjadi sekitar dua tahun.

Kantor Walhi Pejompongan ini rupanya yang kemudian mempertemukan Anung dengan pacarnya, Tri Wuryani (Demplon). Sang mantan pacar yang lantas ia nikahi ini memberinya dua anak, M. Bryan Bimo Budiman dan Braham Haryadi Raharjo.

Sejak Anung menjadi anggota staf khusus Direktur Jenderal Kebudayaan, tak banyak kesempatan saya bertemu, kecuali dalam sejumlah acara formal. Namun kami masih tergabung dalam dua grup media sosial. Anung cukup aktif di kedua grup medsos itu. Dua minggu lalu, ia sempat memohon izin keluar dari grup dan mengatakan, “Saya akan bergabung lagi dengan grup ini setelah minggu ke depan.”

Rupanya, itu pesan terakhir yang ditulis Anung. Ia memutus semua komunikasi saat akan menjalani proses cuci darah akibat penyakit gagal ginjal. Pada Ahad, 27 September lalu, pukul 18.15, saya menerima pesan bahwa Anung meninggal di Rumah Sakit Tarakan, Jakarta Barat. Malam itu, ia langsung dimakamkan di Taman Pemakaman Umum Pondok Ranggon, Jakarta Timur.

Akun media sosial saya dipenuhi berbagai ucapan dukacita dan belasungkawa. Sejumlah mantan aktivis dan lembaga ikut kehilangan seorang aktivis yang rendah hati dan menyejukkan. Selamat jalan, Nung!

STANLEY ADI PRASETYO, KETUA DEWAN PERS 2016-2019
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus