Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RUANG sempit tersaji dengan dinding-dinding yang berjarak tak lebih dari satu rentang lengan. Seorang penari, kemudian dua, lalu tiga, bernavigasi dalam kesesakan itu. Bergelayut, berguling, terbentur, memanjat, melekat. Dan kita sebagai penonton mengamati situasi itu lewat mata-mata kamera yang terpasang di berbagai titik berbeda.Terkadang seperti sedang melongok ke bawah, lain waktu dari sudut pandang sejajar lantai, tak jarang begitu dekat—terlalu dekat—dengan tubuh dan wajah para penari.
Tentu saja akan langsung tertangkap bahwa tarian berjudul Another Body–Another Space–Another Time dari koreografer Densiel Lebang ini berbicara tentang situasi terkungkung yang umat manusia alami saat ini. Bagaimana tubuh-tubuh bereaksi dan bertahan di dalam penjara—baik secara sungguhan maupun metafora. Level tantangan ditingkatkan dengan menambahkan properti seperti tiang yang masuk dari lubang-lubang di dinding atau saat penari dapat keluar ruangan sempit itu untuk memanjat sisi luarnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sikut Awak oleh Krisna Satya. Salihara Arts Center
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam pertunjukan virtual ini, yang paling terasa adalah bagaimana kita, penonton, tak dapat “memilih” harus melihat ke mana. Sering kali gambar disajikan pada layar yang terbagi dalam empat bingkai yang menampilkan kejadian dari sudut kamera berbeda. Pada puncaknya, layar terbagi hingga 72, entah harus mengamati bingkai yang mana. Dan kamera-kamera itu pun punya kemerdekaannya sendiri. Mereka dapat tiba-tiba bergeser atau berputar sesukanya. Kamera-kamera (yang dikendalikan entah oleh koreografer entah oleh penata gambar) yang “memutuskan” potongan adegan mana yang dapat kita lihat.
Dalam festival Helatari Salihara tahun ini, yang berlangsung sepanjang pekan lalu, eksplorasi kamera tampaknya memang menjadi fokus keempat koreografer yang terlibat. Hal ini dimungkinkan karena semua pertunjukan telah beralih wahana ke ruang maya dan tarian makin melampaui bentuk penceritaan lewat gerak semata. Pada karya Densiel, dia hendak mendobrak fungsi konvensional kamera untuk merekam gambar dari sudut yang paling nyaman bagi mata. “Eksplorasiku untuk melawan sistem kerja kamera karena bagiku kamera adalah tubuh lain yang bisa bergerak, atau menari,” tutur koreografer asal Jakarta itu dalam sesi artist talk selepas tayangan.
Kamera juga menjadi properti utama, tapi dengan cara yang sangat berbeda, dalam pertunjukan Pesona oleh Eka Wahyuni yang dapat disebut juga sebagai sebuah eksperimen terkondisi. Koreografer Yogyakarta itu ingin menguji konsep male gaze yang dikemukakan Laura Mulvey. Namun tatapan dalam pentas ini dihadirkan dalam bentuk kamera-kamera telepon seluler yang merekam lenggak-lenggok penari Putri Lestari di atas sebuah gong.
Tari gong yang berakar dari tradisi Dayak adalah pertunjukan tunggal yang jamak ditampilkan dalam ritual penyambutan tamu atau kelahiran bayi. Dalam karya Eka, tarian yang membatasi penarinya untuk bergerak gemulai hanya di dalam lingkar gong ini menjadi obyek paling empuk bagi tatapan dari segala arah. Saat Putri tengah menari, empat orang datang mengerubunginya: dua perempuan, satu transpuan, dan satu laki-laki. Masing-masing dari mereka membawa ponsel lalu tanpa ampun menjepret dan merekam tubuh si penari tanpa berniat menjaga jarak. Ada yang sampai tertungging-tungging agar dapat mengambil gambar detail kaki penari.
Tangkapan kamera dari empat orang itu ditampilkan bergantian dengan tangkapan kamera utama yang merekam semua peristiwa di atas panggung. Namun tak dirincikan tangkapan kamera mana dan punya siapa sehingga kita pun tak dapat mengandai-andaikan apa bedanya tatapan laki-laki, perempuan, dan transpuan dalam menikmati tarian (atau tubuh penari) ini.
Pesona oleh Eka Wahyuni. Salihara Arts Center
Pada dua pertunjukan lain, penggunaan kamera tak seeksperimental karya Densiel ataupun Eka. Yang paling dapat dinikmati karena keapikan sinematografinya adalah karya Sikut Awak oleh koreografer asal Bali, Krisna Satya. Karya ini satu-satunya yang direkam di luar ruangan, di bawah langit Bali yang cerlang. Di sini, kamera berfungsi apa adanya, yakni merekam gambar dari sudut-sudut terbaik yang menonjolkan keteraturan garis dan bentuk geometris ataupun keluasan dan keindahan lanskap.
Kamera juga menangkap dengan stabil dan rinci tiap gerak para penari. Ada tiga penari perempuan berkebaya warna cerah dan seorang penari laki-laki yang bergerak di ruang-ruang dalam pekarangan kompleks tradisional Bali, seperti balai, dapur, dan lumbung, kemudian berpindah ke alam terbuka, amfiteater, hingga situs kontainer.
Karya Krisna menarik karena menggali ragam gerak tari berdasarkan sistem pengukuran arsitektur tradisional di Bali. Pernah ada masa tatkala satuan metrik tak menjadi acuan dalam mendirikan sebuah bangunan. Alat ukur yang digunakan adalah tubuh penghuni bangunan itu sendiri, seperti jarak antara tangan yang terentang atau panjang tapak kaki. Sebagian kita cukup akrab dengan istilah depa dan hasta. Di Bali, sistem pengukuran dimensi menggunakan tubuh ini dikenal dengan nama sikut gegulak.
Para penari meminjam ragam antropometri itu untuk ditarikan. Mereka bergerak hening dalam ritme dan pola yang bertumpu pada jari, telapak tangan, lengan, dan telapak kaki.
Krisna sengaja mengontraskan lokasi tarian antara kompleks pura dan tumpukan kontainer bekas yang menyimbolkan arsitektur modern. “Ada pergeseran. Kalau dulu, tubuh menentukan kenyamanan ruang, sementara sekarang ruang belum tentu menentukan kenyamanan tubuh,” ucap Krisna.
Pesona oleh Eka Wahyuni. Salihara Arts Center
Pemanfaatan kamera paling minimalis muncul dalam pentas Museum I: Waves oleh Leu Wijee. Kamera cukup merekam dari satu sudut, hanya sesekali menyorot lebih dekat atau menjauh. Karena itu pula karya Leu menjadi yang paling mendekati pengalaman menonton langsung tarian di atas panggung.
Pertunjukan ini adalah sebuah teater tubuh sekaligus bunyi yang dipentaskan pada sebuah ruangan berlabur sinar jingga remang. Lantai tertutup sepenuhnya oleh hamparan kertas putih. Dua penampil, Leu Wijee sendiri dan Kevin Julianto, bergerak dengan tangan dan kaki yang juga terbalut kertas. Gesekan kertas di lantai dan di tubuh penari menghasilkan bunyi seperti deburan ombak yang pecah di tepi pantai.
Ini juga bentuk tarian ketahanan. Kedua penari terus-menerus bergerak berayun dengan satu kaki terlipat, sementara kedua tangan bergantian menjadi tumpuan tubuh. Tak jarang tempo dinaikkan dan tubuh-tubuh itu menggesek permukaan lantai dengan lebih keras hingga menggelepar.
Leu Wijee, yang berasal dari Palu, menciptakan karya ini setelah gempa dan tsunami menghantam kampung halamannya pada 2018. Gerakan-gerakan yang muncul disebut sebagai memori kolektif ataupun respons tubuhnya atas bencana yang terjadi.
Menjelang akhir, salah satu penari mengambil kumpulan lidi dan memukulkannya dengan keras ke lantai. Ada warna yang turut terciprat dan membuat bentuk di atas kertas saat sapu lidi disabetkan. Saat tarian selesai, kertas pengalas lantai yang telah penuh warna itu disobek untuk dibalutkan pada sebuah kanvas. Jadilah instalasi seni.
MOYANG KASIH DEWIMERDEKA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo