Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Richard Oh berpulang, meninggalkan pekerjaan rumah terutama untuk dunia sastra dan industri buku.
Meski kemudian terjun ke dunia film, buku dan sastra selalu menjadi cinta pertama Richard.
Richard bersama Takeshi Ichiki menyelenggarakan Khatulistiwa Literary Award sejak 2001.
“TANPA Richard Oh, kami bakal menjadi anak-anak tersesat, termasuk saya.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Demikian sutradara Joko Anwar berucap dengan nada berkabung tentang Richard Oh yang wafat pada Kamis malam, 7 April lalu, di Eka Hospital BSD, Tangerang, Banten. Kepergiannya yang mengejutkan itu langsung disusul hujan ucapan dukacita dari berbagai kalangan, terutama komunitas film dan sastra. Tapi mereka yang menganggapnya “Abang” atau “Koh” yang paling merasa kehilangan sosok mentor.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lahir di Tebingtinggi, Sumatera Utara, pada 1959, Richard menempuh pendidikan di University of Wisconsin, Madison, Amerika Serikat, jurusan sastra Inggris dan penulisan kreatif. Pathfinders of Love (1999), novelnya yang berlatar belakang kerusuhan 1998 di Indonesia, adalah perwujudan impiannya menjadi penulis. Tapi impian Richard berikutnya, mendirikan toko buku, justru membawa sosok ini dikenal komunitas sastra dan film. Pada tahun yang sama, Richard mendirikan toko buku QB (singkatan Quality Buyers) di Jalan Sunda, Jakarta, yang menyediakan berbagai jenis buku impor, dari sastra hingga seni rupa, politik, dan arsitektur.
Cabang QB beranak-pinak dalam waktu cukup singkat di Pondok Indah, Kemang, dan Plaza Semanggi, Jakarta. Tentu QB menjadi populer bukan hanya karena sangat langkanya toko buku impor, tapi juga lantaran Richard menggunakan konsep toko buku di Amerika Serikat dan Eropa: toko buku yang menjadi “rumah” bagi para pencinta buku dengan sofa, kopi, dan kudapan. Yang membuat toko ini makin menarik adalah sesekali Richard menyelenggarakan diskusi sastra atau film.
Richard dan tim mengkurasi buku yang menarik yang membuat pelanggan selalu kembali. QB tak hanya menghadirkan karya klasik dari William Shakespeare sampai karya periode Thomas Hardy dan Jane Austen. Richard mengaku ingin “pembaca Indonesia juga mengenal karya sastrawan lain di luar negara Barat”.
Tak puas dengan hanya mendirikan toko buku, dia bersama Takeshi Ichiki menyelenggarakan Khatulistiwa Literary Award (KLA) sejak 2001. “Saya merasa sastrawan Indonesia masih harus memikirkan keperluan sehari-hari sehingga proses kreatifnya terhambat,” kata Richard, menjawab bagaimana dia bisa memperoleh sponsor yang bersedia menyediakan dana Rp 100 juta untuk pemenang penghargaan prosa dan puisi itu setiap tahun. Pada 2014, nama penghargaan diubah menjadi Kusala Sastra Khatulistiwa dengan penyelenggaraan yang terus-menerus diperbaiki. Harus diakui, program ini adalah satu dari sedikit penghargaan sastra yang masih berlangsung dengan konsisten. Tapi Richard merasa upayanya kurang dihargai.
“Kalau mau jujur, gua capek,” ucapnya kepada saya, memperlihatkan telepon selulernya yang ia matikan. “Menjelang penyelenggaraan setiap tahun, gua diserbu berbagai pesan. Komunitas sastra seharusnya paham, gua pendiri dan penyelenggara dan gua sama sekali tidak boleh mencampuri penjurian,” tutur Richard, menggelengkan kepalanya.
Meski lelah dan kecewa karena pada 2006 toko QB satu per satu harus ditutup akibat kerugian yang tak terbendung, Richard masih setia menyelenggarakan KLA bersama Plaza Senayan. Berbagai kecaman, kritik, dan hajaran kiri-kanan setiap tahun pada Oktober dihadapi dengan menutup ponselnya dan, “Tidak pernah menghadiri rapat penjurian,” demikian katanya. Itu pula yang menyebabkan hingga akhir hayatnya Richard menekankan bahwa nama-nama juri tak boleh diumumkan, berbeda dengan tradisi penghargaan sastra di luar negeri seperti Booker Prize yang justru mengumumkannya sebelum penilaian dimulai.
Ketika Richard mulai menoleh ke dunia film, saya mulai cemas karena merasa langkahnya itu disebabkan oleh kekecewaannya di dunia sastra dan industri buku yang memang tak selalu ramah. Saya mengingatkan, dunia kesenian di mana pun, baik sastra, film, maupun seni rupa, memiliki hati yang keji dan perangai buruk, tapi akan selalu ada mereka yang obyektif, berhati baik dan adil. Pada masa produksi film Koper (2006), Richard mengirim pesan menjawab kecemasan saya: “Jangan khawatir, buku dan sastra selalu menjadi cinta pertama saya. Remember, I am a bibliophile.”
Pada saat itulah, sang Bibliofil menjadi “Abang” di dunia film yang menjadi sandaran banyak orang, termasuk Joko Anwar. Lebih sering mendapat panggilan akrab Koh Richard, dia tak hanya meluncurkan film seperti Description without Place (2010), Melancholy is a Movement (2015), dan Terpana (2016), tapi juga menjadi bagian dari dunia film. Richard sadar film-filmnya tak selalu dipahami penonton karena, “Saya memang tidak menggunakan gaya naratif,” ucapnya.
Ihwal gaya film Richard, Joko menganggap Richard menunjukkan cara bercerita dalam film yang beragam. “Film-filmnya tidak mengikuti pakem naratif—dan tidak bermaksud menjadi naratif—tapi berhasil membangkitkan pemikiran-pemikiran,” kata Joko, yang menjadi pemeran utama dalam Melancholy is a Movement. Joko mengaku, dalam persiapan syuting film, dia merasa belum yakin tentang apa yang hendak diceritakan Richard. “Setelah menyaksikan filmya, baru saya paham apa yang hendak disampaikan.”
Film Melancholy is a Movement sebetulnya justru karya Richard yang lumayan naratif dan “bercerita”, penuh humor tentang dunia film lengkap dengan kericuhannya. Ini salah satu indikasi Richard menikmati dan peduli akan dunia film. Dia bahkan tergabung dalam dua organisasi sekaligus, yaitu Indonesian Film Directors Club dan Penulis Indonesia untuk Layar Lebar, yang bersama asosiasi produser dan lainnya kelak berperan penting dalam napas perfilman Indonesia.
Bergelut dalam dunia film tentu saja tak membuat Richard melupakan cintanya pada buku. Sembari sesekali tampil dalam berbagai film sebagai aktor (“Saya sering ditawari jadi anggota mafia atau pengusaha,” ujarnya, terbahak-bahak), Richard mendirikan Reading Room di kawasan Kemang. Ini adalah sebuah ruang untuk membaca buku, bekerja, sekaligus menikmati kudapan dan minuman. Buku-buku QB yang tak terjual dipindahkan ke perpustakaan dan dipersilakan dibaca di tempat. Jika ada judul buku yang dobel, Richard bersedia menjualnya (dan karena Richard adalah orang yang “terlalu baik”, dia lebih sering memaksa saya mengambil saja, yang tentu saja saya tolak).
Persoalan “terlalu baik” ini juga deskripsi yang disampaikan aktris Ayushita Nugraha yang berperan dalam film Perburuan (2019) yang disutradarai Richard. “Richard tak pernah berteriak memarahi, he never raised his voice. Sangat sabar,” kata Raline Shah, yang bermain dalam Terpana (2016) yang juga disutradarai Richard.
Ayushita bercerita, Perburuan adalah film yang menantang karena diangkat dari novel Pramoedya Ananta Toer yang bernama sangat besar. Semua mata memandang ke arah mereka. Kali ini Richard bercerita dengan naratif karena dia setia pada cerita asli tentang tokoh Hardo yang diburu tentara Jepang. Richard mengakui dalam wawancara program Layar Tempo bahwa dia bekerja sama dengan penulis skenario Husein Atmodjo karena, “Saya selalu tak tega memotong dialog Pramoedya yang panjang.”
Panjang dan dalamnya hubungan Richard dengan dunia film menunjukkan dia merasa nyaman dengan dunia ini, yang juga membalas cintanya dengan mesra.
“We call him 'Kokoh'. Big brother. Karena bagi kami dia adalah abang kami,” demikian pengakuan Joko Anwar. “Richard menjadi orang pertama yang kami temui saat kami memperoleh capaian dan dia orang pertama yang menguatkan ketika kami merasa ada problem. He took us under his wings.”
Meski Richard bak seekor induk burung yang melindungi kawan-kawannya di dunia film, itu tak berarti dia memanjakan mereka. Sebab, menurut Joko, ciri khas Richard saat berpendapat adalah “jujur, terbuka, meski tak menyerang”.
Bagi Joko, Richard adalah salah satu pengulas film terbaik walaupun dia tidak berprofesi kritikus film. “Dia bisa menunjukkan kenapa satu elemen penceritaan film berhasil atau tidak, termasuk film saya. Tanpa dia, kami seperti anak-anak tersesat,” ucap Joko.
Dalam dunia sastra, sebetulnya Richard juga sosok yang “mengasuh” dan menemani dan banyak membantu. Meski sambil bergumam, kepada saya Richard mengatakan tak semua mungkin memahami atau menghargai niat baiknya di dunia sastra. “But love is a bird. Kita kerjakan saja dengan cinta,” kata Richard menutup obrolan ini beberapa tahun lalu, yang ternyata dijadikan judul filmnya pada 2019.
Richard, tanpa aba-aba, tak hanya meninggalkan istrinya, penulis Pratiwi Juliani, dan tiga anak dari pernikahan pertama. Dia juga meninggalkan dunia sastra dan film. Tapi jejak Richard Oh yang sangat dalam, perannya dalam menghidupkan dan merawat penghargaan Kusala Sastra Khatulistiwa dan napasnya dalam dunia film, perlu dirawat agar selalu hidup.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo