Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

teroka

Kembali Ke Jatiwangi

Pameran catatan dan arsip Ajip Rosidi digelar di kampung halaman pengarang itu di Jatiwangi, Majalengka, Jawa Barat. Mengawali realisasi Museum Ajip Rosidi.

16 Februari 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kakekku tua menimang tjutjunja


Pohon mangga depan rumah aku memetik buahnja

Merpati beranak banjak

Kekajaan begini djuga masih sedih

Ada ular keluar dari lemari!

BERJUDUL  “Rumah Dulu, Buat S. Nataprawira”, sajak dengan ejaan Republik atau ejaan Soewandi—ejaan bahasa Indonesia yang berlaku pada 1947-1972—itu diketik ulang pada secarik kertas berukuran 21 x 14 sentimeter. Sastrawan dan pengarang Ajip Rosidi membuatnya pada 18 Mei 1954, ketika ia tinggal di kampung halamannya di Desa Ciborelang, Jatiwangi, Majalengka, Jawa Barat.

Sajak tersebut terpajang di salah satu dinding rumah berjajar bersama tiga sajak lain yang diketik ulang pada kertas dengan ukuran serupa. Judulnya “Gelarna Sajak”, “Hirup”, dan “Nu Yakin”. Kendati berbeda lantaran berbahasa Sunda, tiga sajak terakhir memiliki kesamaan dengan “Rumah Dulu, Buat S. Nataprawira”, yakni sama-sama ditulis Ajip saat ia tinggal di Jatiwangi. Ajip membuat “Gelarna Sajak” pada 11 November 1964. Adapun “Nu Yakin” ditulis pada November 1964, sementara “Hirup” pada Desember 1964.

Keempat sajak itu menjadi bagian dari pameran 50 sajak bikinan Ajip di rumahnya di Jalan Ki Bagus Rangin, Ciborelang, pada 31 Januari-7 Februari lalu. Bertajuk “Uih”, pameran catatan dan arsip Ajip Rosidi tersebut diselenggarakan Perpustakaan Utara dan Jatiwangi Art Factory untuk memperingati ulang tahun ke-81 Ajip pada 31 Januari lalu. “Pameran ini tentang bagaimana seorang Ajip Rosidi hidup dan berkar-ya,” kata kurator pameran, Ika Yuliana.

Kotak “Surat Kanggo Pak Ajip” dalam pameran catatan dan arsip Ajip Rosidi di Desa Ciborelang, 31 Januari 2019. TEMPO/Prima Mulia

Dalam bahasa Sunda dialek Jatiwangi, uih berarti pulang atau kembali. Pemilihan kata itu sebagai judul pameran berkaitan dengan korelasi antara Ajip dan tanah kelahirannya di Jatiwangi. Ajip lahir di Jatiwangi pada 1938. Ia menghabiskan masa kecil hingga dewasa di sana. Karena itu, pameran mencoba menampilkan sejumlah karya Ajip yang berhubungan dengan pulang, kepulangan, rumah, keluarga, atau Jatiwangi. Selain 50 sajak, ada naskah pidato Ajip ketika ia menerima penghargaan dari pakar sastra dan budaya Indonesia asal Belanda, Andries Teeuw. “Di situ ia bercerita mengenai alasannya berfokus di sastra dan kebudayaan Sunda,” ujar Ika. “Sebab, ia tinggal di Jatiwangi dan bahasa ibunya Sunda.”

Lalu ada 20 buku karya Ajip yang turut dipajang dalam pameran, antara lain berjudul Di Tengah Keluarga, Jante Arkidam, Badak Pamalang, Anak Tanah Air, Trang-trang Kolentrang, dan Apa Siapa Orang Sunda. Ada juga puluhan buku koleksi Ajip yang disusun di dalam lemari kaca berbahan kayu setinggi sekitar 2 meter. Arsip yang ditampilkan dalam pameran sebagian besar berasal dari Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin di Jakarta serta Perpustakaan Ajip Rosidi dan Yayasan Pusat Studi Sunda di Bandung.

Semua yang dipamerkan tentu hanya sebagian kecil dari karya Ajip. Ia sudah membuat sajak dan cerita pendek saat masih berusia belasan tahun. Bukunya yang pertama, Tahun-tahun Kematian, terbit pada 1955, ketika ia berumur 17 tahun. Sejak itu, Ajip tercatat sudah membuat sekitar seratus judul karya—dalam bahasa Indonesia ataupun Sunda—yang terdiri atas kumpulan sajak, kumpulan cerita pendek, roman, drama, kumpulan esai dan kritik, serta hasil penelitian. Bahkan banyak karyanya yang sudah diterjemahkan ke bahasa lain, seperti Belanda, Cina, Inggris, Jepang, Prancis, dan Rusia.

Buku kumpulan surat Ajip Rosidi di Desa Ciborelang, 31 Januari 2019. TEMPO/Prima Mulia

Pameran catatan dan arsip Ajip Rosidi sebenarnya menjadi pembuka untuk mengubah fungsi rumah Ajip di Jatiwangi menjadi museum. Sudah lama Ajip tak menempati- rumah bergaya lama dengan dua lantai itu. Ajip menempati rumah yang dibangun pada 1960 dari hasil menulis itu bersama istri dan anak-anaknya hingga 1965. “Lalu saya pindah ke Bandung untuk menjadi pemimpin redaksi majalah mingguan Sunda,” ucap Ajip, yang juga pendiri Yayasan Kebudayaan Rancage. Setelah itu, rumah tersebut ditempati sekaligus diurus tetangga Ajip. Pernah hendak dijual, rumah itu juga sempat menjadi balai baca bagi warga, meski vakum beberapa tahun terakhir.

Pada awal Januari lalu, perwakilan Perpustakaan Utara dan Jatiwangi Art Factory menemui Ajip di rumahnya di kawasan Pasar Minggu, Jakarta Selatan, untuk membicarakan rencana pameran catatan dan arsip di rumah Jatiwangi. Di situlah muncul ide menjadikan rumah Jatiwangi sebagai Museum Ajip Rosidi. Pertimbangannya tak lain sosok Ajip merupakan salah satu sastrawan terkemuka Indonesia. Namun waktu itu belum ada pembahasan lebih lanjut mengenai pendirian museum tersebut. “Pameran menjadi awalnya. Konsep museum akan dibuatkan setelahnya,” kata Ika Yuliana.

Sebelum beralih fungsi menjadi museum, rumah Ajip di Jatiwangi rencananya direnovasi. Jatiwangi Art Factory, yang diberi mandat mengelola Museum Ajip Rosidi, tengah mencari donatur untuk membiayai renovasi rumah itu. Meski belum ada kepastian waktu pendiriannya, secara garis besar telah muncul gambaran mengenai materi yang akan dipajang dalam museum tersebut. Menurut anak keempat Ajip, Nundang Rundagi, 56 tahun, museum akan menampilkan sejumlah catatan, arsip, foto, dan benda milik Ajip. “Nanti kami kumpulkan semuanya di rumah itu,” ucapnya. Ajip menyambut baik rencana pendirian museum atas namanya. “Itu menjadi bukti saya pernah hidup di dunia,” tuturnya.

PRIHANDOKO

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus