Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Museum peringatan kekejaman Nazi terhadap orang Yahudi didirikan di Minahasa.
Tujuannya agar sejarah tragedi kemanusiaan itu tak terulang kembali.
Keberadaan Museum Holocaust di Minahasa itu sempat memantik perdebatan.
SEMBILAN belas poster berisi foto-foto dokumentasi penggalan sejarah tragedi kemanusiaan holocaust itu dipajang berjejer di dinding ruangan Museum Holocaust di Minahasa, Sulawesi Utara. Kesembilan belas poster yang dipajang dengan pencahayaan itu sebagian besar menarasikan kehidupan orang Yahudi sebelum dan saat masa holocaust—peristiwa pembantaian dan genosida terhadap orang Yahudi selama Perang Dunia II—yang berlangsung di Eropa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebuah televisi layar datar diletakkan di samping kanan pintu museum. Layar televisi itu memutar video-video kesaksian warga Yahudi di Eropa yang lolos dari aksi kekejaman tentara Jerman di era kepemimpinan Adolf Hitler pada 1933-1945. Poster berisi foto Hitler yang sedang berdiri di atas mobil dan disambut para simpatisannya juga dipajang di dinding museum tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Belasan poster berisi foto-foto dokumentasi peristiwa holocaust dan video-video kesaksian warga Yahudi itu merupakan koleksi Museum Holocaust di Minahasa yang diresmikan pada Kamis, 27 Januari lalu. Belakangan koleksi museum itu bertambah dengan adanya sumbangan dari kolektor sejarah di Manado berupa artefak surat-surat dan telegram yang dikirimkan perwira Nazi saat Perang Dunia II.
Museum Holocaust di Kabupaten Minahasa itu dibangun oleh Toar Palilingan Jr. bersama dengan rekannya. Toar yang sehari-hari mengajar di sebuah perguruan tinggi di Manado itu juga merupakan rabi atau pemimpin penganut Yudaisme di Sulawesi Utara. Dan ia dikenal dengan panggilan Rabi Yaakuv Baruch.
Bangunan museum yang berbentuk bujur sangkar seluas 48 meter persegi itu dibangun tepat di samping Sinagoge Shaar Hashamayim yang berdiri sejak 2004. Lokasinya di Kelurahan Rerewokan, Kecamatan Tondano Barat, Kabupaten Minahasa, berjarak sekitar 35 kilometer dari Manado. Toar menjadi rabi di sinagoge atau tempat ibadah penganut Yudaisme itu.
Sepekarangan dengan sinagoge dan museum ada satu gedung lagi di samping kiri yang dijadikan guest house. Dinding luar museum sama halnya dengan sinagoge, dilapisi batu alam berwarna pasta. “Saya meniru arsitektur museum serupa dan sinagoge dari Belanda serta mencampur sedikit gaya bangunan Timur Tengah,” ucap Toar menjelaskan pilihan gaya arsitektur museum itu kepada Tempo pada Jumat, 4 Februari lalu.
Menurut Toar, ide pembangunan museum sudah ada sejak belasan tahun lalu. Ide itu keluar saat dia berkunjung ke Yerusalem pada 2009. Di sana, dia mengunjungi museum holocaust dan mencatat data-data tentang keluarganya dari garis neneknya yang merupakan keturunan Yahudi. Kunjungan itu memberi kesan mendalam bagi Toar, sehingga dia berkeinginan suatu saat bisa memiliki museum serupa untuk mengenang keluarganya dan orang-orang Yahudi lain.
Selain itu, Toar berkeinginan memberi edukasi yang lebih luas tentang bahaya fasisme, rasisme, dan segala bentuk kebencian. “Jika tidak diperangi lebih awal, bisa menuntun kita pada bentuk holocaust-holocaust yang lain,” ujar Toar.
Keinginan lama Toar itu akhirnya terwujud pada tahun ini. Menurut Toar, museum yang ia bangun tersebut ingin menyampaikan pesan agar segala kebencian jangan ada di Indonesia. Bukan cuma soal anti-Yahudi, termasuk soal anti-Kristen, anti-Islam, anti-Hindu, anti-Buddha, anti-Konghucu, semua itu tidak bisa dibenarkan. Itu yang menjadi pesan dari museum ini bagi semua,” tutur Toar.
Toar mengungkapkan seluruh sumber dana pendirian museum itu berasal dari kantong pribadi dan rekannya. “Jadi tidak ada bantuan asing sama sekali,” ujar Toar menepis isu bahwa museum itu didanai pihak asing. Selama pembangunan museum, menurut Toar, tidak ada penolakan sama sekali. Toar juga sudah berdiskusi dan menyampaikan informasi tentang pembangunan museum itu kepada pihak-pihak terkait.
Reaksi muncul setelah peresmian museum itu pada akhir Januari lalu. Kalangan yang tidak menginginkan Yahudi ada di Indonesia, terutama yang berkaitan dengan isu zionisme Israel, lantang menentang kehadiran museum itu. Bahkan ada yang meminta pemerintah menutup museum tersebut. Namun, menurut Toar, seperti yang diekspresikan dari koleksi poster di museum tersebut, pesan yang hendak disampaikan justru ingin memperlihatkan keterlibatan berbagai komunitas yang membantu Yahudi.
Rabbi Yaakuv Baruch sedang menjelaskan kepada pengunjung mengenai poster yang berada di Museum Holocaust di Tondano, Kabupaten Minahasa. TEMPO/Ronny Buol
Toar menerangkan bahwa ada orang-orang non-Yahudi seperti tokoh muslim dan tokoh gereja yang membantu orang Yahudi saat tragedi holocaust berlangsung di Eropa. Toar kemudian menunjuk salah satu poster koleksi museumnya yang bergambar foto tokoh muslim Prancis, Si Kaddour Benghabrit. Menurut Toar, Benghabrit yang juga imam besar masjid Paris itu adalah sosok yang selama Perang Dunia II turut menyelamatkan sekitar 500 orang Yahudi dari kekejaman Nazi.
“Bahkan ada orang asal Indonesia yang menyelamatkan bayi Yahudi. Dan itu semua mereka lakukan di bawah ancaman hukuman mati. Karena kalau ketahuan Nazi, bisa dieksekusi. Namun mereka melakukan itu atas dasar kemanusiaan,” ucap Toar.
Toar menyebutkan, keberadaan Museum Holocaust di Minahasa yang ia bangun juga bertujuan mengenang tragedi kemanusiaan itu agar tidak terulang kembali dan menimpa komunitas Yahudi, termasuk di Sulawesi Utara.
Menurut Toar, komunitas Yahudi di Sulawesi Utara dimulai dengan kedatangan orang-orang Belanda ke Nusantara pada abad ke-15. Mereka ada yang menetap di Manado dan sekitarnya. Mereka kemudian terlibat perkawinan campur, sehingga melahirkan orang-orang keturunan Yahudi. “Tapi tidak semua penganut Yudaisme merupakan keturunan Yahudi. Ada beberapa orang yang melakukan konversi atau berpindah ke agama Yahudi, yaitu Yudaisme,” kata Toar.
Menurut Toar, komunitas Yahudi terutama penganut ajaran Yudaisme di Sulawesi Utara tidak banyak. Dalam kelompok yang dipimpin oleh Toar atau Rabi Yaakuv Baruch, jumlahnya sekitar 30 orang. Ada beberapa di antaranya yang merupakan pemeluk konversi.
Selama menjalankan kepercayaan dan ibadah, penganut Yudaisme di Sulawesi Utara tidak mengalami penolakan. Di samping karena sikap toleran masyarakat Sulawesi Utara yang tinggi, komunitas ini tidak melakukan aktivitas misionari. “Karena kami bukan agama dakwah atau agama misioner, kami tidak mengonversi orang, tapi orang yang datang konversi. Itu pun lewat proses yang panjang, dari 5 sampai 10 tahun baru bisa menjadi seorang penganut Yudaisme. Tidak segampang orang datang untuk berpindah agama,” tutur Toar.
Toar menambahkan, komunitas mereka juga ikut terlibat aktif dalam berbagai kegiatan lintas agama di Sulawesi Utara. “Kita bahkan sering mengundang komunitas muslim di Sulawesi Utara berbuka puasa bersama di Sinagoge. Teman-teman Kristen juga sering saya undang dalam berbagai hari raya. Jadi sama sekali tidak ada masalah,” katanya.
RONNY ADOLOF BUOL (MANADO)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo