Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LAMPU mendadak mati di belahan Sanur, Bali. Arie Smit, pelukis asal Belanda yang selalu merindukan terang, segera menyalakan lampu minyak di atas meja. Cahaya pun memancar. Gulita kembali menjadi bahagia. “Lampu itu lalu saya lukis,” katanya. Maka lahirlah Kerosene Lamp in Sanur (1984) di atas kanvas kecil 42 x 48 sentimeter.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lampu cantik itu, menurut Arie, mengingatkan sejarah panjang dunia perlampuan di Hindia Belanda. “Sebelum Nederlandsche Indische Electriciteit Maatschappij berdiri pada akhir abad ke-19, lampu minyak yang indah banyak terlihat. Tapi, pada masa Indonesia berterang listrik, lampu-lampu berhias seolah-olah raib. Padahal dunia lampu sungguh kaya estetika.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lampu bukan hanya alat penerang, tapi juga bentuk kesenian. Dalam Injil (Keluaran 25:31) diceritakan, dalam rangka pembangunan Kemah Suci, Allah memerintahkan manusia membuat kandil (menorah) atau kaki pelita berhias-hias yang terbuat dari emas.
Lampu Gantung cabang empat/Dok Repro Agus Dermawan T
Di Istana Kepresidenan, ada lukisan yang menggambarkan wajah Soeharto sebagai mata api yang menyala dalam lampu semprong. Oleh pelukisnya, R Zainuddin, gambaran tersebut dikaitkan dengan kebijakan politik Orde Baru: Pelita (Pembangunan Lima Tahun). Tapi "The Smiling General" menerjemahkan lukisan itu dengan konteks falsafah Jawa: wong girang lampune padhang. Orang yang selalu ceria dan tersenyum jalannya akan terang. Maka, bagi Pak Harto, lampu adalah lambang dan junjungan yang mesti dimuliakan, diindah-indahkan.
Semua orang menjunjung peran lampu, banyak orang membicarakan kecantikan lampu. Tapi sangat sedikit yang menghimpun fisik lampu sebagai koleksi. Dari yang sangat sedikit itu, ada dokter F.X. Hanny Suwandhani yang tercatat sebagai kolonel CKM atau corps kesehatan militer. Tak main-main, lebih dari 600 lampu antik—dengan 500 jenis—dikumpulkan dari seluruh dunia. Sebagian ditemukan dan dibeli di berbagai kota di Indonesia. Sebagian besar lainnya ia dapatkan dari perburuannya di sekujur Eropa, Amerika, dan negara-negara Asia.
Sayap lampu dengan ornamen dan profil figur/Repro Agus Dermawan T.
Lampu-lampu antik itu, yang berukuran dua jengkal sampai yang menjumbai panjang dari plafon, dipajang di beberapa kediamannya di Simprug Garden, Jakarta Selatan. Pada Sabtu, 8 Juli lalu, ia berkesempatan membuka pintu rumahnya dan mempersilakan puluhan handai tolan melihat koleksinya. Bersamaan dengan pameran tersebut, diluncurkan buku Lampu Antik di Indonesia: Menerangi Masa Lampau, Memperindah Masa Kini. Buku apik yang ditulis Han Kumaheri ini dikuratori Hanny Suwandhani sendiri. Buku 342 halaman ini dilengkapi ratusan foto berwarna.
Hanny bercerita, ia sudah lama tertarik pada lampu antik. Sejak pertama kali melihat lampu antik, ia sadar benar bahwa benda itu adalah karya seni. Karena itu, eksistensi lampu akhirnya tidak hanya menjadi benda penerangan ruang dan lingkungan, tapi juga menjadi benda artistik. Hanny meyakini penciptaan lampu sejak zaman dulu berangkat dari konsep seremoni rasa syukur. Artinya, desainer menginginkan lampu tidak sekadar hadir sebagai “pencipta cahaya”, tapi juga benda seni yang merayakan hidup.
Namun hasratnya untuk mengoleksi lampu baru terbit pada 1986. Perburuan lantas dilakukan. Berbagai referensi ia baca untuk menghadang datangnya lampu antik bodong. Ia pun mengunjungi banyak museum dan galeri untuk mencari bahan perbandingan.
Lampu Antik di Indonesia: Menerangi Masa Lalu, Memperindah Masa Kini
Lalu lampu dari berbagai periode dikoleksi lelaki 71 tahun ini: lampu sebelum abad ke-19 yang dinyalakan dengan minyak hewani dan tumbuhan (whole lamp, Argand lamp); lampu 1800-1860 yang menggunakan gas serta minyak hewani dan tumbuhan (astral lamp, moderator lamp); lampu 1860-1900 yang sudah memakai minyak tanah, lilin, dan listrik (kerosene lamp, paraffin lamp, Victorian lamp, candelabra lamp); lampu setelah 1900 yang menggunakan minyak tanah, gas, dan listrik (Aladdin lamp, electric lamp); serta tentu petromaks atau strong king ciptaan Max Graets pada 1910, yang populer di pelosok Indonesia sebelum 1970. Seperti ditulis Han Kumaheri, lampu ini dihidupkan dengan minyak tanah yang sudah dijadikan gas lewat tekanan sehingga menghasilkan sinar yang sangat kuat.
Lampu koleksi Hanny meliputi berbagai ragam fungsi, yang menentukan posisi atau tempat. Posisi dan tempat inilah yang menuntut seniman membuat aneka desain. Desain-desain tersebut berkorelasi dengan level sosial mereka yang (akan) menggunakan atau memajang lampu tersebut.
Desain sederhana dan statis lampu gerabah, jodog, teplok, dan minyak kaca, misalnya, diperuntukkan bagi kalangan rakyat kecil di perdesaan. Desain manis dan ringkas lampu ayam, cipir, Aladdin, dan palembangan buat kalangan menengah-bawah. Sedangkan desain lampu berornamentasi rumit dalam gaya klasik, Art Nouveau dan Art Deco, diperuntukkan bagi kalangan menengah-atas dan bangsawan.
Lampu kembar dengan mayorika keramik dan kap opal berlukis/Repro Agus Dermawan T
Lampu jenis yang terakhir ini acap dihiasi motif yang kompleks dan menyimpan makna simbolis serta cerita. Seperti motif satwa pujaan (singa, merak, rusa, macan tutul), benda pembawa hidup baik (kipas, perisai), dan makhluk mitologi (singa bersayap, naga terbang, Pegasus). Keartistikan motif itu mengelilingi mayorika (perut atau tangki lampu) yang berhias pula dan terbuat dari besi, timah, keramik, atau porselen serta seolah-olah menjaga kap lampu, yang sering menstilisasi bentuk helaian kubis, belimbing, atau daun sawi, dengan permukaan bergambar dan bernuansa warna. Yang menarik, sebagian besar jenis lampu itu dirakit dari banyak elemen. Sebuah lampu gantung atau lampu katrol bisa terdiri atas 12 bagian yang memiliki nilai artistik masing-masing.
Hanny memburu lampu seperti mengejar cahaya. Mengasyikkan, agak absurd, dan tidak akan ada sudahnya. Sementara itu, keasyikan tersebut selalu disertai sensibilitas estetik dan kehati-hatian memilih agar yang didapatkan selalu sesuai dengan kriteria. Latar belakangnya sebagai kolektor lukisan serius—yang diwarisi dari ayahnya—agaknya mendorong munculnya kehati-hatian itu.
Lampu bergaya Art Deco/Repro Agus Dermawan T
Hanny adalah putra Nie Swan Tie, dokter yang puluhan tahun silam terkenal sebagai kolektor cum connoisseur lukisan. Koleksinya istimewa, sampai-sampai Presiden Sukarno pernah datang ke rumahnya di Jalan Indramayu, Menteng, Jakarta, pada April 1965. Sang Presiden ingin membeli sejumlah lukisan yang terpajang di situ. Karena semua lukisan itu tidak dijual, Sukarno akhirnya cuma bisa meminjamnya untuk dipajang di Istana Merdeka. Seminggu kemudian, semua lukisan dikembalikan dengan disertai surat yang menyenangkan hati.
Keseriusan Nie Swan Tie dalam mengoleksi lukisan diteruskan oleh Hanny. Bahkan ia mengembangkannya dengan koleksi lampu antik. Maka, apabila Sukarno masih ada, lampu-lampu Hanny mungkin dipinjam untuk dipajang di Istana Bogor, karena Sukarno juga penggemar lampu kuno. Jika Arie Smit masih hidup, koleksi Hanny niscaya akan dilukis pula, karena lampu antik adalah sejarah.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Ketika Lampu Hanny Menyala"