Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TINGKAH spontan, kocak, alami, dan terkesan konyol Benyamin Sueb senantiasa mewarnai puluhan filmnya yang hampir semuanya bergenre komedi. Karakter itu pula yang kemudian melambungkan namanya di jagat perfilman Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Benyamin, yang lebih dulu populer di dunia musik, mencuri perhatian sejumlah sutradara. Salah satunya Nawi Ismail. Ia mengajak Benyamin membintangi film garapannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Benyamin pun menjelma menjadi seorang aktor. Ia membintangi film-film arahan sutradara Indonesia, antara lain Nawi Ismail, Sjumandjaja, dan Nya Abbas Akup. Banyak filmnya yang diselingi lagu-lagu bersyair komedi atau celetukan-celetukan bernada kocak dan satire.
Dalam serangkaian pameran arsip Benyamin bertajuk “Biang Kerok” yang berlangsung di Museum Kebangkitan Nasional, Jakarta Pusat, 2 Juni-14 Juli 2024, Kineforum memutar empat film Benyamin setiap pekan. Empat film itu adalah Benyamin Biang Kerok (1972), Drakula Mantu (1974), Raja Copet (1977), dan Betty Bencong Slebor (1978).
Benyamin Sueb berpakaian pendekar, di Jakarta,1971. Dok.Tempo/Ed Zoelverdi
Gerry Apriryan, Manajer Program Irama Nusantara, menjelaskan, selain memajang koleksi album musik, Irama Nusantara bekerja sama dengan Kineforum menampilkan film-film Benyamin dalam pameran tersebut. Mereka mendapatkan arsip filmnya dari salah satu rumah produksi.
Menurut Gerry, arsip film Benyamin tak banyak ditemukan dan tak sedikit yang belum terdigitalisasi. Film-film Benyamin diperkirakan masih tersimpan di Sinematek, tapi tidak diketahui kondisinya. “Yang diputar Kineforum itu kami lihat fleksibilitasnya, beberapa karakter Benyamin,” katanya.
Gerry menuturkan, tahun 1973 boleh dibilang sebagai puncak karier Benyamin di jagat perfilman. Produktivitasnya sangat tinggi. Dia membintangi hingga sepuluh film sepanjang tahun itu.
Pengamat film Hikmat Darmawan menyebutkan Benyamin adalah seniman, aktor, dan pemain watak. Hal itu terlihat dari lagu, lirik yang ia buat, cara menyanyi, dan film-film yang dia bintangi.
Film-filmnya yang bersifat komedi, Hikmat melanjutkan, ditangani oleh Nawi Ismail, Sjumandjaja, Nya Abbas Akup, dan sutradara lain. Sutradara yang punya kreativitas dan ciri masing-masing dalam menggarap film komedi tersebut membuat film Benyamin memiliki bentuk komedi yang berbeda, menciptakan katalog film komedi beragam.
“Sebagai film, ini jadi katalog, jadi ada banyak bentuk komedi. Contohnya ketika dalam film garapan Sjumandjaja yang mempunyai kritik sosial dilatari pendidikan,” ujarnya. “Atau dalam film Pinangan yang terinspirasi tulisan Anton Chekhov (penulis Rusia) tapi menjadi Betawi banget”.
Memorabilia poster film yang dibintangi oleh seniman Betawi Benyamin Sueb dalam pameran bertajuk 'Biang Kerok', di Museum Kebangkitan Nasional, Jakarta, 12 Juni 2024. Tempo/Subekti
Film-film Benyamin, Hikmat menambahkan, menggambarkan ketegangan masyarakat atau kelompok etnis Betawi yang menghadapi pergulatan keras dengan modernitas, rural versus kampung. “Itu menjadi satu dalam diri Benyamin. Biar dikata muka kampung, rezeki kota. Karakter Benyamin sebagai komedian memperlihatkan watak pergulatan kampung dan kota itu selalu ada,” ucapnya.
Hikmat menjelaskan, pada era itu, seperti sedang terjadi tekanan terhadap Jakarta dan masyarakatnya. Masyarakat Betawi didesak perkembangan zaman ketika modernitas masuk dan menggempur. Pembangunan Jakarta yang sedang gencar meminggirkan masyarakat Betawi dalam lingkup sosial.
Perilaku sosial yang dianggap kampungan, Hikmat melanjutkan, kemudian perlahan menjadi lebih berkembang. Tapi tetap saja tarik-menarik rural-urban atau kampung-kota masih terlihat kuat.
Perjumpaan Benyamin dengan Bing Slamet menjadikan musik-musiknya berwatak jenaka, tapi range dan tekniknya seperti musik modern. Hal ini terlihat dalam film Ambisi yang merupakan film komedi arahan sutradara Nya Abbas Akup.
Sementara Nawi Ismail mengajak Benyamin bermain dalam film Banteng Betawi yang dibintangi Dicky Zulkarnaen sebagai Si Pitung. Dalam film tersebut, Benyamin berperan sebagai Bang Miun.
Mengutip laporan Tempo, 27 Maret 1971, Djadoeg Djajakusuma, sutradara yang juga pengurus Dewan Kesenian Jakarta waktu itu, mengakui film ini sukses sebagai hiburan. “Paling tidak ia memperlihatkan hasil yang lebih dari apa yang kita harapkan Nawi bisa buat,” tutur Djadoeg.
Adapun sang sutradara, Nawi, mengatakan film yang ia buat adalah film-film yang disenangi publik. “Publik senang atau tidak, itulah ukuran sukses sebuah film bagi sutradara,” ujarnya.
Banteng Betawi kala itu sudah sukses melebihi harapan Nawi. Dari ulasan Tempo, film tersebut tampak lebih rapi, bersih, dan lancar—terlalu lancar sehingga dia tidak sempat menggarap tokoh-tokohnya. Adegan sadis berdarah-darah dengan bacok-bacokan melumeri film ini, lalu ada teknik film ala film Hong Kong yang dinilai cukup mengagumkan.
Hikmat mengimbuhkan, di tangan Sjumandjaja, film Benyamin punya unsur drama yang satire. Sebagai kelanjutan kritik film berjudul Tamu Agung, yang merupakan komedi politik, Hikmat melihat film Pinangan keren. Film Laila Majenun juga menampilkan muatan watak komedi satire.
Watak tersebut kemudian berlanjut ke serial sinetron Si Doel Anak Sekolahan. Dalam sinetron tersebut, Benyamin yang memerankan tokoh Sabeni digambarkan sebagai orang tua Betawi yang serius, kerap marah-marah.
Sabeni juga sarat dengan pesan serta pergulatan kampung dan urban. Hal itu diperlihatkan, misalnya, ketika keluarga Sabeni berziarah dan piknik di lapangan bola. Sabeni meyakini lapangan bola itu adalah bekas kuburan leluhurnya yang digusur. Karena itu, ia berkukuh berziarah di area tersebut meski tak jelas lagi posisi makam sang leluhur.
Putra Benyamin, Benny Benyamin, menuturkan, ketika serial Si Doel Anak Sekolahan dibuat, ayahnya senang. Memori akan film yang dibintangi Benyamin dan Rano Karno sebelumnya dalam Si Doel Anak Betawi memudahkan penggarapan sinetron tersebut. Diskusi antara Benyamin dan Rano juga senantiasa intensif.
Hikmat menyebutkan keberagaman komedi Benyamin masih terlihat dalam film lain, seperti Raja Copet dan Samson Betawi. Dengan keberagaman ini, Hikmat melihat Benyamin sebagai orang yang “merusak tatanan”. “Dia itu disrupsi terhadap ketegangan modernitas dan tradisi,” ujarnya.
Sebagai komedian, Hikmat menambahkan, Benyamin adalah seniman atau komedian yang bisa menjadi seperti Robin Williams, seniman atau aktor yang tidak taat skenario. Setiap film yang ia bintangi memperlihatkan ikhtiar seni Betawi. Meski begitu, Benyamin pun masih mampu memerankan seorang waria. “Sosok Benyamin menjadi sangat kuat,” katanya.
“Baik screen persona dalam perfilman Indonesia maupun personanya di luar layar juga sangat kuat,” tutur Hikmat. “Dia mampu menampilkan dirinya sendiri sebagai representasi pergulatan tradisi dan modern.”
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Dari Biang Kerok hingga Si Doel Anak Sekolahan"