Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gambar itu memberi panduan bagaimana cara gerilyawan menyampaikan kabar berantai. Gerilyawan bercaping itu diperlihatkan menyorongkan tangan kepada gerilyawan lain untuk memberikan peta titik estafet. Lalu ada gambar panduan bagaimana gerilyawan menggunakan bayonet untuk bisa mendeteksi suara-suara di kejauhan. Bayonet ditancapkan di tanah, dan mungkin akan bergetar bila tak jauh dari situ ada tank Belanda lewat.
Juga ada panduan bagaimana cara gerilyawan mengkamuflasekan barang-barang yang bersinar dengan ditutup dedaunan agar tak memancing musuh, juga bagaimana bergerak di air atau menyamar dengan tubuh terbungkus daun-daun. Ada pula cara merayap seperti buaya.
Beragam adegan gerilyawan itu terdapat dalam komik Gerilja Schetsen. Komik koleksi B. Beem untuk Museum Bronbeek, Arnhem, Belanda, ini merupakan satu di antara dokumentasi visual yang ikut dipamerkan bersama ratusan foto revolusi Indonesia di Galeri Foto Jurnalistik Antara, Jakarta.
Gerilja Schetsen dibuat oleh seorang seniman bernama H.B. Angin di Yogyakarta pada 2 Desember 1947. Tak banyak yang tahu siapa dia. H.B Angin disebutkan adalah anggota sebuah organisasi seniman bernama Pusat Tenaga Pelukis Indonesia (PTPI). Nama organisasi ini juga kalah kondang dengan organisasi sejenis pada zaman perjuangan, seperti Perkumpulan Seni Rupa Masyarakat (PSM), Pelukis Rakyat, dan Seniman Indonesia Muda (SIM). Menurut pengamat seni rupa Mikke Susanto, PTPI merupakan organisasi yang didirikan oleh Djajengasmoro pada 1946.
Komik H.B. Angin tersebut berisi hal-hal atau kegiatan para gerilyawan ketika harus berbaur, hidup di tengah-tengah rakyat, saat sedang istirahat, atau strategi bertahan di alam atau di area medan perang, situasi di tanah lapang, trik menghadang musuh, juga ketika menyamar atau berkamuflase mendekati target penyerangan. Angin menggoreskannya sangat detail dan ekspresif, hidup dan terlihat alami. Gambar itu juga disertai keterangan tulisan kegiatan ala kadarnya.
"Saat itu para seniman kita secara otodidak belajar tentang anatomi tubuh. Kesan gerak yang muncul dalam gambar mereka mendapat pengaruh seniman Jepang," kata Mikke Susanto, pengajar Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Karena itu, wajar saja jika dalam lukisan tersebut terlihat garis-garis yang salah sebagai usaha untuk mencapai garis anatomi yang benar.
Dia menjelaskan, gambar komik ini merupakan semacam catatan di lapangan. Pelukis biasanya langsung menggambar di tempat. Menurut Mikke, komik H.B. Angin ini secara visual terlihat kotor, kumuh, tapi kesan karakter tokohnya sangat kuat. Gaya impresionisnya juga sangat kental. Itu sangat berbeda dengan komik panduan hidup untuk para tentara Belanda yang berjudul Kennis van het VPTL Mengetahoei akan VPTL Een kwestie van leven of dood!-Soal Hidoep ataoe Mati!. Buku panduan keselamatan prajurit berbentuk komik ini juga ikut dipamerkan di Galeri Foto Jurnalistik Antara. Buku panduan ini memuat kata-kata pendahuluan, cara, peringatan kepada penduduk atau keadaan selama bertugas lengkap dengan gambar yang sangat bersih.
Gambar di sebelah kiri lengkap dengan percakapan, di kanan terdapat kalimat dalam bahasa Belanda dan terjemahan dalam bahasa Indonesia. Contohnya gambar seorang serdadu sedang mencari sesuatu di tumpukan daun dengan tangan kirinya, sedangkan tangan kanannya memegang senjata. Gambar berikutnya si serdadu menendang-nendang tumpukan daun dan selanjutnya seseorang muncul dari tumpukan daun dan menyerang serdadu. Di kanan terdapat kalimat, "Apa goenanja memakai bajonet kalau tangan ada, atau sepasang kaki koeat, oleh karena adanja kemoengkinan sedemikian (penyerangan)." Gambar terakhir menunjukkan si serdadu menggunakan ujung bayonet untuk memeriksa tumpukan daun dan kalimat "Berboeatlah begini!".
"Komik Belanda cenderung minimalis, unsur dekoratifnya kuat, dibuat dengan rapi dan profesional, realistis, tapi tokohnya tidak berkarakter. Dan pribuminya terkesan bodoh," ujar Mikke. Dua komik yang berbeda ini tentu menarik, sama-sama berbicara tentang strategi dan keselamatan di medan tempur. Dengan dibuat menjadi komik berarti terbuka kesempatan bagi orang lain untuk mempelajarinya.
Komik H.B. Angin ini diduga pesanan Menteri Penerangan saat itu kepada PTPI. Menurut Mikke, lembaga ini muncul bersamaan dengan kursus seni Prabangkara, yang bertempat di Jalan Bintaran (kelak menjadi Akademi Seni Rupa Indonesia).
PTPI mengerjakan pesanan pemerintah untuk membuat poster, iklan, propaganda, atau komik seperti di atas. Tapi mereka juga menerima pesanan lain untuk menghidupi sanggar. "Dari data yang saya peroleh, mereka juga menerima pesanan pembuatan mimbar dari Bung Hatta," kata Mikke.
Dia juga menemukan lembaga ini mengajari anak-anak, remaja, hingga orang dewasa untuk beberapa jenis seni, baik seni lukis, drama, maupun seni kerajinan kayu untuk mebel dan ukir-ukiran. Hal ini diketahui dari kurikulum tulisan tangan Djajengasmoro. Ditemukan pula foto kegiatan dengan latar belakang perayaan ulang tahun kelima organisasi ini. Sayangnya, dia tak banyak menemukan bagaimana struktur para seniman yang terlibat di dalam organisasi ini.
Mikke mengatakan PTPI tak banyak dikenal orang karena didirikan bukan oleh tokoh atau seniman yang dekat dengan kekuasaan seperti S. Sudjojono, Agus Djaja, Hendra, Dullah, dan Affandi. "Pak Djajeng hampir sendirian." Tapi Djajeng kemudian juga menjadi pengajar di ASRI atau ISI di kemudian hari.
Lembaga ini juga bukan organisasi yang berdiri dari sisa lembaga kesenian yang dibentuk Jepang, Keimin Bunka Shidoso. "Tidak ada hubungan sama sekali. Dia berdiri karena melihat peluang merdeka dan punya visi untuk mendukung dan mempertahankan kemerdekaan," kata Mikke.
Sebuah artikel yang dikumpulkan oleh Arsip Seni Rupa Indonesia (IVAA) Yogyakarta menyebutkan PTPI berdiri pada 25 Oktober 1945. Organisasi ini dibentuk dengan satu tujuan, yakni struktur organisasi propaganda. Organisasi ini disebut versi lain dari Pusat Seni Budaya (Keimin Bunka Shidoso) yang bubar seiring dengan kekalahan dan hengkangnya Jepang dari Indonesia. Hal senada diungkapkan oleh pengajar seni rupa di Institut Teknologi Bandung, Aminudin T.H. "Berdiri di Yogyakarta, seperti warisan Keimin Bunka Shidoso, memang bergerak untuk mengerjakan propaganda kemerdekaan."
Tak banyak jejak tentang organisasi ini. Mikke Susanto menyebutkan kemungkinan ada beberapa karya peninggalan organisasi ini di Museum Perjuangan Yogyakarta. Tempo mencoba menyusurinya, tapi tak banyak diperoleh keterangan. Ada beberapa karya seperti foto pemuda yang sedang membuat poster perjuangan, lalu ada semacam poster bergambar dengan tahun 1948 dari para pemuda Gunungkidul. Tak ditemukan ada koleksi gambar komik atau panduan hidup seperti koleksi Museum Broonbeek itu.
Dian Yuliastuti, Anang Zakaria (yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo