Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Koreografi Kusukusu II karya Jecko Siompo menampilkan kreasi yang terinspirasi komodo.
Jecko mendekonstruksi tubuh para penarinya agar mampu menirukan dan menghayati perilaku hewan dalam koreografinya.
Kusukusu II ditampilkan Animal Pop Family dalam pembukaan Salihara International Performing Art Festival 2024.
MEREKA bergerak seperti melata dengan kedua tangan dan kaki di panggung yang terang, lalu tengkurap. Di sisi panggung yang gelap, tiba-tiba punggung mereka tegak ditopang kedua tangan dengan separuh badan masih menempel di lantai. Mereka seolah-olah dalam posisi waspada. Leher mereka menoleh tegas ke arah bangku penonton. Dalam posisi itu, kemudian mereka melompat-lompat bertumpu pada tangan. Mereka tengkurap lagi dan membuat gerakan yang sama, melata dan berbalik ke arah semula.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lima penari ini menirukan gerakan komodo yang diamati koreografer Jecko Siompo hampir empat tahun lalu. Inspirasi dari binatang purba inilah yang mengantarkan Jecko menciptakan koreografi ini, Kusukusu II. Dalam bahasa Papua, kusukusu diartikan sebagai rerumputan semak belukar atau tempat dan situasi berbahaya. Pentas Kusukusu II ini menjadi pembuka Salihara International Performing Art Festival atau SIPFest 2024 di Salihara Arts Center, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, yang digelar selama 3-31 Agustus 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Komodo memang menjadi inspirasi gerak utama dalam koreografi ini. Para penampil sangat energetik memperagakan gerak-gerak yang diciptakan koreografer asal Papua tersebut. Gerakan komodo tampak ketika mereka serempak dengan posisi seperti push-up bertumpu pada kedua tangan, lalu melangkah lebar dengan tangan dan kaki, seperti komodo yang tengah berjalan lambat. Atau saat kedua kaki mereka merentang dengan salah satu lutut menempel membentuk sudut 45 derajat. Sebagian perut mereka menempel di lantai, sementara badan mereka tegak dengan tumpuan tangan sedikit lebar dari bahu.
Koreografi ini sangat intens menggarap lantai panggung serta gerak kaki dan tangan di lantai panggung. Gerakan-gerakan kaki mereka cukup rumit, tegas, trengginas, dan berenergi, menciptakan irama yang ritmis saat membentur matras panggung. Awalnya Jecko menggiring imaji penonton dengan tiupan didgeridoo (alat tiup tradisional masyarakat asli Australia) dan tepukan tifa yang ritmis, membangkitkan semangat. Iringan musik itu mengantar kita pada suasana di Nusa Tenggara Timur dengan sabana yang menghampar. Sesudah itu, musik berhenti, hening dalam cahaya panggung. Kemudian salah satu penari tiba-tiba muncul dari panggung belakang yang gelap, disusul empat penari lain.
Gebrakan kaki, tangan, dan tubuh mereka mengisi ruang panggung. Mereka berguling dan melompat dalam gerakan serempak yang sejajar. Sesekali terdengar celotehan mereka, “Kusukusu... kusukusu...,” disertai celotehan lain yang artikulasinya kurang jelas. Selama lebih dari setengah jam, irama ritmis dari gebrakan kaki dan tangan di matras panggung memenuhi ruang gerak para penari. Beberapa gerak yang repetitif dan tanpa alur dramaturgi sedikit membosankan.
Namun Jecko, dengan koreografi yang berbasis pada gerak dan tingkah laku binatang, seperti kanguru, ular, dan komodo, mencoba menghidupkan suasana. Sesekali terdengar suara sapaan, “Hai, halo...,” disertai gerakan kocak yang mengundang tawa kecil penonton. Tentu tak lupa para penari menampilkan gestur tubuh yang sangat khas dari koreografi Animal Pop Family—sanggar yang didirikan oleh Jecko. Kedua lengan penari merapat di sisi tubuh, lalu sedikit menekuk dengan tangan seperti menguncup ke depan dan kaki terentang selebar bahu, yang sedikit menekuk sebagai dasar kuda-kuda atau persiapan menuju gerakan lain. Eksplorasi bidang bawah panggung dengan gerak kaki dan tangan yang energetik menjadi kekuatan penampilan para penari dalam koreografi ini.
Gerakan mereka pun tak kalah lincah ketika berdiri. Dalam gerakan kaki dan tubuh yang bertenaga, mereka juga membuat gerakan-gerakan berjalan dengan tangan agak menyiku menempel di sisi badan, sementara kaki melangkah mendahului tumit. Tentu ini membutuhkan keseimbangan yang baik. Ada kalanya para penari membenturkan atau melompati tubuh penari lain sebagai bagian dari koreografi. Sesekali tampak gerakan mereka seperti tengah berebut sesuatu atau bersitegang. Kemampuan tubuh dalam gerak yang cukup bertenaga ini patut diacungi jempol. Intensitas mereka dari awal hingga akhir penampilan tak terlihat kendur. Mereka juga mampu menghadirkan sosok atau karakter “tokoh” dalam koreografi ini, entah hewan entah manusia. Hal itu tak hanya mereka tunjukkan dalam laku gerak, tapi juga melalui suara-suara yang mereka hasilkan, seperti debur ombak, gesekan daun, dan kicau burung, serta keheningan.
Tata cahaya di panggung menjadi kelebihan Jecko dalam menghidupkan karyanya. Panggung terlihat luas, hanya sebagian di depan yang diterangi cahaya. Selebihnya, area gelap panggung menjadi bidang bebas bagi penari untuk keluar-masuk ke area panggung yang disirami cahaya. Mereka bisa menghilang di area gelap, seperti masuk ke belakang panggung, tapi sebenarnya masih di panggung. Kemudian mereka bersalto atau melompat dari bidang gelap dan mendarat di panggung yang terang. Di panggung yang terang, tampak keringat para penari membanjir, membasahi pakaian mereka.
Pentas Kusukusu II karya Jecko Siompo di Galeri Salihara, Jakarta, 3 Agustus 2024. Dok. Komunitas Salihara/Witjak Widhi Cahya
Jecko dan Animal Pop Family mementaskan Kusukusu pertama kali pada 2022. Saat itu karya tersebut masih dalam tahap penciptaan. Mereka baru mematangkannya menjadi pertunjukan utuh setelah dua tahun. Mulanya mereka harus mempertontonkan koreografi setengah jadi itu kepada warga lokal di Nusa Tenggara Timur. “Saya bilang, kalau gerakannya menurut mereka bagus, kita aman. Namun, kalau menurut mereka tidak bagus, kita pulang kembali ke Jakarta,” tuturnya. Ternyata warga di sana menangis haru melihat karya tersebut. “Kenapa kita punya binatang bisa keluar ide seperti itu?” ujarnya, menirukan ucapan para warga.
Ia sengaja memilih lima penari untuk menarikan koreografinya. Lima penari ini juga menyimbolkan jumlah jari komodo. Sementara itu, dalam proses kreatif pementasan ini, Jecko mengajak para penarinya melihat serta menirukan gerak dan tingkah laku hewan-hewan yang akan dipentaskan. Jecko menggarap tubuh kelima penarinya hingga benar-benar persis seperti gerakan hewan-hewan tersebut, sambil memasukkan spirit gerakan hewan-hewan itu. Proses ini, Jecko memaparkan, membutuhkan waktu yang cukup panjang. Jadilah koreografi yang unik, energetik, dan dinamis dalam Kusukusu II. Jecko menyebut koreografinya sebagai sajian Orde Seni Baru. Sebuah koreografi yang mengandung humor serta menghibur dan menggoda penonton.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Komodo dan Koreografi Jecko Siompo"