Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SELURUH tubuh Bisma tertembus panah. Pada hari kesepuluh perang di Kurusetra, kesatria tua yang dicintai baik oleh Pandawa maupun Kurawa itu sekarat. Panah Srikandi menembusnya. Koyano Tetsuro, aktor Jepang, pemeran Bisma, seperti berdiri merebah di bilah miring beroda. Sebuah plastik penuh puluhan anak panah tertancap dilingkarkan ke dadanya.
Gugurnya Bisma biasanya menjadi momen yang menyayat. Syahdan, tatkala Bisma roboh, tiba-tiba tersebar bau harum dan hujan turun membasahi seluruh Kurusetra. Kedua belah pihak menghentikan pertempuran. Tapi di tangan Hiroshi Koike, lantaran begitu banyaknya adegan silih berganti, momen ini menjadi tidak terasa khusus. Porsinya sama dengan adegan lain dan menjadi lewat begitu saja.
Hiroshi, sutradara Jepang, melanjutkan proyek besarnya. Ia berkeliling Asia Tenggara dan, di negara yang memiliki tradisi Mahabharata, ia bersama kelompok teaternya melakukan kolaborasi internasional. Mahabharata babak pertama dipentaskannya bersama aktor-aktor Kamboja pada 2013; Mahabharata babak kedua bersama aktor-aktor Kerala, India, pada 2014; dan yang ketiga dengan aktor-aktor Indonesia tahun ini. Ia memilih aktor-aktor yang berada di lingkaran Garasi Performance Institute.
"Selama dua bulan kami berlatih sejak pukul 8 pagi sampai lepas magrib di Yogya, kecuali Minggu," kata Koyano Tetsuro, yang fasih berbahasa Indonesia. Hasilnya, pentas berdurasi tiga jam itu disajikan di Societet Militer Taman Budaya Yogyakarta, 24-25 September, dan Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 28-29 September 2016. Pentas gabungan itu terdiri atas aktor Jepang, Cina, Filipina, Indonesia, dan India. Dari Mahabharata I sampai III, yang menjadi pemain tetap hanyalah Koyano Tetsuro, Lee Swee Keong, dan Shirai Sachiko.
Hiroshi Koike tertarik mencampur budaya antarnegara dalam satu dunia seperti salad di mangkuk. "Kami diminta sutradara Hiroshi membuat gerakan tradisi kami masing-masing," ujar Wangi Indriya, penari topeng Cirebon yang terlibat. Dalam latihan, Hiroshi juga meminta penari menggunakan topeng singa, harimau, dan rusa dari Bali, yang menggambarkan perilaku binatang yang suka berkelahi. Pada Mahabharata babak pertama di Kamboja, Hiroshi memetaforakan kekejaman Pol Pot, yang melakukan pembunuhan massal warga Kamboja secara brutal, dengan topeng binatang juga. "Topeng itu menggambarkan kebiadaban," kata Hiroshi.
Fokus Mahabharata III adalah perang Kurusetra. Perang itu berlangsung 18 hari. Panglima Pandawa adalah Drestajumena (Riyo Tulus Pernando), sedangkan panglima Kurawa adalah Bisma (Koyano Tetsuro). Bagaimana Hiroshi Koike memampatkan perang 18 hari itu dalam durasi 3 jam? Hiroshi membuat naskah pentas setelah membaca keseluruhan episode Mahabharata dalam bahasa Jepang yang diterjemahkan Uemura Bunrakuken, maestro bunraku, wayang golek Jepang. Tampak tafsir Hiroshi termasuk konvensional. Seluruh adegan sesuai dengan pakem. Dia tidak mengambil perspektif yang "dekonstruktif" atau menyimpang dari Mahabharata karangan Wiyasa.
Adegan dimulai saat Kresna (Carlon Matobato, aktor Filipina) menemui Yudhistira (Gunawan Maryanto dari Teater Garasi) dan Duryudana (Lee Swee Keong, aktor Malaysia-Cina). Agar adil, Kresna menawarkan kepada Pandawa dan Kurawa untuk memilih pasukannya atau dirinya dalam perang. Yudhistira memilih Kresna, sementara Duryudana mengambil pasukan Kresna. Tiap pemain memainkan karakter rangkap. Suryo Purnomo, misalnya, memerankan Arjuna dan Dursasana sekaligus. Untuk pemeranan yang berbeda-beda, para aktor berganti-ganti kostum dan topeng. Kostum yang digunakan memadupadankan lurik ciptaan desainer kondang asal Yogyakarta, Lulu Lutfi Labibi, dan desainer asal India, Mandakini Goswami.
Wangi Indriya memerankan Kunti dan Amba. Tatkala menjadi Kunti, Wangi menembangkan Dermayonan, lagu Jawa cengkok Indramayu, mengisahkan Kunti yang mencegah anak-anaknya tidak saling bunuh dalam perang besar. Kunti mengakui Karna sebagai anaknya. Tatkala menjadi Amba, tokoh perempuan yang bereinkarnasi menjadi Srikandi, Wangi menggunakan gerakan kuda-kuda, mengentak seperti laju lari kuda. Ada pula tari trisik Jawa dengan posisi kaki jinjit dan berlari secara cepat.
Yang langsung terasa adalah begitu banyaknya tokoh membuat panggung terasa berjejal. Apalagi tata letak panggung yang digarap Agung Leak Kurniawan meletakkan topeng dan kostum di panggung. Kostum itu dikaitkan pada benda berbentuk kerangka monyet. Semua pemain langsung berganti kostum dan mengambil topeng di panggung. Seniman Agung Kurniawan, kata Hiroshi Koike, dipilih karena mampu menyajikan panggung yang menggambarkan karya ironis, lucu.
Formasi perang dari kubu Pandawa dan Kurawa tidak ditampilkan dalam blocking yang kontras. Juga saat formasi memanah. Tiap kubu membawa bendera beragam gambar. Para tokoh menunggang kuda-kudaan seperti kuda lumping atau gajah-gajahan. Adegan mengalir, tapi irama terasa datar. Dari satu adegan ke adegan minim momen yang digarap secara menyentuh. Hiroshi seolah-olah ingin menumplekkan seluruh hiruk-pikuk peperangan.
Yang patut diperhatikan adalah kekayaan multilingual pementasan. Para aktor berbicara dalam bahasa yang berbeda dan terhubung dalam satu cerita. Lee Swee Keong, misalnya, menggunakan bahasa Cina. Carlon Matobato melafalkan bahasa Tagalog. Sedangkan Sandhidea Cayono Narpati sebagai Abimanyu berbicara dalam bahasa Jawa. Penonton dibantu oleh running text bahasa Indonesia yang disajikan di pinggir panggung untuk memahami jalan cerita. Hiroshi bercerita, ketika pentas Mahabharata babak pertama, ia meminta para aktor Kamboja menggunakan bahasa Khmer. Tatkala di India, ia juga meminta aktor menggunakan bahasa ibu, bukan bahasa Inggris. "Bahasa ibu punya ritme dan harmoni. Yang paling penting penari mampu merasakannya," kata Hiroshi.
Pentas-pentas multilingual demikian sesungguhnya bukan hal baru di Jepang. Sutradara besar Jepang, Tadashi Suzuki, misalnya, dalam karya Electra atau Dionysus menggunakan aktor yang berbeda bahasa. Di titik ini, perbedaan intonasi, irama, ritme, dan tempo tiap bahasa yang khas bisa menjadi benturan tak terduga yang sedap. Bahasa Tagalog yang terdengar cepat, misalnya, bisa akan terasa unik jika disandingkan dengan bahasa Jawa wayang wong yang ritmenya lambat. Tapi perbedaan bahasa itu tak sampai membuat Mahabharata III menjadi suatu pertunjukan pesta bunyi lingual yang merangsang imajinasi.
Hiroshi Koike mengemas Mahabharata sesuai dengan perkembangan zaman. Seperti pada Mahabharata babak kedua, ia menyisipkan sesuatu yang ngepop. Dialog para pemain, misalnya, sering dengan kalimat ngerap disertai tepuk tangan. Di pengujung pertunjukan, para pemain berpose sedang difoto bersama atau welfie. Ia juga memperbolehkan aktornya sedikit ndagel. Gunawan "Cindhil" Maryanto, misalnya, melucu menjelang berakhirnya pertunjukan. "Yudhistira kalem, ora pethakilan. Aku ra wangun. Salah casting," ujar Cindhil disambut gelak tawa penonton. Mahabharata babak keempat direncanakan tahun depan di Thailand. "Nanti 2018, babak I dan II akan kami gabung di Malaysia. Sedangkan pada 2019, babak III dan IV kami gabung di India. Pada 2020, pas Olimpiade Tokyo, semua akan kami gabung. Itu bisa lebih dari lima jam," kata Koyano Tetsuro.
Pentas ini hendak mengangkat banjir darah di Kurusetra. Yang jadi soal, rasa tragik Kurusetra itu terasa kurang katakanlah apabila perang mahabesar ini ditampilkan dalam sabetan wayang kulit Ki Manteb Soedarsono atau Timbul Hadiprayitno (tapi mungkin tak bisa dibandingkan antara keduanya). Di pengujung, satu panah raksasa menghunjam ke bumi. Panah itu seolah-olah menancap di tubuh Destharata, yang dikelilingi anak-anaknya, para Kurawa. Sebuah klimaks yang menarik meski tak cukup menggigit. SENO JOKO SUYONO, SHINTA MAHARANI
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo