Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mikke Susanto*
PADA 1949, SS-101—julukan Sudjojono—menemui Bung Karno. Kala itu, ibu kota Republik mengalami Agresi Militer Belanda. Bung Karno hampir diasingkan ke Bangka. Meskipun demikian, untuk masuk ke Gedung Agung saat itu masih mudah dan tanpa birokrasi panjang. Keinginan SS-101 hanya satu: menagih utang atas lukisan yang dibeli oleh Sang Presiden.
Melihat baju SS-101 yang kumal, Bung Karno justru menawarkan sesuatu.
"Aku melihat kamu kok kasihan, Jon (panggilan SS-101). Jangan tersinggung, ya?" kata Bung Karno.
"Ah tidak, Mas! Saya selama ini memang hanya punya seperti ini dan belum mampu beli sepatu."
"Kalau kau sekeluargamu kuberi pakaian bekas tapi masih bagus, kan tidak tersinggung kamu?"
SS-101 pulang sambil berseri-seri menjinjing satu buntalan besar. Ada uang Rp 20 ribu pemberian Ibu Negara Fatmawati dan setumpuk pakaian. Dengan uang tersebut, akhirnya SS-101 sekeluarga pelesir ke Malioboro untuk berbelanja.
Cerita itu dikisahkan Mia Bustam dalam buku Sudjojono dan Aku. Uang Rp 20 ribu tersebut merupakan pelunasan Bung Karno atas pembelian lukisan SS-101 yang legendaris: Kawan-kawan Revolusi. Tapi kepada saya, Daoed Joesoef, rekan SS-101 ketika aktif di sanggar Seniman Indonesia Merdeka (SIM), Yogyakarta, menyatakan bahwa Rp 20 ribu terlalu besar. Ia lebih percaya jumlah uang yang diterima SS-101 tak lebih dari Rp 2.000.
Lukisan itu sendiri semula dipasang di Yogya, lalu berpindah ke Istana Merdeka, Jakarta. Lukisan inilah yang menjadi penanda terpenting sebagai buah hubungan antara SS-101 dan Bung Karno. Lukisan yang bertabur kisah dan interpretasi inilah yang menyebabkan eksistensi SS-101 bersinar. Sejak 2010 sampai saat ini, lukisan itu kembali dipajang di Istana Presiden Yogyakarta bersama lukisan lain yang juga dibuat oleh SS-101.
Banyak kisah penting lain terjadi dalam hidup SS-101 selama di Yogyakarta, tepatnya pada 1946-1955. Pada 1946-1947, SS-101 bersama para pelukis lain dimintai Bung Karno membuat lukisan potret pahlawan untuk dipampangkan di Gedung Agung. Lukisan potret pahlawan ini dikerjakan karena kedekatan antara para pelukis dan Presiden sejak ibu kota pindah ke Yogya. Para pelukis yang hijrah dari Jakarta dan Bandung sejak awal 1946 ini sering berkumpul di SIM, yang bermarkas di Jalan Pekapalan 7, Alun-alun Lor Kraton. Mereka sering diundang ke Gedung Agung. Tujuannya melakukan kerja melukis, selain berdiskusi.
Pada kesempatan inilah Bung Karno meminta mereka membuat lukisan potret pahlawan untuk menghiasi dinding Istana. Proyeksi Presiden tentu saja untuk memberi spirit bagi siapa pun yang masuk agar mengingat sisi-sisi kepahlawanan bangsa, meskipun pada masa itu belum ada wacana perihal pahlawan nasional. Bung Karno telah mendahului dengan membuat lukisan pahlawan sebagai penghargaan kepada mereka yang berjuang di medan perang.
Sebanyak 12 lukisan kini dapat ditengok di Istana Kepresidenan Yogyakarta. SS-101 mendapat tugas melukis potret Kartini, Husni Thamrin, dan Tuanku Imam Bonjol. Lainnya adalah pelukis Affandi, Dullah, Soerono, Trubus Sudarsono, Harijadi S., S. Abdullah Soedarso, dan satu lagi anonim. Mereka berbagi tugas dalam membuat lukisan berukuran rata-rata 102 x 85 sentimeter. Ukuran terbesar adalah karya SS-101, Potret M. Husni Thamrin, 150 x 100 cm. Semuanya memakai medium cat minyak di kanvas.
Berbeda dengan para pelukis lain, SS-101 menerapkan gaya pribadinya yang khas dalam lukisan potret ini. Sementara Affandi, Trubus, Dullah, dan Soerono tetap melukis dengan gaya realistis yang akurat, SS-101 tampak tidak akurat. Dia terkesan semau gue dengan gaya brushstroke yang kasar, tapi karakter sang tokoh tetap muncul.
Secara visual, wajah Imam Bonjol dikerjakan lebih seperti wajah kekanak-kanakan. Wajah Kartini dan Husni Thamrin tampak pucat. Potret mereka dilatari pemandangan: gunung berasap dan kibaran bendera pada potret Thamrin, lanskap laut pada potret Kartini, dan lanskap hutan (?) pada Imam Bonjol. Pada lukisan Potret Imam Bonjol, seperti biasa, tertera tulisan SS-101 tentang nasionalisme.
Belasan lukisan pahlawan yang dikerjakan para pelukis ini oleh Bung Karno diletakkan di gedung utama Istana. Mereka dipajang dengan cara digantung pada dinding ataupun diletakkan pada tripod penyangga. Bahkan satu lukisan karya anonim (Potret Pangeran Diponegoro) dipakai secara resmi sebagai background seremoni kenegaraan oleh Bung Karno secara terus-menerus—setidaknya lebih dari dua kali seremoni.
Sebagian besar lukisan SS-101 pada periode ini dibeli oleh Bung Karno. Selain Kawan-kawan Revolusi, ada karya Seko (Pelopor Gerilya), yang dibuat sebagai bagian dari bergolaknya Agresi Militer II di Yogya. Ada pula lukisan berjudul Di Kampung, yang menggambarkan anak SS-101, Watugunung, ketika bayi. Lukisan Mengungsi "lahir" ketika SS-101 sekeluarga yang tinggal di Pakuningratan mengungsi ke Desa Tulung, Klaten. Semua itu dilukis dalam suasana perang dengan gaya realistis dan detail.
Pada periode Yogya, Bung Karno setidaknya membeli enam lukisan SS-101. Bisa dibilang, karena dibeli Bung Karno, sejumlah lukisan SS-101 selamat dari gempuran Belanda. Maka jika di pasar terdapat karya SS-101 periode Yogya agaknya tidak masuk akal. Sebab, karya-karya yang disimpan SS-101 sendiri diberitakan telah hancur terkena bom.
Sampai 1965, Bung Karno setidaknya mengoleksi 15 karya SS-101. Ada 10 karya yang dimasukkan ke buku Koleksi Presiden Sukarno edisi Dullah (1956) dan enam karya yang dimuat dalam buku Koleksi Presiden Sukarno edisi Lee Man-fong (1964). Selain lukisan potret pahlawan, masih ada karya SS-101 di Istana yang tidak termuat dalam buku koleksi, yakni Gerilya Mengatur Siasat (1950)—kini di Istana Presiden Bogor—dan Markas Laskar di Bekas Gudang Beras Tjikampek (1964), yang dipajang di Museum Istana Presiden Yogyakarta.
Karya-karya SS-101 penting adanya dan telah membuktikan bahwa tema perjuangan serta kepahlawanan telah menjadi citra tersendiri dalam kurun awal berdirinya bangsa ini.
*) Penulis adalah peneliti dan Anggota Staf Pengajar Fakultas Seni Rupa Institut Seni Indonesia Yogyakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo