Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pameran tunggal Nesar Ahmad Eesar.
Seniman Afganistan mengeksplorasi isu pengungsi.
DI sebuah biduk yang mungil, tiga orang duduk berdesakan. Seorang perempuan yang rambut panjangnya dikepang dua ditemani dua lelaki berjanggut hitam lebat seperti rambut mereka. Memakai jaket pelampung berwarna jingga yang kontras dengan kulit, juga pakaian bermotif seragam, mereka terlihat sedang mencari suatu arah tujuan. Tangan kanan sosok yang di depan perahu menggenggam tongkat dayung, sementara tangan kirinya memegang kompas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di lautan berwarna kecokelatan dengan latar langit bercorak kain tradisional di belakang mereka, muncul kobaran api kecil yang menyebar bersama bunga-bunga safron. Flora berwarna keunguan dalam lukisan berjudul The Ambiguous Journey #6, One of a Kind dengan cat minyak pada kanvas berukuran 150 x 300 sentimeter itu melambangkan kekayaan suatu negara untuk warganya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Kita belum tahu apakah air atau lautan ini berbahaya untuk kekayaan yang sedang dalam keadaan tenggelam atau bertahan lama,” kata Nesar Ahmad Eesar, Jumat, 29 September lalu.
Seniman 33 tahun yang lahir di Zabul, Afganistan, dan kini bermukim di Bandung itu kembali mengangkat isu tentang pengungsi dan perjalanan hidupnya. Lewat pameran tunggal di Galeri Lawangwangi Creative Space, Bandung, yang berlangsung pada 29 September-29 Oktober 2023, Nesar menampilkan 33 karya yang terdiri atas 22 lukisan, 6 gambar di kertas, dan 5 karya seni grafis.
Dalam pameran bertajuk “Ambiguous Journey: Poetic Limbo” itu, lulusan Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta dan seni rupa Institut Teknologi Bandung tersebut menyoroti kisah pengungsi yang diliputi keraguan dan ketidakpastian hidup di negara asing. Narasinya dibangun dari kabar yang ia ikuti setiap hari tentang pengungsi Afganistan. Dia mengungkapkan, lebih dari 8 juta warga Afganistan hengkang ke lebih dari 100 negara lain.
Garis hidup mereka beragam. Masih banyak pengungsi yang harus tinggal bertahun-tahun di kamp pengungsian, termasuk di Indonesia. Mereka bertahan hidup bersama harapan dan impian mendapatkan kehidupan yang lebih baik di negara tujuan. Di perbatasan negara, ada pengungsi yang ditangkap petugas lalu dimintai uang. Sedangkan orang-orang yang telah masuk ke negara lain dipaksa kembali ke Afganistan.
Masalah pun masih membuntuti mereka yang beroleh kehidupan baru di negara tujuan, menjalani susahnya adaptasi di zona yang tak nyaman. “Masuk lingkungan baru, belajar dari nol lagi, bahasa, cara hidup, pasti ada kerinduan pada masa lalunya,” tutur Nesar. Hal ini pun ia rasakan ketika sebagai seniman merasa kangen pada corak dan ragam seni leluhurnya. Ia rindu pada lukisan miniatur yang berkembang di Afganistan pada abad ke-15.
Lukisan itu disebut miniatur karena wujudnya tergolong kecil, seukuran setengah kertas A4 atau A5. Ciri khas corak lukisan tersebut, Nesar menjelaskan, adalah kesan yang datar. Pembuat lukisan itu tidak mengagungkan perspektif seperti yang dianut seniman Barat. Mereka pun mengenyahkan arsiran bayangan pada gambar yang bisa menyiratkan unsur waktu. Namun selalu ada tarikan garis atau outline pada setiap bentuk yang dilukis.
Pameran tunggal Nesar Ahmad Eesar berjudul Ambiguous Journey, Poetic Limbo di Galeri Lawangwangi Creative Space, Bandung, 29 September 2023. Tempo/Anwar Siswadi
Lukisan miniatur, Nesar menambahkan, dulu dibuat sebagai bentuk pujian kepada raja-raja atau pembesar lain yang memberikan fasilitas kepada si seniman. Gambarnya merupakan ilustrasi larik puisi atau cerita. Orang harus mendekat agar bisa melihat jelas lukisan yang dibuat rinci dengan ukuran mini tersebut. Nesar tidak sepenuhnya mengadopsi gaya itu pada karyanya. Dia membuat lukisan pada kanvas berukuran besar dan ceritanya pun berkonteks kekinian dengan aneka simbol. Misalnya buah delima yang menggambarkan harapan dan kuda hitam yang melambangkan kesempatan berikutnya. “Kecenderungannya lebih ke pascatradisi yang kontemporer, jadi lebih bebas,” katanya.
Nesar menekuni kembali gaya lukisan itu saat kuliah di Bandung. Dua seniman sekaligus dosennya, Tisna Sanjaya dan Asmudjo Jono Irianto, mendorongnya mengangkat kembali lukisan miniatur. Wajah keduanya diselipkan pada salah satu lukisan. “Sumber-sumber seni rupa tradisi dapat menjadi alternatif kebuntuan gagasan seni rupa kontemporer model Barat,” ucap Asmudjo, yang menjadi kurator pameran.
Menurut Asmudjo, perjalanan para pengungsi Afganistan meninggalkan negeri mereka adalah perjalanan yang ambigu. Mereka menghadapi situasi yang berbeda antara harapan dan kenyataan. Para pengungsi juga dalam situasi limbo. “Tidak ada kepastian, dalam penantian tidak berujung,” ujarnya.
Pada beberapa karya dimunculkan juga makhluk yang berkulit seperti macan tutul. Nesar menerangkan, sosok yang dikenal sebagai Div itu adalah semacam setan atau iblis dalam kisah fiksi lokal. Mereka dikisahkan punya kerajaan di Pegunungan Qafqaz. Tubuh mereka seperti manusia, tapi lebih besar dan kuat. Mereka pun bermusuhan dengan manusia. Sosok itu dipakai Nesar untuk menggambarkan penjual senjata, pengembang narkotik, panglima perang, dan berbagai pihak lain yang merugikan manusia. “Totol-totol hitam itu terinspirasi pintu-pintu yang berlubang-lubang akibat ditembus peluru perang,” tuturnya.
Tokoh antagonis Div mendominasi karya gambar, juga cetak grafis dengan teknik etsa. Nesar mempelajari seni grafis saat menjalani residensi selama dua minggu pada Februari lalu di Devfto Printmaking Institute di Bali yang didirikan seniman Devy Ferdianto asal Bandung. Dia mengaku terkesan mendapatkan pengalaman baru itu, antara lain karena setiap cetakan melahirkan hasil yang berbeda.
Ketika rezim Taliban berkuasa pada 1996-2001, Nesar sempat belajar membuat kaligrafi serta lukisan realis dan miniatur di Kabul. Setamat sekolah menengah atas, dia mendapat beasiswa untuk kuliah di ISI Yogyakarta. Setelah lulus kuliah, dia sempat pulang ke Kabul sebelum datang ke Bandung untuk kuliah pascasarjana hingga lulus dari Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB pada 2022. Selama di Indonesia, dia telah mengikuti 30 pameran bersama dan menggelar lima pameran tunggal.
The Eternal Waiting #4
Pada 2022, Nesar masuk daftar 15 finalis Bandung Contemporary Art Award serta diundang ke acara ArtJog, Art Jakarta, dan Bali Art Moment 2023. Dia pun menjadi pendidik di Nesar Art Center yang berlokasi di Kabul. Kekaryaannya sejak awal menggambarkan kondisi Afganistan dan dampak perang terhadap warga negara itu.
Belakangan, dia berfokus pada isu pengungsi dengan karya yang sebelumnya ditampilkan dalam pameran tunggal berjudul “The Eternal Waiting” di Galeri Orbital Dago, Bandung, pada 24 Februari-6 Maret 2022. Ide penantian abadi itu terinspirasi hasil interaksinya dengan pengungsi di Yogyakarta sejak 2012. Besar di tengah kancah perang, Nesar mulai mengenal isu pengungsian pada usia 8 tahun, ketika temannya mengajaknya hengkang ke Pakistan dan beberapa pamannya pun mengungsi ke sana.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Lukisan-lukisan Mini dari Afganistan"