Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

teroka

Setelah Tiga Dekade Berlalu

Mari Elka Pangestu punya impian bekerja di Bank Dunia sejak 1980-an, tapi ayahnya tak setuju. Ia berfokus mempelajari ekonomi pembangunan.

29 Februari 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Mari Elka Pangestu berencana melamar ke Bank Dunia setelah lulus kuliah, tapi ditolak ayahnya.

  • Mari Elka berfokus memperdalam ekonomi pembangunan.

  • Digadang-gadang menjadi Rektor Universitas Prasetiya Mulya.

MARI Elka Pangestu naik ke podium. Di hadapan mahasiswa, dosen, dan para pengurus Yayasan Prasetiya Mulya pada Kamis, 6 Februari lalu, Ketua Senat Universitas Prasetiya Mulya itu menceritakan mimpinya bekerja di Bank Dunia setelah menempuh pendidikan doktoral di University of California, Davis, Amerika Serikat, pada 1986.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bank Dunia, kata dia, adalah tempat yang tepat untuk menimba ilmu lebih dalam tentang pembangunan ekonomi. Lembaga yang kini beranggotakan 189 negara tersebut berfokus mengentaskan masyarakat dari kemiskinan dan membangun negara yang sedang berkembang. Namun ayahnya, Pang Lay Kim, menolak keinginan Mari. Ia meminta putrinya pulang. Pang merasa, dengan ilmu yang sudah Mari peroleh, semestinya ia tak membantu negara berkembang lain, tapi berkontribusi membangun negaranya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tiga dekade setelah penolakan tersebut, Presiden Bank Dunia David Malpass menunjuknya sebagai Direktur Pelaksana Kebijakan Pembangunan dan Kemitraan. Mari tidak akan mendapatkan posisi itu jika dulu jadi melamar ke Bank Dunia. Hanya orang yang direkomendasikan kepala negara yang bisa menduduki jabatan tersebut, setelah melalui seleksi oleh Bank Dunia. “Kalau ayah saya masih hidup, dia akan geleng-geleng kepala karena anaknya sampai juga ke Bank Dunia dalam posisi yang, mudah-mudahan, bisa memberi perubahan dalam isu pembangunan,” ucap Mari dalam pidato pelepasannya di Universitas Prasetiya Mulya itu.

Presiden Joko Widodo merekomendasikan Mari kepada Malpass pada Oktober 2019. Menurut Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, Jokowi menyorongkan nama Mari karena ia memiliki kemampuan khusus di bidang ekonomi. Jokowi juga menilai Mari punya kualifikasi sesuai dengan standar internasional. Menteri Perdagangan era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu antara lain menjadi perwakilan pemerintah Indonesia di organisasi internasional, seperti Institut Riset Ekonomi untuk ASEAN dan Asia Timur (ERIA), Institut Riset Kebijakan Pangan Internasional (IFPRI) sebagai ketua dewan pengurus, serta Belt and Road Forum selaku penasihat.

Setelah Jokowi memberikan rekomendasi, Luhut membawa Mari dalam pertemuan Bank Dunia di Washington, DC. Malpass mengajak Mari berbicara. Ia ditanyai perihal isu pembangunan serta pengalamannya sebagai menteri dan pengguna jasa Bank Dunia. “Saya anggap itu perkenalan saja, tapi akhirnya berlanjut,” ucapnya.

Mari kemudian menjalani proses penyaringan oleh Bank Dunia, termasuk wawancara. Malpass mengumumkan penunjukan Mari sebagai pejabat baru pada 9 Januari lalu. Ia aktif bekerja mulai 1 Maret 2020.

 

•••

MENJADI ekonom awalnya tak ada dalam daftar cita-cita Mari Elka remaja. Ia berangan-angan menjadi dokter sejak di sekolah menengah atas di Australia. Ia diterima di jurusan kedokteran Australian National University. Tapi, baru kuliah di tingkat pertama, Mari mengurungkan angannya menjadi dokter. “Saya takut darah,” ujarnya.

Mengikuti jejak ayahnya yang seorang ekonom, Mari memutar haluan ke jurusan ekonomi. Ia banyak mengambil kelas tentang pembangunan ekonomi dan jatuh cinta pada ilmu tersebut. “Ilmu ekonomi itu ternyata bisa digunakan untuk membangun suatu negara, terutama negara yang miskin dan berkembang, seperti Indonesia,” tuturnya. Ia lalu mengambil program magister di universitas yang sama, berfokus pada ekonomi makro, ekonomi mikro, perdagangan internasional, dan pembangunan ekonomi. Kemudian ia menempuh pendidikan doktoralnya di University of California, berfokus pada keuangan dan perdagangan internasional serta ekonomi moneter.

Mari menyelesaikan program doktoral saat usianya baru 30 tahun. Ketika ayahnya memintanya pulang, Mari menurut. Ia bergabung dengan Centre for Strategic and International Studies (CSIS), tempat sang ayah bekerja. Pang menjadi anggota dewan direktur di lembaga penelitian tersebut. Salah satu pendiri CSIS, Jusuf Wanandi, ingat, ketika baru datang, Mari lebih fasih berbahasa Inggris ketimbang Indonesia. Namun ia cepat menyesuaikan diri. Pendidikan di luar negeri juga membuat Mari sangat terbuka serta tak ragu menyampaikan pendapat dan kritik. “Dia berani,” kata Jusuf.

 Jusuf Wanandi/TEMPO/Nurdiansah

Kebiasaan tersebut rupanya tak terlalu diterima ketika Mari menjadi dosen di Universitas Indonesia. Para pengajar lain jengah karena diberi masukan oleh orang yang lebih muda dan dengan blakblakan.

Untungnya, Mari punya senior yang bersedia membimbingnya. Salah satunya Mohammad Sadli, yang juga lulusan University of California. Ia sering meminta Mari mengikuti seminar, mengamati cara Mari menyampaikan pendapat. Kalau merasa ada yang kurang tepat, Sadli biasanya akan menegurnya. Mari dilarang langsung mengatakan bahwa pendapat pembicara salah. “Ngomongnya harus, ‘Presentasi Bapak bagus, tapi apakah mungkin bisa dipikirkan untuk mencoba dengan metode ini atau dengan angka ini?’” kata Mari menirukan Sadli.

Mari menjadi dosen UI sampai 1999. Ia kemudian menemani suaminya, Adi Harsono, yang ditugaskan ke luar negeri. Adi bekerja di perusahaan minyak dan gas internasional, Schlumberger. Pada 2004, Mari dipanggil pulang. Presiden Yudhoyono kala itu menunjuknya memimpin Kementerian Perdagangan, kementerian baru hasil pemisahan Departemen Perindustrian dan Perdagangan. “Sejak dulu Mari dekat dengan banyak pemimpin, termasuk SBY,” ucap Jusuf Wanandi.

Salah satu tugas yang diberikan Yudhoyono adalah mendorong industri yang berwarisan budaya. Mari dan timnya mendapati industri berwarisan budaya adalah bagian dari industri kreatif. Mereka membuat banyak kajian; mempelajari industri yang sama di negara lain, seperti Inggris dan Korea Selatan; serta melakukan penelitian. “Kami menghitung potensi pendapatan yang diperoleh, membuat kerangka kebijakan, cetak birunya,” ujarnya.

Namun, kata dia, Yudhoyono merasa perkembangan industri ini terlalu lambat sehingga harus dibuatkan lembaga tersendiri, digabungkan dengan pariwisata. Maka muncullah Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif pada 2011, pada pemerintahan periode kedua Yudhoyono. Mari kembali didapuk memimpin kementerian yang baru dibentuk.

Untuk mengembangkan industri kreatif tersebut, mereka antara lain melakukan riset di bidang kuliner. Mari meminta tim yang terdiri atas asosiasi jasa boga, koki, dan perwakilan Kementerian Perindustrian, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Perdagangan, serta Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, juga dari maskapai pelat merah Garuda Indonesia, menyaring 20 makanan identik yang bisa disebut sebagai makanan Indonesia.

Tim tersebut antara lain memilih rendang Padang dan soto Lamongan. Mereka diminta membuat standar resep dan melatih koki yang bekerja di luar negeri menjajal resep tersebut, terutama di kedutaan besar Indonesia. “Supaya ada konsistensi rasa,” tuturnya.

Setelah tak menjabat menteri, Mari kembali ke CSIS dan mengajar di UI. Ia juga banyak terlibat di lembaga nasional dan internasional. Jusuf Wanandi, yang juga menjadi pembina Yayasan Prasetiya Mulya, mengajaknya mengajar di kampus itu. Jusuf dan Rektor Prasetiya Mulya Djisman Simandjuntak mempersiapkan Mari sebagai pengganti Djisman. “Semestinya diangkat Maret nanti,” ucap Jusuf.

Namun panggilan dari Bank Dunia membelokkan rencana mereka. Baik Jusuf maupun Djisman mendorong Mari berangkat ke organisasi internasional tersebut. Menurut Jusuf, ilmu yang didapat Mari di sana akan makin berguna untuk mengembangkan universitas. “Saya bilang ke dia, ‘Tiga tahun saja, ya, di sana,’” katanya.

NUR ALFIYAH, FRANSISCA CHRISTY ROSANA
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus