Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Buku tentang tatanan politik dan demokrasi baru di Indonesia karya Olle Törnquist.
Pengamatan yang mendalam soal terbangunnya tatanan demokrasi pasca-Reformasi 1998.
Menjajaki terwujudnya demokrasi sosial baru di Indonesia.
DALAM satu dekade terakhir, sejumlah negara mengalami berbagai perubahan politik. Pemimpin populis terpilih dan menjadi kepala pemerintahan. Indonesia memunculkan Joko Widodo, sementara di India ada Narendra Modi dan di Filipina hadir Rodrigo Duterte. Meski mereka sama-sama tumbuh dan mendapat dukungan berkat politik populis, sesungguhnya ketiganya berbeda. Di India, populisme Modi tumbuh dan berakar dari sebuah gerakan, sementara di Filipina Duterte menjadi populis karena ia figur orang kuat yang disokong oligarki. Bagaimana dengan Indonesia?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Melalui buku ini, Olle Törnquist membuat pengamatan yang mendalam tentang terbangunnya tatanan demokrasi pasca-Reformasi 1998 yang memaksa Presiden Soeharto lengser dari tampuk kekuasaan selama 32 tahun. Ruang politik pada saat itu menjadi terbuka, konstitusi diamendemen untuk membatasi kekuasaan, dan muncul banyak partai. Banyak aktivis masuk ke parlemen dan mencoba mengubah sistem dari dalam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namun apa yang terjadi? Semangat mewujudkan demokrasi yang tadinya menyala-nyala dalam kepala setiap orang secara perlahan luntur. Demokrasi deliberatif dan demokrasi substansial yang tadinya dibayangkan berubah menjadi model pembagian kekuasaan dan demokrasi prosedural semata. Lembaga-lembaga negara baru yang dibentuk pasca-Reformasi 1998 secara perlahan kehilangan gigi satu demi satu. Partai politik berubah menjadi oligarki, dan sebagian menjadi partai keluarga.
Olle Tornquist/Dok Twitter Todung Mulya Lubis
Memang, sempat tumbuh harapan dari berbagai gerakan yang berkembang di akar rumput, seperti gerakan petani di Batang, Jawa Tengah; sejumlah gerakan buruh; dan beragam proses politik dalam pemilihan kepala daerah 2013. Namun kini semuanya seakan-akan pupus. Anehnya, kemunduran demokrasi juga dipicu peran para politikus yang sesungguhnya terpilih secara demokratis. Indonesia mengalami regresi demokrasi yang serius sebagai dampak pelemahan lembaga-lembaga demokrasi produk Reformasi oleh kekuatan politik yang korup.
Politik populisme tak lagi berakar pada gagasan rakyat, gerakan politik menjadi dukungan massa atas dasar personifikasi dan pesona sesaat tokoh populis reformis serta populis teknokratis yang sesungguhnya miskin akan komitmen. Demokrasi direduksi menjadi sekadar pandangan partai-partai arus utama yang lebih mirip dengan demokrasi elite. Terjadi kooptasi terhadap kelompok-kelompok kritis. Di sisi lain, terjadi pelemahan terhadap organisasi masyarakat sipil akibat beragam faktor, antara lain menurunnya komitmen berbagai lembaga donor internasional.
Selain banyak membahas keadaan politik dan demokrasi di Indonesia (Bab 4, 9, 10, dan 14), buku ini mengulas perkembangan di Kerala, India; dan Filipina serta perspektif berdasarkan sejumlah pengalaman negara lain. Termasuk perubahan sikap negara kampiun demokrasi semacam Swedia yang tadinya getol mendorong terwujudnya demokrasi di negara-negara berkembang.
Bahasan utama buku ini adalah demokrasi sosial, yaitu model demokrasi yang berupaya mewujudkan pembangunan ekonomi berdasarkan keadilan sosial dan kesetaraan lingkungan dengan menggabungkan politik dan kebijakan populer yang transformatif melalui kemajuan langkah demi langkah. Tantangan demokrasi sosial berada pada upaya mengangkat dan mengembangkan kolektivitas kepentingan rakyat yang demokratis, hubungan demokratis negara dan masyarakat dengan warga negara yang setara, pemenuhan hak dan kesejahteraan sosial, serta pertumbuhan sosial dan ekonomi.
Di sejumlah negara, demokrasi sosial terwujud dalam upaya merebut dan menekankan kembali elemen dasar demokrasi yang sejati dengan menentang secara tegas semua bentuk privatisasi, ketidaksetaraan, dan pertumbuhan yang didorong pasar semata.
Menurut Törnquist, demokrasi sosial sangat dibutuhkan oleh rakyat jelata di negara-negara Selatan. Sebab, ekonomi ditumbuhkan melalui eksploitasi sumber daya yang sembrono yang menimbulkan ketidaksetaraan dan meningkatkan ancaman global serta iklim bagi masyarakat. Demokrasi sosial sebetulnya bertujuan membangun negara yang lebih baik yang disesuaikan dengan pertumbuhan yang didorong pasar global dan dikombinasikan dengan langkah-langkah antikorupsi, demokrasi, serta kesejahteraan.
Dalam perspektif demokrasi sosial, warga negara terlibat dalam setiap pengambilan keputusan atas masalah publik berdasarkan tempat tinggal ketimbang sekadar angka-angka kelahiran atau, yang lebih buruk, identitas etnis atau agama. Hunian semestinya menjadi hal yang ideal karena kelahiran, suku, dan agama cenderung menjadi unsur ketidaksetaraan dalam kehidupan bermasyarakat. Urusan publik seharusnya diputuskan dengan melibatkan warga negara secara utuh, apalagi hal ini akan menjadi urusan di luar kehidupan pribadi, agama, dan budaya. Dengan demokrasi sosial, upaya mewujudkan negara-bangsa yang modern dan demokratis dilakukan dengan model terjadinya hubungan langsung antara negara dan warga negara yang setara serta dimediasi oleh organisasi warga negara itu sendiri.
Penghitungan suara pada pemilu tahun 1999 pasca Reformasi 1998, di Jakarta, 1999/Dok TEMPO/ Bernard Chaniago
Penulis buku ini, Olle Törnquist, adalah profesor ilmu politik dan penelitian pembangunan asal Swedia yang mengajar di University of Oslo, Norwegia. Selama hampir 50 tahun ia tekun mengikuti perubahan politik dan demokrasi di Indonesia, juga di Filipina dan Kerala. Selama hampir setengah abad ia memfokuskan diri pada kebangkitan dan kemunduran demokrasi serta upaya pembangunan berbasis hak. Secara periodik dia datang ke tiga negara yang ia amati. Di Indonesia, ia ikut mensupervisi sebuah studi tentang gerakan demokrasi sepanjang 1996-2016 untuk membuat komparasi dengan negara lain.
Buku ini kaya akan detail peristiwa politik di Indonesia. Hal ini tak mengherankan karena Törnquist rajin mengumpulkan data dan turun ke lapangan. Setiap kali datang ke Indonesia, ia selalu menyempatkan diri menemui puluhan orang, dari aktivis gerakan, jurnalis, pengamat politik, pegiat lembaga swadaya masyarakat, hingga pejabat (terutama yang mantan aktivis). Dia tak hanya mengajukan pertanyaan dan meminta konfirmasi apa yang ia ketahui. Dia juga selalu mencoba meyakinkan agar gerakan masyarakat sipil selalu memperkuat barisan dan merebut saluran atau institusi demokrasi. Tak mengherankan bila ada seorang dosen yang menyebutnya provokator demokrasi yang sejati.
Buku In Search of New Social Democracy ini mungkin buku terakhir Törnquist yang bergaya retrospektif. Saya dan karya-karyanya terkait dalam dua cara. Selain dalam disertasinya yang telah diterbitkan dan diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, kaitan itu ada dalam buku yang ia terbitkan bersama (almarhum) Arief Budiman, seperti Aktor Demokrasi (ISAI, 2001), Indonesia’s Post-Soeharto Democracy Movement (NIAS Books, 2003), Making Democracy Meaningful (Demos/PCD Press/ISEAS, 2007), Democracy Building on the Sand (Demos/PCDPress/ISEAS, 2008), dan Aceh: The role of democracy for peace and reconstruction (PCD Press dan ISEAS, 2011). Juga buku referensi Politics and Development: A Critical Introduction (Sage, 1999) dan Assessing Democratisation: A Critical Handbook.
Törnquist kini menikmati masa pensiunnya dengan berlayar, bermain ski, atau berjalan kaki. Namun ia tetap kerap diganggu kegelisahannya atas perkembangan negara-negara yang sudah menjadi bagian dari urat nadinya, terutama Indonesia. Ia tetap membaca berita tentang peristiwa dan fenomena yang sedang terjadi. Dia tetap rajin mengirim surat elektronik kepada sahabat-sahabatnya dan, meski agak gaptek, selalu mencoba berkomunikasi melalui WhatsApp.
Melalui buku ini, meski demokrasi sosial yang ada telah menemui jalan buntu, Törnquist menyarankan kegagalan demokrasi sosial yang berkelanjutan dicegah dengan membangun kesepakatan internasional untuk memprioritaskan dukungan bagi organisasi masyarakat sipil, serikat pekerja, dan koalisi yang menghubungkan prioritas mereka dengan aliansi luas untuk reformasi berbasis hak asasi dan kesejahteraan.
Buku ini layak dibaca dan dipahami oleh siapa saja yang menaruh perhatian pada perkembangan demokrasi dan hak asasi di Indonesia saat ini. Juga para politikus di Senayan. Dan, tentu saja, para mantan aktivis yang dulu di zaman Orde Baru ikut menggaungkan gerakan reformasi yang kini bekerja atau menduduki pos penting di lingkaran Istana.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo