Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pameran tunggal seniman Yogyakarta, Eko Nugroho.
Menyajikan karya mural, bordir, dan patung tiga dimensi.
Sarat dengan narasi kritis.
SOSOK dengan kepala seperti tali tambang besar berwarna kuning itu berjongkok sambil memegang sambungan tas ransel ungu. Matanya mengintip. Kepala tali itu seperti menggambarkan pikiran ruwet. Eko Nugroho memberi judul patung fiberglass-nya itu Reconstruction Dream (2023).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di seberang patung ini, terdapat patung berbadan pendek gempal mengenakan setelan kemeja putih dan celana panjang hitam. Kepalanya memakai topeng sekaligus mahkota yang bagian sampingnya mekar, mirip seekor hewan reptil yang terancam. Tangan kirinya berujung seperti capit, sementara tangan kanannya memanjang, mewujud dalam tentakel kuning yang bengkak di ujungnya. Pada lehernya tergantung kartu nama bertulisan "Modern Slavery". Eko memberi judul karyanya tersebut Ala Carte Modern Slavery (2023).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dua karya ini terpasang di ruang Orange di Galeri ROH, Menteng, Jakarta. Kali ini, perupa Yogyakarta itu mengusung isu perburuhan dan perbudakan. Meski sebenarnya isu perbudakan merupakan masalah sejak beribu tahun lalu, Eko melihat kini hubungan perburuhan sering timpang dalam relasi kuasa dan ujung terburuknya adalah perbudakan. Lihatlah patung-patung lain yang membincangkan topik seputar relasi kuasa yang dialami pekerja. Misalnya Everyone Building Hope.
Eko menciptakan karya baru ini untuk pameran tunggalnya yang berjudul “Cut the Mountain and Let It Fly”. Pameran ini berlangsung selama 15 Juli-13 Agustus 2023. Judul ini merujuk pada mural besar karya Eko dalam 10th Biennale de Lyon: The Spectacle of the Everyday. Sebuah karya yang menggambarkan lanskap gunung yang dibelah menjadi dua dalam konteks lokal yang dapat dimaknai sebagai kritik jenaka. Seperti celoteh kritik sosial.
Dalam pameran kali ini, Eko menggoreskan kuas pada dinding berukuran 6 x 13 meter, hampir seluas lapangan bulu tangkis. Mural monokrom yang sangat sarat motif khas Eko dengan sepasang mata mengawasi, bersembunyi di antara dedaunan, pepohonan, atau seperti gundukan-gundukan batu. Karya ini menjadi karya utamanya.
Ia memberi judul mural besar ini Cut the Mountain and Let It Fly. Di ujung kanan atas mural itu, ada seperti narasi sosok-sosok jahat. Lihatlah sosok gundukan menjulang setinggi gunung dan bertangan yang bergulat dengan sosok lain yang bercapit. Karya yang digarap Eko dengan dibantu artisannya ini rampung hanya dalam waktu sekitar empat hari. Setelah mural selesai, Eko memberi sentuhan akhir seperti wujud gelembung-gelembung.
Ala Carte Modern Slavery dan Cut the Mountain and Let It Fly karya Eko Nugroho di ROH Project, Jakarta. Dok. ROH Project
Dalam mural itu, Eko juga memajang beberapa karya bordir dengan warna serupa, monokrom. Karya-karya itu dipasang di kawat atau tongkat panjang dan diberi judul sangat menyentil. Lihat saja karya bordir yang rata-rata berdiameter lebih dari 1 meter ini, seperti karya lawas I Try to Lick My Own God (2013), I Try to Tell You, I was a God (2013), dan And My Brain Believe in My Money (2013). Karya ini dibuat hampir satu dasawarsa lalu, tapi pas dipasang bersama mural yang baru dibuat. Ada pula bordiran buatan lima tahun lalu yang berjudul We are The Fashion yang berukuran 5,4 x 2,3 meter dan Cave full of Revolution yang berukuran lebih dari 2,6 x 1,5 meter.
Tapi yang paling menjadi titik pusat perhatian pengunjung yang kebanyakan anak-anak muda adalah sesosok bulat berkaki empat seperti tentakel di tengah ruangan. Eko memasang banyak mata dilindungi tabung kapsul berwarna merah muda pada karya yang seperti alien itu. Makhluk kuning itu tampak memiliki pangkal kaki yang berkarat, sebuah ilusi buatan Eko yang menyemprotkan cat pada fiberglass tersebut. Yang menggelitik, kritis, adalah sindiran pedas dari narasi yang disematkan pada tubuh makhluk itu, seperti "World Peace? When?" dan "New World with Ancient Mind". Dengan cerdas Eko memperlihatkan narasi itu ketika perang atau konflik terus berkecamuk di berbagai belahan dunia dan peradaban sudah modern dengan teknologi tinggi tapi laku dan pemikiran manusianya jauh seperti laku manusia purba.
Beberapa lukisan Eko Nugroho juga dipasang. Karya Self-Foresting (2023) yang berwarna dominan hijau menampilkan sosok berkepala bulat dengan tonjolan meruncing. Eko piawai mencampur cat akrilik, menjadikan warna di kanvas seperti warna yang memudar dimakan waktu. Ada juga karya bordir berwarna merah-biru menggambarkan dua sosok yang saling bersanding berjudul Tak Ada Mati (2018). Karya ini menjadi ilustrasi sampul buku novel Eka Kurniawan yang berjudul Cinta Tak Ada Mati.
Half Hero Half Stone karya Eko Nugroho di ROH Project, Jakarta, 9 Agustus 2023. Tempo/M Taufan Rengganis
Di ruangan lain, Eko menyebar 12 karya seri Half Hero Half Stone yang dibuat dari bahan campuran fiberglass, semen, pasir, gravel, besi, dan plywood, masing-masing berbentuk patung dengan dudukan setinggi hampir setengah meter. Badan dan kepala mereka dicat warna cerah dan mencolok. Setiap patung menggambarkan makna kesetaraan, toleransi, keadilan, kesejahteraan, ketuhanan, keberagaman, demokrasi, perdamaian, pengorbanan, kemanusiaan, kebudayaan, dan lain-lain. Menariknya, pada bidang dinding yang tidak berhias kolase bordir, Eko memasang sepuluh pasang mata yang tertanam di dinding, seperti sedang mengawasi karya-karya di depannya. Eko memberinya judul The Views, semacam sindiran terhadap nilai-nilai universal itu.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Tentakel-tentakel dan Kritik Dunia Perburuhan"