Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

teroka

Penapak Koridor Tengah

Sarwono Kusumaatmadja wafat. Politikus tiga zaman ini dikenal jujur, jernih, sederhana, dan cekatan meniti buih.

28 Mei 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BERITA dari Malaysia pada Jumat, 26 Mei lalu, itu mengagetkan banyak orang. Sarwono Kusumaatmadja meninggal di Penang dua bulan sebelum usianya genap 80 tahun. Kanker paru-paru telah merenggut penasihat Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sarwono terkenal sebagai penggagas pengawasan melekat alias waskat sebagai upaya membangun pemerintahan yang bersih. Saat menjadi Menteri Lingkungan Hidup 1993-1998, alumnus teknik sipil Institut Teknologi Bandung ini acap berseberangan dengan kepentingan industri. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seorang pensiunan eksekutif PT Freeport Indonesia bercerita pada 1990-an, ia gelisah karena laporan analisis dampak lingkungan (andal) perusahaannya tak kunjung mendapat persetujuan Menteri Lingkungan. Alih-alih mendapatkan jawaban meski mengontak pejabat di Kementerian hampir tiap hari, ia mendapat undangan menemui Sarwono di rumah dinasnya seusai jam kantor.

Sarwono memberinya surat persetujuan andal dan meminta eksekutif Freeport itu melihat tanggal penerbitan dokumen tersebut. “Keluar dua pekan lalu tapi saya tahan karena saya ingin tahu apakah Tuan Jim Bob mengontak langsung Presiden Soeharto untuk mengeluh,” katanya. Jim Bob adalah pemilik PT Freeport. “Sampaikan kepadanya saya mengapresiasi ia tak melakukannya.” Peristiwa ini membuat eksekutif Freeport tersebut menjadi pengagum berat Sarwono karena saat itu Presiden Soeharto sangat berkuasa dan dekat dengan Jim Bob.

Ketua Dewan Mahasiswa ITB yang memulai karier politiknya sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat pada 1971 itu paham akan seluk-beluk kekuasaan di Indonesia. Sarwono terkenal sebagai politikus “koridor tengah”: bersuara kritis tapi kariernya mulus di masa otoriter Orde Baru.

Sebelum Soeharto membredel Tempo, Sarwono kerap menyatakan bahwa ia dan Tempo punya kesamaan dalam hal “tolerable dissent”, istilah bahasa Inggris yang sulit dicari padanan bahasa Indonesia-nya. Bahasa Inggris memang menjadi bahasa kedua bagi Sarwono yang pernah tinggal beberapa tahun di sebuah asrama di Inggris karena disekolahkan pamannya, duta besar di Yugoslavia.

Sikap kritis dan egaliter yang terasah di Inggris membuat Sarwono meneruskan pendidikan sekolah menengah atas di Kolese Kanisius, Jakarta, setelah kembali ke Indonesia. Dr Sudarsono, pamannya yang menjadi duta besar di Yugoslavia, sudah selesai bertugas.

Lulus sekolah menengah atas, Sarwono masuk ITB dan aktif sebagai anggota Perhimpunan Mahasiswa Bandung. Ketika suasana politik terbelah antara kelompok pro dan antikomunis, Sarwono memilih berpihak pada kelompok kedua. Guru politiknya adalah Rahman Tolleng, aktivis dari “kelompok Tamblong” yang bergerak secara klandestin.

Rahman Tolleng pula yang membujuk Sarwono agar ikut maju sebagai calon anggota DPR dari Golkar menjelang Pemilihan Umum 1971. Rahman mengatakan sudah saatnya para aktivis “berjuang dari dalam”. Komando Daerah Militer Siliwangi waktu itu mengancam akan menangkap para aktivis dengan tuduhan terlibat kerusuhan antara mahasiswa dan polisi yang menewaskan Rene Conrad, mahasiswa ITB.

“Berjuang dari dalam” ternyata cocok dengan bakat Sarwono. “Ia cerdas dalam menemukan solusi jika menghadapi konflik,” ucap Rahmat Witoelar, yang menjadi bos Sarwono sebagai Ketua Dewan Mahasiswa ITB. Solusi Sarwono antara lain mendorong demokrasi di rezim otoriter Orde Baru dengan memperluas “koridor tengah” melalui Golkar. Koridor tengah itu, menurut Sarwono, adalah medan perjuangan membangun demokrasi tanpa meruntuhkan Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila.

Ujian awal koridor tengah muncul pada 1977. Sebagai Ketua Fraksi Golkar di DPR, ia mengajukan “hak bertanya” kepada pemerintah atas temuan uang US$ 100 juta di Bank Sumitomo. Uang itu diduga hasil korupsi Ahmad Tahir, anggota direksi Pertamina. Banyak yang menduga Sarwono bakal di-recall karena mempermalukan penguasa.  

Dugaan itu keliru karena Sarwono memastikan penguasa memahami pemakaian hak bertanya. Dia meyakinkan para pejabat Orde Baru bahwa apa yang ia lakukan masih di koridor tengah. Bahkan ia mengatakan pemakaian hak bertanya akan makin mempopulerkan Golkar. 

Ujian kedua dihadapi dua tahun kemudian, ketika Sarwono mengajak Fraksi Karya Pembangunan—nama resmi Golkar di DPR—menerima aduan warga Desa Angsana, Pandeglang, Banten. Masyarakat melaporkan pencaplokan tanah oleh penguasa lokal, termasuk militer.  

Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) mengambil alih kasus ini dan memerintahkan militer dan sipil daerah mengambil tindakan, termasuk kepada kepala desa dan ketua dewan perwakilan rakyat daerah. Peristiwa ini membuat Sarwono makin populer tapi sekaligus menyebabkan namanya dicoret dari daftar calon anggota legislatif Jawa Barat. 

Golkar DKI Jakarta memasukkan nama Sarwono ke daftar calon anggota legislatif pada Pemilu 1982. Kenaikan jumlah suara Golkar di Jakarta membuatnya terpilih kembali menjadi anggota DPR. Lolos dari kemarahan pengurus Golkar Jawa Barat, Sarwono tak lantas menyempitkan gerakan koridor tengah. Ia malah memperluasnya dengan mengkritik kebijakan penembakan misterius secara terbuka hingga dipanggil Jenderal Benny Moerdani. 

Baru setahun menjadi Sekretaris Jenderal Golkar, ia menulis surat kepada Jaksa Agung memohon agar Jenderal H.R. Dharsono yang baru ditangkap Kopkamtib dikenai sanksi tahanan rumah mengingat jasa-jasa Kepala Staf Kodam Siliwangi itu tak sedikit.

Ketika menjadi Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara pada 1988, Sarwono menolak masuk lingkaran dalam Presiden Soeharto karena tak mau setia kepada penguasa Orde Baru itu. Bagi Sarwono, menjadi orang kepercayaan Soeharto akan membuyarkan gerakan koridor tengah yang susah payah ia bangun. 

Kemampuan Sarwono meniti buih koridor tengah melalui penjelasan yang meyakinkan kepada para atasannya membuat Soeharto mengangkatnya menjadi Menteri Lingkungan Hidup. Tapi nama Sarwono tak muncul lagi dalam kabinet terakhir Soeharto hingga ia lengser pada Mei 1998.

Sikap kritisnya terhadap Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia membuat namanya juga tak muncul dalam kabinet B.J. Habibie, penerus Soeharto. Namun keadaan itu membuatnya terlepas dari citra orang Orde Baru. Presiden Abdurrahman Wahid, setelah Habibie tak lagi menjadi presiden, mengangkatnya sebagai Menteri Eksplorasi Laut pada 1999. Konflik Presiden Abdurrahman dengan Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri yang berakhir dengan pemakzulan Presiden membuat Sarwono turut terlempar.

Setelah pensiun dari politik praktis, ia maju sebagai calon anggota Dewan Perwakilan Daerah dari DKI Jakarta dan menang pada 2004. Kendati meraup jutaan suara warga DKI, ia gagal menjadi calon Gubernur Jakarta pada 2007 dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan karena penolakannya terhadap politik uang.

Sarwono menuntaskan jabatan di DPD pada 2009 dan pensiun dari kegiatan politik formal. Ia lebih banyak aktif dalam berbagai kegiatan masyarakat sipil. Ia giat mengadvokasi pemerintahan bersih, pelestarian lingkungan, dan pemberdayaan masyarakat kecil. 

Di era Presiden Joko Widodo, Menteri Lingkungan Hidup Siti Nurbaya mendapuknya sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Adipura serta Ketua Panitia Seleksi Pejabat Tinggi Madya dan Pratama. Dalam keasyikan menjalankan tugas ketua panitia ini, Sarwono merasakan kelelahan berlebih. Putra-putrinya lalu membawanya ke Penang untuk menjalani pemeriksaan. Perokok berat itu divonis menderita kanker paru-paru.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus