Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

teroka

Asmudjo Jono Irianto dan Refleksi Tubuh Antroposen

Pameran tunggal Asmudjo Irianto di Selasar Sunaryo, Bandung. Refleksi zaman antroposen.

14 Juli 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PATUNG-PATUNG telanjang berkepala gundul dengan tubuh tegak seukuran orang dewasa ditempatkan berpencar. Mereka dibuat serupa dari kepala sampai kaki, lebih banyak yang dipajang berdiri ketimbang merebah. Namun kesan monoton dari bentuk belasan patung itu luruh oleh variasi gestur tangan, warna tubuh, dan elemen lain yang melekat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sesosok patung berwarna terakota, misalnya, yang wajahnya bertopeng emas. Berdiri sambil melipat kedua tangannya atau bersedekap, dari kepalanya terpancar sepasang api seperti tanduk. Sebuah tabung alat pemadam api ringan bersanding di sisinya. Sedangkan patung lain yang berwarna kehitaman berdiri tegak di atas lingkaran kolam kecil. Dari keran air berwarna keemasan yang menancap pada pipi, dada, perut, dan paha, keluar cairan berwarna ungu dan berbuih.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pada patung lain, potongan besi terali menancap seperti duri di sekujur tubuhnya. Adapun dalam karya Growing Down, tangan kanan si patung memegang ranting kayu yang seakan-akan tumbuh ke bawah. Selain itu, ada beberapa patung yang bersinar. Salah satunya patung dengan kepala diterangi sepasang lampu bohlam berjudul Elastic Lamp Bearing Sentinel. Ada pula patung berjudul Radiant Desolation dan The Beauty Growing to The Earth Core yang pada kepala dan sekujur tubuhnya ditancapkan tabung lampu neon.

Sebuah karya yang turut mencuri perhatian adalah Super Duper Happy Couple. Patung setinggi 3,4 meter ini terdiri atas dua sosok kontras yang ditumpuk vertikal. Patung di bawah dipulas warna logam keemasan yang berkarat sebagian. Kepalanya menempel dengan patung bertubuh hitam dari olesan material aspal. Pose akrobatiknya memunculkan kecemasan akan ambruk atau patah di bagian kepala.

Di Bale Tonggoh, Selasar Sunaryo Art Space, Bandung, seniman yang juga kurator seni rupa, Asmudjo Jono Irianto, tengah menggelar pameran tunggal karyanya tersebut selama 5 Juli-18 Agustus 2024. Agak lain dibanding biasanya, ekshibisi kali ini, yang berjudul “Tubuh Antroposen”, menjadi bagian dari pengerjaan tugas disertasi S-3 di tempatnya mengajar, yaitu Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung. 

Karya yang Asmudjo usulkan untuk meraih gelar doktor pada 2020 itu berbicara tentang kehidupan manusia sekarang di era Antroposen. Istilah dari periode geologi itu menandai aktivitas manusia yang berpengaruh pada ekosistem bumi. “Seni rupa kontemporer sebagai refleksi kritis pada kondisi manusia dan dunia. Temanya tidak ada yang lebih penting daripada Antroposen,” kata Asmudjo dalam acara pembukaan pameran, Jumat, 5 Juli 2024.

Semua patung dan gambarnya bersosok lelaki telanjang dengan alat kelamin disamarkan. Lewat karyanya itu, Asmudjo ikut mengkritik sistem patriarki yang dinilai dominan merusak dunia. Kali ini dia tidak menggarap sosoknya sendiri yang biasanya menjadi model karya patung atau gambarnya, melainkan figur generik. “Sekarang bisa siapa pun, lebih luas ke tubuh organisasi, negara, dunia. Itu relasinya dari karya ini,” ujarnya.

Patung instalasi “Tubuh Antroposen” menjadi metafora kerusakan dari bermacam relasi tubuh manusia dengan alam, lingkungan, material, juga tubuh orang lain. Dalam kajian studi dan pengerjaan tugas sebagai mahasiswa di usianya sekarang yang sudah 61 tahun, Asmudjo dikawal tiga pembimbing, yaitu Acep Iwan Saidi, Tisna Sanjaya, dan Premana Premadi, guru besar astronomi dari ITB. Alasannya adalah tema karyanya masuk ke wilayah sains dan teknologi selain berkubang di kolam seni.

Karya patungnya yang tidak dibakar seperti keramik menggunakan bahan bubuk terakota dengan campuran polimer yang kemudian dicetak. Asmudjo memerlukan waktu enam bulan untuk membuat 25 dari 32 karya patung dan lukisan yang direncanakan. Hingga saat pembukaan pameran yang molor satu jam karena karya belum siap terpasang sepenuhnya di ruangan, beberapa patung tidak berfungsi sebagaimana mestinya, seperti neon box dan pompa-pompa yang belum beroperasi. Pemilik galeri, Sunaryo, memaklumi masalah itu. “Enggak usah minta maaf, kita sudah tahu dari dulu,” tuturnya, disambut gelak tawa hadirin.

Untuk disertasinya itu, Asmudjo membagi karyanya menjadi tiga kelompok. Yang pertama adalah otonom atau buatan sendiri yang sebagian besar mengisi ruang galeri. Kemudian kolaboratif yang dibuat dengan kerja sama pihak lain, misalnya karya patung yang ditumbuhi jamur. Yang terakhir adalah kolektif yang direncanakan melibatkan pengumpul limbah plastik di Cigondewah, Bandung. Plastik yang terkumpul dibuat menjadi semacam benang lalu ditenun. 

Elastic Lamp Bearing Sentinel karya Asmudjo Jono Irianto dalam pameran Tubuh Antroposen:Sebuah Proposisi di Selasar Sunaryo Art Space, Bandung, Jawa Barat, 5 Juli 2024. Tempo/Prima mulia

Kebaruan lain yang ditampilkan dalam pameran ini adalah gambar sosok patung cetakan digital dan lukisan pemandangan indah bergaya Mooi Indie pada lembaran seng berkarat. Beberapa karya yang masih dikerjakan untuk ditambahkan di ruang galeri. Salah satunya patung lilin dengan banyak sumbu untuk dibakar sebagian hingga rusak. “Eksploitasi energi itu yang berpengaruh ke alam, merusak manusia juga pada akhirnya. Itu tema pokok Antroposen,” kata Asmudjo.  

Jika sikap hidup manusia tidak berubah, diprediksi mungkin sebentar lagi bumi tidak bisa lagi dihuni. Meskipun isunya serius, Antroposen belum cukup populer di Indonesia. Asmudjo pun mengaku agak skeptis kekaryaannya ini bisa memicu perubahan. Mungkin karya-karya ini juga sulit memicu kerja sama antara seniman, saintis, dan insinyur. “Alasannya, karya-karya seperti ini tidak akan teramplifikasi dengan cukup baik,” ucapnya.

Kurator pameran, Acep Iwan Saidi, mengatakan Asmudjo berusaha mengeluarkan tubuh dari wujud alaminya. Berbeda dengan narasi mitologis Dewi Sri yang dari jasadnya bisa tumbuh tanaman, tubuh manusia Antroposen turut rusak akibat kerusakan yang dibuatnya pada alam dan lingkungan. “Saya sebut ini sebagai proposisi di dalam karya seni, satu pernyataan yang masih bisa diuji dan diperdebatkan atau diperbincangkan tentang relasi alam dan manusia,” ujarnya.

Mewakili tim pembimbing, Acep berharap proyek karya dalam pameran “Tubuh Antroposen” ini menghasilkan dua hal. Yang pertama, Antroposen diterjemahkan dalam karya seni rupa dan melahirkan semacam estetika Antroposen. Kemudian karya dalam pameran ini bisa memicu pengembangan studi tentang ekologi seni.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
ANWAR SISWADI
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus