Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pameran sekitar 20 gambar karya Indarto Agung Sukmono di Ruang Garasi, Gandaria, Jakarta Selatan, dengan detail yang dibuat secara telaten.
Menghadirkan obyek serealistis mungkin dalam kenyataan sehari-hari. Gambar-gambar itu terlihat wajar, terbayangkan bahwa yang digambar memang kenyataan.
SEORANG laki-laki berjalan di jalan conblock, agak membungkuk, bertopi, dan berjaket kelam. Di kanan dan kiri jalan, ranting dan dedaunan yang beragam begitu rapat. Di depan, cahaya terang. Gambar bermedia bolpoin di kertas ini mudah mengecoh kita sebagai foto. Capaian bentuk realistis daun-daun dan ranting, termasuk daun kelapa, jalan conblock, dan sosok lelaki, memang mengesankan foto. Dengan pengamatan lebih dekat, barulah kentara bahwa karya berjudul Menuju Cahaya itu bukan foto. Detail pada gambar berukuran 21 x 29,7 sentimeter yang dibuat dengan telaten, garis demi garis, ini konon dikerjakan dalam sebulan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pameran sekitar 20 gambar karya Indarto Agung Sukmono di Ruang Garasi, Gandaria, Jakarta Selatan, dari sisi gambar dengan detail yang dibuat telaten ini bukan satu-satunya di dunia seni rupa kita. Karya-karya Agus Suwage, Dede Eri Supria, Sutjipto Adi, Mangu Putra, dan Chusin Setiadikara, antara lain, menyajikan bentuk-bentuk realistis seperti yang kita lihat sehari-hari. Namun karya-karya rupa ini tak membuat penonton menduga karya mereka adalah karya foto. Agus Suwage dan kawan-kawan menghadirkan bentuk realistis figur atau benda atau apa pun sebagai bentuk yang hadir atas nama, mungkin metafora, simbol, atau suatu dunia rekaan hasil perpaduan bentuk-bentuk sehari-hari tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Indarto, alumnus seni murni Institut Seni Indonesia Yogyakarta, menghadirkan obyek serealistis mungkin dalam kenyataan sehari-hari. Gambar-gambar itu terlihat wajar. Terbayangkan bahwa yang digambar memang kenyataan. Kemiripan dengan foto tampak karena goresan bolpoinnya bukan goresan ekspresif. Goresan itu satu-satu dikerjakan dengan setia sesuai dengan yang dilihatnya. Apa yang dilihat Indarto? Karya foto jepretan sendiri.
Gambar-gambar Indarto memang hasil alih wahana dari foto ke media kertas dan bolpoin, beberapa dengan arang atau charcoal, atau media lain. Gambar-gambar itu, bertahun antara 2009 dan 2016, memamerkan suatu keterampilan menggambar sesuai dengan yang tampak pada foto. Garis-garis itu membentuk karakter setiap obyek: daun sebagai daun, baju sebagai baju, kayu sebagai kayu, dan seterusnya. Inilah tampaknya penyebab pengunjung terkecoh, mengira gambar sebagai foto.
Selain Menuju Cahaya (2013), ada Ziarah Sunan Kudus (2010) yang menunjukkan tingkat keterampilan Indarto. Sejumlah orang berdoa di makam Sunan Kudus, difoto dari belakang. Sebagai fokus, lelaki berbaju batik dan berkopiah, duduk paling belakang. Detail gambar ini meyakinkan: dari lantai keramik, genting-genting atap yang tampak dari bawah, hingga tiang kayu penyangga. Satu “kontras” disajikan di samping lelaki yang duduk. Kekontrasan antara ornamen pada baju batik, ornamen yang jelas perbedaan warna gelap-terangnya, dan botol plastik di samping yang bening plastiknya serta bayangan di lantai begitu nyata.
Ziarah Sunan Kudus, 2010. Bambang Budjono
“Kontras” dan fokus pada gambar sudah tentu mengikuti foto yang dialihwahanakan. Dua hal itu bukan terciptakan dalam proses menggambar, melainkan ketika Indarto memotret. Satu gambar lain, Penghormatan (2009), adalah rekaman sudut atas sebuah bangunan, mungkin masjid atau langgar. Kayu penyangga atap yang keropos di sana-sini, dengan urat kayu yang tampak jelas, “kontras” dengan buku yang tebal dan beberapa tumpukan tipis kertas. Mungkin “kontras” dan fokus ini suatu kebetulan. Entah disadari entah tidak oleh Indarto tatkala memotret obyek-obyek tersebut, dua hal itu menurut saya merupakan penambah nilai pada karya. Karya-karya yang lain, tanpa kedua hal tersebut, tersaji kurang kuat.
Namun bukan berarti gambar tanpa “kontras” dan fokus yang kuat boleh diabaikan. Ada sesuatu yang lain hadir dan menjadikan karya tersebut punya daya tarik. Kulah (2009), misalnya, adalah rekaman bangunan yang semestinya dulu punya fungsi. Dengan tembok yang terkelupas semennya, genting yang rontok, dan pagar tembok tinggi yang tampaknya menerabas, Kulah merupakan komposisi dramatis. Juga Riwayatmu Kini (2011), rel kereta api yang menyeberang di atas sungai yang sepertinya tak lagi berfungsi; besi kerangka jembatan terlihat masih kukuh, tapi bantalan kayu pada rel berantakan; tanaman liar menghiasi sekitarnya. Dramatis.
Karya-karya lain memiliki keunikan masing-masing. Di antaranya gambar dua pohon besar mengapit sebuah rumah yang terkesan antara menjaga dan mengancam. Gadis dan Mesin (2013) bersuasana kantor modern dengan seorang gadis pekerja berkerudung mengoperasikan entah mesin apa. Alih wahana pada satu gambar ini menunjukkan perupanya pun menguasai keterampilan menggambar kantor dengan besi-besi. Juga gambar banjir dengan riak air yang nyata. Yang kurang dramatis adalah Pabrik Gula Merah (2012). Cerobong asap pembakaran hitam menjulang dengan asap mengepul. Hal mengesankan pada gambar pabrik gula rakyat ini adalah teknik menciptakan ruang yang luas dengan cara menggambarkan hal-hal yang jauh, pepohonan, rumah dengan goresan tipis.
Pameran Indarto Agung Sukmono di Ruang Garasi, Gandaria, Jakarta, 24 September 2024. Tempo/Jati Mahatmaji
Cara melukis atau menggambar dari foto muncul di Amerika Serikat pada akhir 1960-an. Pada 1970-an, seorang kurator menyebut cara itu sebagai fotorealisme. Isme ini dekat dengan pop art, sama-sama menciptakan bentuk dan gaya lain sebagai reaksi terhadap sedemikian populernya ekspresionisme-abstrak pada 1950-an sampai 1960-an. Ekspresionisme-abstrak menafikan gambaran kenyataan. Fotorealisme dan pop art menyemarakkan kehadiran (kembali) gambaran kenyataan tersebut dengan berbagai cara.
Akan halnya Indarto Agung Sukmono, ia tidak bereaksi terhadap apa pun. Ia hanya mengalihwahanakan foto yang merekam obyek atau peristiwa yang mengundang perhatiannya. Dengan gambar-gambarnya, ia menyatakan keterampilan menggambar itu perlu, menyenangkan, dan akrab. Keterampilan yang mengundang respons “wow” penonton pamerannya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Gambar-gambar yang 'Wow'"