Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BUNG Karno meminta satu kalimat dalam pengantar katalog pameran tunggal Kartono Yudhokusumo dihapus. Sudjojono, penulis pengantar, menolak. Kalimat itu menyatakan bakat melukis Kartono sama besar dengan bakat Basoeki Abdullah. Pameran tetap berlangsung di Kantor Besar Poetera, Jakarta, Oktober 1943, satu kalimat tersebut dihapus, dan Sudjojono keluar dari Poetera—Poesat Tenaga Rakjat—organisasi kebudayaan yang dikelola Sukarno, Hatta, Ki Hadjar Dewantara, dan KH Mas Mansoer. Sudjojono kemudian menulis tentang pameran Kartono, bisa jadi untuk menguatkan penilaiannya, mengapa ia mengatakan bakat Kartono sama besar dengan bakat Basoeki.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selain menyanjung gambar-gambar yang “biasa”—sepatu sebagai sepatu, rumah sebagai rumah, dan seterusnya—Sudjojono memuji dua karya Kartono yang “meninggalkan pandangan mata orang biasa untuk mengejar jalan ciptaannya. Perspektif ditinggalkan, alam mulai diubah.…” Tulisan ini dipublikasikan di koran Pembangoen edisi 13 Oktober 1943.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sudjojono tidak mendedahkan proses karya Kartono dari yang “biasa” menjadi “tidak biasa”, dan diharapkannya bisa meningkatkan apresiasi masyarakat dari karya “bagus biasa” menjadi “bagus kesenian”, dalam lukisan naturalisme.
Pameran karya Kartono di Galeri Salihara, Jakarta Selatan, hingga 21 Januari 2024 memajang lebih dari 70 karya yang dibuat pada 1930-an hingga menjelang kecelakaan yang menyebabkan akhir hidup sang perupa, pertengahan 1957. Pada jamaknya, kita mengenal karya Kartono yang diciptakannya pada 1950-an, karya yang menggubah bentuk pepohonan, hewan, dan manusia dari bentuk alami menjadi bentuk imajinatif, yang sudah “tidak biasa”.
Setidaknya dua lukisan Kartono koleksi Galeri Nasional Indonesia telah sering dipublikasikan, yakni Melukis di Taman (1952) dan Anggrek (1956). Seperti apa karya sebelumnya tidak banyak kita ketahui. Keterbatasan ini membuat Amir Sidharta, kurator dan penulis seni rupa, bersemangat meriset karya-karya Kartono sejak lebih dari empat tahun lalu.
Anggrek karya Kartono Yudhokusumo dalam pameran lukisan Kartono Yudhokusumo di Komunitas Salihara, Jakarta, 12 Desember 2023. Tempo/Hilman Fathurrahman W
Melukis di Taman—konon judul autentik lukisan ini adalah Bandung—melukiskan suasana taman penuh pohon, dua kuda, dan sejumlah figur yang kebanyakan wanita berkebaya, hanya ada seorang wanita di sisi kanan gambar yang mengenakan blus putih dan celana pendek cokelat. Suasana karya ini berlatar biru dengan obyek-obyek didominasi merah dan cokelat.
Karya ini salah satu karya Indonesia yang diikutkan pada pameran seni rupa dua tahunan di São Paulo, Brasil, 1953. Walter Zanini, kritikus Brasil, mengomentari lukisan ini sebagai “eksotis”, mungkin karena bentuk-bentuk—manusia, kuda, dan pohon—yang terlihat hampir tanpa volume, warna-warna yang tidak alami, dan ruang yang tanpa perspektif. Ini mengingatkan pada lukisan tradisional Bali, khususnya yang melukiskan suasana sehari-hari. Bedanya, lukisan Bali hampir tidak menyisakan ruang “kosong”, bidang gambar sepenuhnya diisi obyek dan obyek dilukis dengan detail. Pada lukisan Kartono, obyek tidak dilukis dengan detail dan masih ada ruang “kosong” yang muncul dari gambaran langit atau lahan.
Saya rasa ruang “kosong” itulah yang menciptakan ruang imajiner pada karya-karyanya, dan yang membuat kurator pameran (Amir Sidharta dan Asikin Hasan) mempertanyakan, adakah dengan demikian lukisan Kartono bisa dikatakan bercorak dekoratif sebagaimana kata Kusnadi, kritikus yang membawa karya Indonesia ke São Paulo.
Hanya dekoratif atau lebih dari itu, pameran ini menunjukkan bahwa pencapaian Kartono dengan lukisan yang “imajinatif” tersebut tidaklah segera. Setidaknya Kartono memerlukan sekitar 15 tahun untuk menemukan kreativitas itu dihitung dari tahun lukisan yang, menurut Sudjojono, sudah mengabaikan perspektif dan tidak lagi mengikuti bentuk tampak mata. Ada dua lukisan yang menandakan arah perkembangan itu, yakni yang pertama menggambarkan stadion dan yang kedua berupa gambar tanah lapang (dua karya ini rupanya tak tertemukan oleh Amir).
Karya-karya pensil, tinta cina, dan pastel di kertas dari 1934 (ketika Kartono berusia 10 tahun) hingga pertengahan 1940-an memang menunjukkan kepiawaiannya menggambar. Tak sekadar mengalihkan apa yang dipandang di depannya, ia juga bisa menghadirkan suasana, bentuk obyek beserta karakternya. Lukisan cat air Batavia (1942), misalnya, tidak menghadirkan bentuk tampak mata, melainkan lebih menunjukkan suasana yang terbangun dari karakter obyek-obyek. Batang pohon berbeda dengan daun-daunnya, juga jalan yang punya karakter sendiri. Semuanya menyanyikan sepi yang indah dengan langit yang kosong. Demikian juga dengan Pohon Pepaya (1943) yang berupa lukisan cat air pada kertas. Satu hal pada Pohon Pepaya, samar-samar terasa “pengaturan” satu per satu pohon, tidak seperti pada Batavia dengan kesatuan obyek yang padu, juga pada Jemuran (1945).
Sedangkan lukisan tinta cina pada kertas, Perkakas Dapur (1940), menunjukkan kecenderungan mengatur komposisi obyek-obyek, mirip kecenderungan pelukis dekoratif yang menyusun bentuk-bentuk menjadi komposisi obyek-obyek yang serasa sendiri-sendiri.
Beberapa lukisan saya rasakan mengejar bentuk tampak mata: Kamar Tidur (1943, cat air pada kertas), Menerima Tamu (1944, pastel pada kertas), dan Kamarku (1945, cat air pada kertas). Rasa suasana dalam ketiga karya ini kurang tampil.
Sebuah karya pensil pada kertas bertahun 1943, Stelengku di Putra, saya kira satu dari yang jarang. Lukisan ini bagaikan sketsa seorang arsitek: garis-garis tegas membentuk bangunan dengan presisi yang relatif akurat. Akurasi bentuk anatomi terlihat dalam tiga lukisan cat air pada kertas, menggambarkan seorang tentara sedang berlatih menembak dalam posisi berbeda-beda.
Pengunjung melihat karya lukis dalam pameran lukisan Kartono Yudhokusumo di Komunitas Salihara, Jakarta,12 Desember 2023. Tempo/Hilman Fathurrahman W
Gambar tentara berlatih ini mengingatkan saya pada sketsa-sketsa Saseo Ono, salah seorang perupa yang mengajar di Keimin Bunka Shidōso (Pusat Kebudayaan Jepang). Dialah yang saya kira menyebarkan aktivitas menyeket langsung di hadapan obyek. Dia direkrut tentara Jepang untuk mendokumentasikan aktivitas tentara Jepang di Hindia Belanda, juga merekam suasana negeri yang diduduki. Salah seorang yang tertular penyeket langsung ini adalah Henk Ngantung. Tradisi menyeket itu kemudian diteruskan oleh sanggar-sanggar seni rupa di Yogyakarta pada awal kemerdekaan.
Jangan pula dilupakan “temuan” Amir Sidharta berupa sketsa-sketsa studi bentuk ayam dan latihan tentara. Kartono menggambar bentuk ayam dalam berbagai posisi, juga tentara yang berlatih, dalam ukuran kecil-kecil, dideretkan ke samping dan ke bawah hingga bidang gambar penuh.
Itu semua menunjukkan pencarian Kartono menyusuri “jalan penciptaan” untuk menemukan karya kreatif yang dia rindukan, yang samar-samar ia rasakan tapi tak bisa diwujudkan begitu saja tanpa “praktik”. Ia mesti menempuh jalan panjang sekitar 15 tahun sebelum menghadirkan lukisan Bandung/Melukis di Taman dan Anggrek yang telah disebutkan. Ada beberapa lagi lukisan khas Kartono dalam gaya menyusun obyek-obyek dalam bentuk imajinatif: Landscape (1955), Sanggar Seniman (1952), dan Taman (1952).
Riset Amir hanya menemukan beberapa lukisan khas Kartono yang selama ini kita ketahui, yang sudah menjadi koleksi kolektor perseorangan dan institusi kesenirupaan. Menurut cucu Kartono, Tri Rayasti Ardiatiningsih, yang banyak meminjamkan dan menunjukkan keberadaan karya kakeknya sehingga bisa dipinjam dan dipamerkan, sejumlah lukisan khas Kartono dikoleksi kolektor di luar Indonesia.
Dari pameran ini, menurut saya, ada dua lukisan cat air pada kertas bertahun 1947 yang menjadi “pintu” di ujung pengembaraan Kartono menemukan kekhasannya.
Kesenian, termasuk seni rupa, konon merupakan dunia aneka ragam dengan semangat kompetisi dan damai guna mengisi hidup, juga menjawab tanpa suara yang ditanyakan dalam salah satu lukisan Paul Gauguin: Dari Mana Kita? Siapakah Kita? Ke Mana Kita?
Tidak seeksklusif Gauguin, lukisan-lukisan Kartono, saya kira, membawakan “suara” itu.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Yang Meninggalkan Perspektif dan Mengubah Bentuk"