Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pameran dua pematung, Dolorosa Sinaga dan Budi Santoso, menggaungkan aktivisme perjuangan isu sosial-politik negeri ini.
Mengeksplorasi beragam material dalam karya untuk isu yang lantang disuarakan. Karya Dolorosa terlihat liar dan frontal, sementara karya Budi terasa subtilâberangkat dari keluarga.
TEMARAM senja turun saat pameran Dolorosa Sinaga dan Budi Santoso resmi dibuka. Pameran ini seperti ajang reuni bagi segenap hadirin: para seniman, pegiat dan korban pelanggaran hak asasi manusia, serta murid dan kolega empunya acara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Hilmar Farid serta pengajar yang juga pengamat hukum, Bivitri Susanti, menyematkan setangkai bunga sedap malam pada karya berjudul Monumen Penghilangan Paksa di Indonesia. Adapun Sumarsih—ibu Benardinus Realino Norma Irmawan atau Wawan, korban penembakan dalam peristiwa 1998—serta Ketua Komisi Nasional Perempuan Andi Yentriyani menyematkan setangkai bunga sedap malam pada karya bertajuk Monumen Tragedi Semanggi 1998.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dua karya Dolorosa ini menyambut para pengunjung pameran di pelataran Galeri Nasional Indonesia, Jakarta. Satu lagi karya yang sangat menggugah adalah Monumen Pembantaian Massal Indonesia 1965-1966. Karya ini berbentuk sesosok tubuh yang bertumpu pada lutut menelungkup di atas peti pada sebuah buku besar tebal berpedestal. Di balik lapisan buku itu, di bagian belakang terdapat sebentuk peti dengan sosok-sosok lain yang terbujur di dalamnya. Tiga monumen dalam ukuran yang cukup besar dan “lantang” menyuarakan pesan dari karya itu: kasus politik yang tak tertuntaskan di negeri ini.
Dua patung lain tak jauh dari karya Dolorosa, ada karya Budi Santoso. Bentuknya tiga sosok yang berdiri mendongak dan patung seseorang yang duduk seperti di jendela yang terbuka dengan sebuah lampu penerang. Dua karya ini berjudul Berdialog dengan Tuhan dan Historical Moment. Karya Budi ini terasa lebih personal. Dolorosa dan Budi semula adalah guru dan murid. Keduanya menjadi partner dalam berkarya sejak 24 tahun lalu. Mereka kali ini berpameran bersama dalam tajuk “Patung dan Aktivisme Dolorosa Sinaga & Budi Santoso” selama 19 Juli-19 Agustus 2024.
Memasuki Gedung A, karya Budi berwujud lonceng berbentuk perempuan seperti menari balet langsung membetot perhatian. Karya lawas Dolorosa pada 1990-an berbahan perunggu dan serat kaca seperti menyambut pengunjung di bagian kiri-kanan ruangan utama, disambung dengan patung-patung buatan Budi pada 2000-an dengan material batu, serat kaca, dan aluminium. Karya kedua seniman ini terasa sangat vokal. Semangat aktivisme mereka sungguh terasa.
Lives Matter: The Shrine karya Dolorosa Sinaga dalam pameran bertajuk Patung dan Aktivisme Dolorosa Sinaga & Budi Santoso di Galeri Nasional, Jakarta, 22 Juli 2024. Tempo/Jati Mahatmaji
Karya Dolorosa, dengan eksplorasi beragam material, memenuhi ruang tengah. Sosok-sosok dari serat kaca atau aluminium foil dalam karya bertema ibu dan anak, keibuan, bertebaran. Yang terbaru adalah 80 karya berbeda dimensi dari aluminium foil dan resin yang terlihat dalam posisi menggendong, ditempatkan bertingkat, berjudul Lives Matter: The Shrine. Karya yang menyuarakan penghargaan terhadap kehidupan. “Saya terinspirasi persoalan kemanusiaan di Gaza. Itu energi, doa, dan harapan saya. Saya bisikkan dengan lantang ke Netanyahu berhenti membunuh perempuan dan anak demi kehidupan dan peradaban,” ujar Dolorosa kepada Tempo pada Kamis, 25 Juli 2024.
Karya terbaru Dolorosa, Mengapa Kau Culik Anak Kami, berbahan lempengan besi bekas dan kawat setinggi hampir 2,5 meter. Dolorosa membuat kembali karya ini dalam ukuran yang jauh lebih besar dari ukuran semula yang dibuat dengan pemodelan tanah liat (10 x 6 x 45 sentimeter). Patung itu menggambarkan seorang ibu yang merengkuh anaknya di dadanya. Lewat karya ini, Dolorosa menyuarakan tuntutan para ibu yang anaknya menjadi korban penculikan pada 1996-1997. Jenderal yang bertanggung jawab atas penculikan itu kini terpilih sebagai presiden. Lilitan kawat pada anak, potongan lempengan besi, serta lubang dan las pada besi menebalkan kekerasan lebih frontal dan “teriakan” lebih kencang.
Di bagian sayap kanan, kurator pameran, Alexander Supartono, menempatkan karya Budi Santoso yang menyuarakan situasi kekinian. Budi gelisah akan teknologi yang menyita ruang komunikasi dan keluarga. Sesosok gadis remaja yang berpostur tinggi kurus kerempeng berada di bawah lampu melengkung. Potret generasi Z tergambarkan dalam karya itu. Suatu sosok terhubung dengan pengisi daya dan sesosok gadis memegang buku dengan telinga yang tersumpal kabel gawai. Dari raut wajah mereka, tampak keduanya sangat menikmati dunia mereka.
Budi menyandingkannya dengan dua karya lain yang merupakan seri Kartini: Kartini yang berkebaya dan berambut terurai, Kartini muda yang membopong tumpukan buku-buku Belanda, serta Kartini yang tekun membaca buku dengan api gagasan di kepalanya. Menurut Alex, ada beberapa karya Budi bertema perempuan atau ibu yang heroik pada 2000-an. Dalam karya seri Kartini, guratannya lebih halus dan hampir hilang. Karya Budi ini lebih ekspresif dari wajah, pandangan mata yang sayu, dan senyuman yang dihadirkan. Ada juga kekokohan yang muncul. “Budi menemukan bentuk baru perlawanannya,” ucapnya.
Karya Budi yang lain dari batu marmer juga terasa lebih subtil mengantar ke karya yang feminin bertema perempuan, ibu, ibu dan anak, serta keluarga. Ia menatah batu sekadarnya hingga mendapatkan bentuk yang diinginkan. Tapi yang paling menyita perhatian pengunjung adalah deretan patung telanjang yang masing-masing berdiri pada gagang sabit, badik, dan parang. Bukan hanya sosok patung laki-laki, ada pula figur anak-anak, orang tua, perempuan, bahkan perempuan yang tengah hamil dalam karya berjudul Anatomi Kerja itu.
Kartini Muda (kiri) dan Aku Kartini karya Budi Santoso dalam pameran bertajuk Patung dan Aktivisme Dolorosa Sinaga & Budi Santoso, Galeri Nasional, Jakarta. Dok. Galeri Nasional
Budi mendasarkan karya tiga dimensi ini pada karya fotografi, 40 foto triptych telanjang buruh perkebunan karet dan keluarga mereka di Sumatera Selatan pada 1880-an. Saat itu dokter Jerman, Bernard Hagen, membuat foto-foto ini untuk mempelajari penyakit kulit yang tengah menyebar di kalangan buruh. Setiap buruh difoto tampak depan, samping, dan belakang serta disusun berjajar dengan data nama, suku, dan asal masing-masing.
Foto ini dikenal sebagai foto antropometris yang menyediakan data informasi anatomis untuk pengkategorian secara rasial. Foto antropometris ini dikatakan paling komprehensif dari Indonesia di masa kolonial. Budi meneruskan karya ini dengan membentuknya menjadi tiga dimensi, menebalkan suara buruh dengan tubuh dan alat kerja mereka di perkebunan: sabit, badik, dan parang. Lewat karya itu, Budi juga ingin menyuarakan isu perburuhan kini. Ia mempertanggungjawabkan karyanya secara etis dengan karya tiga dimensi secara detail. Karya Budi lain berupa gunting-gunting bekas yang dibentuk menjadi seperti hewan-hewan.
Alex menjelaskan, kerja sama Dolorosa Sinaga dengan Budi Santoso yang cukup lama memudahkan keduanya beradaptasi dan saling mengadopsi. Mereka juga menyetarakan ego masing-masing dan saling melengkapi. Budi, dia menambahkan, memotivasi Dolorosa dengan eksplorasi material. Alex melihat keduanya telah berkecimpung dalam dunia aktivisme yang keras, menyuarakan situasi politik negeri ini. Tapi aktivisme keduanya makin memperlihatkan jalan masing-masing. “Makin lama Dolorosa dengan karyanya makin luas, imajinatif, liar, dan frontal. Sedangkan Budi makin subtil dan inklusif,” tutur Alex. Baik karya Dolorosa maupun Budi adalah karya-karya yang reflektif dan resonansif. Dalam pameran ini, pengunjung bisa merasakan pengalaman indrawi dari beragam material—kekuatan, kelenturan, juga pesan keberpihakan yang kuat kepada mereka yang tergusur dan tertindas, para pencari keadilan.
Putih Merah karya Budi Santoso.
Dolorosa dan Budi saling mengagumi sebagai pribadi pekerja keras, sama-sama tergila-gila pada tanah liat sebagai medium berkarya. Dolorosa memuji Budi berhasil membuktikan dan mengembangkan diri dalam eksplorasi material dan gagasan serta bertanggung jawab dalam pengembangan keilmuan dan sikap etisnya. Juga upaya Budi mendidik anak melalui aktivitasnya.
Aktivisme politik dalam karya, juga tema-tema ibu dan anak Dolorosa, bukan hal yang luar biasa bagi Budi. Ia pun mengembangkan karya tentang tema ibu-anak serta perempuan dalam bahasa visual yang berbeda. Ia menampilkannya dalam karya dari zaman Kartini hingga situasi kekinian era generasi Z. “Salah satunya hasil dialog dengan anak saya,” kata Budi.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo