Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pentas tari gambuh Masutasoma yang mengisahkan ajaran “Manunggaling Kawula Gusti” tokoh Sang Sutasoma.
Cerita Sutasoma lebih dari sekadar pengetahuan: Sang Sutasoma hadir “hingga” kini sebagai panutan kaumnya secara turun-temurun.
Gambuh dikenal sebagai induk tarian Bali. Versi paling utuh konon justru berasal dari Budakeling, desa asal keluarga Dayu Ani.
JUDUL PEMENTASANNYA memanggil kenangan: Gambuh Masutasoma. Ber-Sutasoma dengan gambuh. Itulah pementasan yang digelar Ida Ayu Wayan Arya Satyani, yang lebih dikenal sebagai Dayu Ani, di Budakeling, di timur Pulau Bali, 6 April 2024—pojok timur yang selama dua jam menjadi pusat simbolis napas ke-Indonesia-an pada bangsa ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selama menonton pementasan yang merupakan ujian terakhir untuk gelar doktor Dayu Ani di Institut Seni Indonesia Denpasar ini, kita dibuat terpukau berayun-ayun di antara tiga dunia yang berbeda sekaligus bersatu dalam lantunan kata diiringi musik tradisi di hadapan kita. Pertama, dunia narasi Sri Tantular dengan pesan-pesan magisnya. Kedua, dunia tradisional nyata desa kuno Budakeling, permukiman utama kaum Brahmana beritual Buddha terbesar di Bali. Dan ketiga, dunia kekinian Indonesia, yang setiap saat ditakdirkan menggali di dalam daging daerah-daerahnya unsur-unsur pembenaran bagi konsep kebinekaan yang merupakan kekayaannya dan sekaligus sumber kerapuhannya. Takjub menontonnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dayu Ani, 47 tahun, sudah cukup lama melanglang di dunia seni tari dan kebudayaan. Tinggal di Denpasar, dia tumbuh di situ sebagai penari cilik, anak dan sekaligus murid sang maestro Oka Granoka, penafsir rumus-rumus lontar magis kaum Brahmana Buddha Bali, sang “juru” penggali jalur-jalur penyatuan antara kekinian kita dan kefanaan kosmis semesta. Pengalaman tari Dayu telah mengantarkannya hadir di puluhan acara nasional dan internasional sebagai penari cilik hingga sutradara. Akhir-akhir ini ia kerap pula menjadi rekan sutradara kondang Garin Nugroho.
Kreasi Dayu Ani berkutat di seputar kisah ajaran “Manunggaling Kawula Gusti” tokoh Sang Sutasoma, Bodhisatwa dari tradisi Buddha sebagaimana hadir dalam rangka budaya Bali. Tradisi ini diintroduksi di Bali pada masa Waturenggong, abad ke-16, era pasca-Majapahit, oleh seorang pendeta Buddha, leluhur Dayu sendiri, yang bernama Dang Hyang Astapaka. Dialah yang merintis permukiman kaum Brahmana Buddha di Desa Budakeling. Jadi, bagi Dayu Ani, sebagai Brahmana Buddha, cerita Sutasoma lebih dari sekadar pengetahuan: Sang Sutasoma hadir “hingga” kini sebagai panutan kaumnya secara turun-temurun. Dalam acara kematian sang pedanda Buddha, menjelang diaben, jenazahnya ditutup kain kajang (kafan) bergambar rajah Sang Sutasoma tengah ditelan Batara Kala, Sang Waktu, yang berarti bakal “Masutasoma kembali”. Jadi, bagi Dayu Ani, pementasan ujian doktornya menggerakkan batin diri dan kaumnya secara lintas waktu. Itulah kenapa tarian ujian skripsinya disebut Gambuh Masutasoma: gambuh ber-Sutasoma.
Baca Juga:
Gambuh dikenal sebagai induk tarian Bali. Versi paling utuh konon justru berasal dari Budakeling, desa asal keluarga Dayu Ani. Gambuh inilah yang “dipetik” olehnya, lalu direstorasi gerak aslinya dan kemudian diolah kembali untuk dijadikan pesta visual transformatif dan sekaligus sarana naratif multimakna/multiarah. Teater total. Apalagi kita diajak berjalan dari satu arena ke arena berikutnya bersamaan dengan urutan bab naratif cerita. Para tokoh yang bertutur satu sama lain, menari sambil berjalan dari satu tempat ke tempat lain, atau momen berperang itu, semua tersulap menjadi gebyar warna, tubuh menggeliat, jatuh terkapar, atau kepala mendongak dalam lantunan musik gambuh yang membuat kita, para penontonnya, hanyut dalam suasana magis lintas ruang dan waktu. Kita seolah-olah hadir sebagai saksi pengelelanaan nir-rasa sang Bodhisatwa menuju “Heningnya”.
Membuahkan suasana magis ini, yang merupakan inti keberhasilan Gambuh Masutasoma karya Dayu Ani, bukanlah hal yang dicapai dengan mudah. Dibutuhkan bantuan puluhan pihak untuk segi sakral, izin dari tetua desa dan tetua brahmana untuk segi gerak tari, koreksi gerak maestro uzur gambuh Budakeling yang diminta menggali gerak-gerak kuno (takeh) dari endapan kenangannya buat diturunkan kepada penari-penari muda—yang cenderung terpengaruh tarian “manis” pariwisata—untuk segi penuturan dan lantunan irama kata, serta semangat dan nasihat para ahli bahasa Kawi. Itu semua menghabiskan puluhan kali latihan dan gladi kotor di Sanggar Bajra Santhi, Sanglah, Denpasar.
Lalu, dari bulan ke bulan, selaras dengan kian terstrukturnya kreasi pementasan ini, dibutuhkan puluhan perjalanan bolak-balik Denpasar-Budakeling—yang sejauh 70 kilometer—bagi para penari dan tim penata untuk menyempurnakan pementasan. Semua itu berjalan di bawah bimbingan segelintir orang: Dayu Ani untuk letup-letup inspirasi keseluruhan, GusDe Homa sang suami untuk media, I Wayan Diana Putra untuk musik, dan (almarhumah) Cok Sawitri. Cok Sawitri, maestro teater sastra yang turut “mengkritik” alur dramaturgi, terlibat hingga beliau dipanggil Sang Pencipta pas dua hari menjelang pentas final pada 6 April 2024. Tanpa kolaborasi yang solid ini, tiada alunan visual yang memukau tersebut.
Namun Gambuh Masutasoma bukanlah sekadar pesta visual. Tepatnya pesta visual tersebut disaksikan bersamaan dengan pesta makna yang diulurkan adegan demi adegan dari arena ke arena. Bermula dari arena penataran gria para Brahmana Buddha di awal cerita hingga ke jalan protokol desa di penutup. Dengan demikian, kisah ajaran “pencerahan” sang Bodhisatwa Sutasoma, kunci ajaran Buddha Mahayana, dimulai dari pekarangan para Brahmana Gria Jelantik untuk kian diilhami sepanjang jalan hingga memuncak di lapangan umum Desa Budakeling. Seolah-olah, alih-alih menyimpan ajaran suci Buddha bagi kalangan mereka sendiri saja, justru kaum Brahmana Buddha wajib menyiarkannya langkah demi langkah kepada seluruh umat manusia, dari awalnya umat lokal tentu saja.
Adapun kisah Sutasoma yang mengandung siar agama itu memang sudah terkenal, tapi tafsir Dayu Ani memberikannya dimensi spiritual dan politik yang melengkapi dimensi Bhinneka Tunggal Ika Republik Indonesia kita. Untuk memahaminya, marilah kita simak dulu ringkasan cerita kakawin Empu Tantular ini (abad ke-14).
Pentas Dayu Ani berjudul Gambuh Masutasoma di Budakeling, Bali, 6 April 2024. Dok. Made Gunarta/Dwipa Bagus
Terlahir sebagai titisan “Buddha” di kalangan Kerajaan Hastina, Sang Sutasoma meninggalkan kemegahan lingkungan kelahirannya untuk berkelana mencari darma. Yang pertama kali dia lalui adalah Setra Gandamayu. Di sana dia “bertemu” dengan Durga, yang membenarkan jalan kasih sebagai pencarian spiritualnya. Dia lalu dihadang berturut-turut oleh tiga monster pemangsa manusia: satu berwajah gajah, satu bertubuh naga, dan seekor harimau betina yang ingin menyantap anaknya sendiri untuk menutupi laparnya. Tanpa ragu Sutasoma menawarkan diri menjadi santapan kepada mereka. Tapi, ketika hendak menyergapnya, mereka lumpuh, takluk di hadapan kesucian sang titisan Buddha, dan meminta diizinkan menjadi murid Sutasoma. Dia lalu melanjutkan pengelanaan spiritual diikuti ketiga murid tersebut itu. Saat itu secara bersamaan dunia dilanda berbagai peperangan. Sebab, Raja Purosada, yang kesohor sebagai pemangsa manusia, telah mengumpulkan 100 raja yang hendak diaturkan kepada Batara Kala sebagai kaul. Tapi Batara Kala menolak; dia tidak ingin memakan ke-100 raja, dia ingin memangsa Sutasoma, yang kabar tentang kebesarannya telah sampai di telinganya. Sutasoma enggan menghadapi Purosada karena ingin bertapa. Maka dia ditangkap dengan mudah. Namun, ketika dihadapkan pada Kala sang Dewa Waktu, Sutasoma hanya bersedia dijadikan santapan batara bila ke-100 raja tersebut dilepaskan. Purosada terharu mendengarkannya dan ia pun bertobat.
Baca Juga:
Pertobatan itu disambut dengan nasihat suci: “Mangka ng Jinatwa kelawan Siwatatwa tunggal. Bhinneka tunggal ika, tan ada dharma mangrwa.” Artinya: inilah ajaran Buddha dan ajaran Syiwa tunggal. Berbeda tapi tunggal, tidak ada darma mendua. Apakah panggilan toleransi agama hanya disiarkan ke sekelilingnya, selaras dengan tradisi lama? Tidak! Begitu kalimat Kawi Tantular itu melantun di udara, timbullah makna baru bernapas nasional: seketika terlihat muncul di lapangan babak-babak baru, modern-kontemporer dan “nasional”. Pertama-tama dalam bentuk “tarian” kursi roda puluhan kaum difabel, yang masing-masing mengacungkan obor api yang terlihat berputar di kegelapan. Jadi “perbedaan” kaum difabel diterima dalam ketunggalan bangsa. Lalu, ketika api obor mulai mereda, tiba-tiba terdengar naik dentuman kendang burdah Islam, diselingi kalimat syahadat.
Itulah sumbangan kaum Islam Saren Jawa tetangga sedesa kaum Hindu Bali di Desa Budakeling. Luar biasa! Melalui sendratari gambuh, dan selaras dengan bait Tantular, perbedaan agama mereka rayakan sebagai ketunggalan yang lain. Buah sastra Majapahit masa lalu bertemu padu dengan semboyan persatuan 1945. Dimensi historis yang panjang dari tradisi toleransi Indonesia diejewantahkan dalam pertemuan antara Buddha dan Hindu dan kini Hindu Bali dan Islam. Itulah magisnya pementasan Gambuh Masutasoma gubahan Dayu Ani. Lalu ajaran itu dirangkum dengan puisi penutup.
Sumbangan karya Dayu Ani tidak kecil. Tak sekadar memperlihatkan kebinekaan Indonesia, dia juga menunjukkan kepada kaum muda bagaimana menggali universalisme tradisi setempat, yaitu bagaimana sepenuhnya tercerahkan secara kekinian.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Artikel ini ditulis oleh Jean Couteau, pengamat seni budaya. Di edisi cetak, artikel ini berjudul "Ber-Bhinneka Tunggal Ika dengan Gambuh".