Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PIANIS dan komponis Eunike Tanzil sedang sibuk mempromosikan single terbarunya berjudul “Be My Home”. Lagu yang dirilis pada 26 Juli 2024 itu dia khususkan untuk para perantau atau orang yang acap tinggal berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Seperti aku yang dalam delapan tahun terakhir tinggalnya pindah-pindah kota. Setiap pindah kota, aku selalu tanya, ‘apakah ini akan jadi rumahku?’,” kata Eunike kepada Tempo, Senin, 22 Juli 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Eunike mengartikan “home” bukan sekadar rumah, melainkan ruang dia merasa nyaman. “Pindah dari kota satu ke kota lain itu pasti tidak mudah, karena ada banyak ketidakpastian. Tapi kita jalani saja and go with the flow,” ujarnya.
Perempuan 25 tahun ini adalah musikus asal Medan, Sumatera Utara, yang kini menetap di Amerika Serikat. Selama delapan tahun tinggal di Negeri Abang Sam, Eunike tinggal berpindah-pindah di beberapa tempat, seperti Boston, New York, dan kini di Los Angeles. Semua dia jalani demi mengejar impiannya: menjadi seorang komponis.
Eunike membawakan lagu “Be My Home” yang berdurasi 4 menit 44 detik itu dalam alunan piano. Piano memang alat musik andalannya. Ia dikenalkan pada alat musik itu oleh sang ayah yang merupakan pedagang piano. “Papa itu penjual piano, tapi juga bisa main piano,” tuturnya.
Sejak kecil, ia diikutkan les piano oleh orang tuanya. Latihan satu jam setiap hari awalnya terasa berat baginya. Sampai-sampai sang ibu harus duduk di sofa sambil memantau Eunike agar berdisiplin dalam latihan piano.
Namun sesi latihan itu berubah menyenangkan ketika Eunike suka mengubah nada asli lagu-lagu latihannya sesuai dengan keinginannya. “Saat itu aku berumur 9-10 tahun. Aku suka sekali eksplorasi lagu dan improvisasi saat pelajari lagu di piano,” kata anak sulung dari dua bersaudara ini.
Berkat ketekunannya berlatih main piano, Eunike makin mahir dan mencatatkan prestasi di kancah nasional dan internasional. Salah satu kebanggaannya adalah menjadi juara dalam acara “Final Yamaha Electone Concours” pada Februari 2015 di Nikkei Hall, Tokyo, Jepang.
Piano pula yang kemudian makin mendekatkannya dengan musik klasik. Saat teman-temannya menyukai musikus pop seperti Justin Bieber atau grup SMASH, Eunike remaja selalu diejek ketika lebih menikmati karya komponis musik klasik dan orkestra.
Eunike mengungkapkan, komposisi musik klasik dan orkestra selalu menarik perhatiannya. Ketika menonton film asing produksi Disney atau Hollywood, ia akan mendengarkan kembali lagu-lagu soundtrack film itu di YouTube—kebanyakan merupakan lagu yang dibawakan dengan orkestra lengkap.
Komposer Eunike Tanzil memimpin kelompok orkestra di Thai Cultural Center, Bangkok. Dok. Eunike Tanzil
Karena kesempatan menonton orkestra secara langsung di Medan sangat jarang, Eunike pun menjadikan YouTube sebagai media untuk menikmati komposisi musik klasik. Dari YouTube, ia mengenal sejumlah soundtrack populer dari komposer idolanya, yakni John Williams. Karya Williams tersebar di beberapa film tersohor, seperti Indiana Jones, Harry Potter, Home Alone, Jurassic Park, dan Star Wars.
Eunike terus mendalami musik klasik melalui Internet. Dia tidak gentar mempelajarinya meski tidak ada teman diskusi atau mentor yang bisa ia ajak bertukar pikiran soal jenis musik tersebut. “Dulu aku tidak tahu ada pekerjaan namanya komponis, aku otodidaktik pelajari lagu-lagu soundtrack film yang aku suka melalui Internet,” ujarnya.
Waktu berlalu. Kecintaannya pada musik klasik pun membuatnya yakin terbang ke Amerika Serikat untuk mengikuti seleksi beasiswa Berklee College of Music. “Saat itu seleksinya memainkan lagu dari alat musik sendiri,” tutur Eunike, yang membawakan lagu dengan piano. Ia berhasil menyelesaikan studi di jurusan komposer untuk perfilman di kampus tersebut.
Lulus dari Berklee, Eunike langsung melanjutkan studi magister di The Juilliard School, sebuah sekolah seni dan musik di New York. Untuk masuk ke kampus yang berdiri sejak 1905 itu, Eunike berupaya membuat para dosen di sana kagum pada empat lagu karyanya sendiri.
Agar makin otentik, ia menambahkan nuansa musik Bali dalam karya lagu terakhir audisi berjudul “Three Balinese Dances”. Lagu bernuansa Bali dengan ketukan cepat itu dibawakan dengan string quartet. “Masuk sekolah ini sulit sekali. Kalau masuk Berklee peluang aku 50 persen, di Juilliard mungkin peluang aku hanya 5-6 persen,” kata Eunike, yang mendapatkan beasiswa penuh dari kampus ternama itu.
Selama meniti karier di jagat musik, Eunike sudah menelurkan beragam karya. Sesuai dengan mimpinya, ia berhasil membuat score untuk beberapa film. Ia menjadi komponis utama untuk film dari Cina berjudul Be Somebody pada 2021. Ia juga menulis lagu-lagu untuk film komedi romantis, Asian Persuasion, pada 2023.
Selain itu, Eunike bahkan sempat berkolaborasi dengan penyanyi sekaligus pemenang Grammy Awards, Laufey, pada 2023, untuk menggarap lagu “Only Mine”. Lewat lagu tersebut, mereka bersama-sama mengkampanyekan kesetaraan dan dukungan untuk musikus perempuan.
Menurut Eunike, yang utama dalam menulis lagu untuk film adalah menyamakan visi dengan sutradara. Film scoring juga menuntut dia peka terhadap apa yang terjadi secara visual di film itu. “Menulis lagu mungkin mudah karena tidak ada alur cerita. Tapi, ketika disatukan dengan film, lagu harus mendukung visual,” ujarnya.
Bagian tersulit sebagai komponis, tutur Eunike, adalah mencari orkestra yang akan digunakan sekaligus mengatur anggaran yang terbatas. Menyewa satu grup orkestra untuk membawakan lagu buatannya sangatlah mahal. Kelompok itu pun banyak ragamnya. Ada yang kualitasnya bagus, ada pula yang biasa saja.
Beruntung, pada April 2024, Eunike menandatangani kontrak dengan label musik klasik Jerman ternama, Deutsche Grammophon. Kolaborasi dengan label yang berdiri sejak 1898 itu membuat bebannya lebih ringan, karena label akan membantunya mencarikan grup orkestra terbaik untuk musik-musik karyanya.
Dari segi biaya, Eunike juga akan terbantu untuk mendapatkan musikus terbaik. Belum lagi ia yakin akan lebih mudah bekerja sama dengan berbagai musikus ternama ketika bergabung dengan label yang juga menaungi musikus idolanya, John Williams, tersebut. “Aku jadi bisa lebih berfokus mencari ide untuk membuat album yang sangat aku inginkan,” ucapnya.
Eunike menjelaskan, kontraknya dengan Deutsche Grammophon itu tak lepas dari konten video bertema “Hum Me a Melody” di akun Instagram-nya, @eunike.tanzil. Konten-konten video “Hum Me a Melody” yang ia unggah di akun media sosialnya itu ditonton 200 ribu hingga jutaan kali. Video-videonya sangat populer sehingga mendapat banyak komentar positif dari masyarakat.
Eunike mengatakan kegiatannya membuat konten video yang membikin musik dadakan hanya dari senandung orang itu berawal dari kebosanannya terhadap rutinitas setiap hari. Tidak disangka, video-videonya mendapat reaksi positif di media sosial. Padahal ia sebenarnya baru memulai kegiatan itu pada September 2023.
Dia menyatakan hanya membutuhkan sekitar tiga jam dalam membuat satu video “Hum Me a Melody”. Tanpa bantuan asisten, ia mengaransemen lagu, merekam video, hingga menyuntingnya menjadi sebuah video Reels.
“Mudah kok, kan durasi lagunya juga pendek. Lagi pula, I am very picky. Nada ini harus pas di video ini, jadi aku kerjakan semua sendiri saja,” ujar Eunike, yang sudah memiliki 401 ribu follower.
Video Reels itu membuat Eunike mendapatkan penggemar dari seluruh dunia. Awalnya narasi videonya berbahasa Indonesia. Namun, karena penggemarnya banyak dari berbagai belahan dunia, ia pun mengubah narasi video Reels menjadi bahasa Inggris.
Video-video viral “Hum Me a Melody” itulah yang juga menjadi pintu masuknya dilirik oleh label musik klasik Deutsche Grammophon. “Pada Oktober 2023, mereka DM (mengirim direct message) aku, bilang melihat videoku dan menawarkan apakah berniat bergabung dengan Deutsche Grammophon,” tuturnya.
Meski sudah dihubungi oleh staf Deutsche Grammophon, Eunike tetap diminta mengikuti seleksi. Ia diminta mengirimkan karyanya langsung ke markas label rekaman itu di Jerman. Setelah berkomunikasi di dunia virtual, Eunike akhirnya secara resmi bergabung dengan label yang berusia 126 tahun pada April 2024 itu.
Bukan hanya itu. Program “Hum Me a Melody” yang makin disukai netizen juga menarik perhatian almamaternya, The Juilliard School. Eunike mendapat undangan menjadi dosen tamu di kampus tersebut. Di hadapan sekitar 30 murid di sekolah itu, ia mempraktikkan cara membuat lagu dadakan hanya dari senandung orang.
Eunike Tanzil di Warner Brothers Studio di Los Angeles, California Do.: Eunike Tanzil
Sekitar delapan tahun lalu ketika pertama kali datang ke Amerika, Eunike merasa sendiri dan terasing. Dia jauh dari keluarga dan kemampuan bahasa Inggrisnya boleh dibilang masih tertatih-tatih. Sebagai pendatang, ia juga pernah diremehkan oleh beberapa temannya.
Namun semangat berjuang dan menelurkan berbagai karya hingga berkolaborasi dengan lembaga ternama membuat Eunike makin percaya diri. “Selama ini aku seperti baru mau belajar terbang. Sampai akhirnya sekarang aku merasa sudah punya sayap sebagai sumber daya untuk mencapai goal yang aku inginkan,” ucap Eunike, yang kini mulai membagikan ilmu bermusiknya dalam beberapa kesempatan.
Eunike mengungkapkan, ada satu hal yang masih ingin ia lakukan, yaitu membuat kelas online untuk para peminat musik klasik di seluruh dunia. Ia menginginkan musikus muda juga bisa mendapat ilmu soal musik klasik dengan mudah.
“Aku mau lebih berdampak untuk komunitasku. Dengan kelas online, ilmu aku lebih mudah diakses masyarakat dari Afrika hingga Semarang,” katanya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Mengejar Mimpi Menjadi Komponis"