Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
POSTER Tjoet Nja' Dhien itu itu berubah. Tampak lebih kekinian. Poster versi lama yang memampang wajah Christine Hakim, pemeran Tjoet Nja' Dhien dalam warna monokromatik, diganti. Poster tak lagi menampilkan sosok Tjoet Nja yang terlihat lelah, melainkan figur Panglaot, salah satu panglima andalan Tjoet Nja' Dhien, yang berlatar bayangan sosok Belanda
Pada 2017, Eros Djarot, sutradara Tjoet Nja' Dhien, mendapat tawaran dari Eye Film Museum Amsterdam dan IdFilmCenter atau Yayasan Pusat Film Indonesia untuk merestorasi film Tjoet Nja' Dhien. Pemulihan film yang lahir pada 1988 itu dilakukan demi menghasilkan visual yang lebih jernih dan suara yang lebih tajam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Film Tjoet Nya Dhien 2021. PT Kanta Indah Film
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Eros langsung mengiyakan usul itu. Dia ingin film garapannya lahir kembali dan tayang di bioskop-bioskop Indonesia agar bisa ditonton anak muda. Kini film itu sudah tayang di sejumlah bioskop dalam format 4K. Itu merujuk pada kualitas tertinggi video dengan resolusi horizontal hingga 4.000 piksel, yang membuat gambar tampil lebih prima. Adapun untuk audionya, Eros mengakui, kualitas hasil restorasinya tak sebening negatif film Tjoet Nja' Dhien yang dipreservasi di Australia. “Tapi buat saya itu enggak penting, karena kontennya lebih utama,” kata Eros. Menurut Eros—ia merasa beruntung karena biaya restorasi itu cukup mahal. “Kita malah tidak mengeluarkan biaya apa pun untuk proses restorasi senilai Rp 3 miliar ini. Itu yang membuat saya terharu, karena proyeksi Belanda dalam film Tjoet Nja' Dhien sebenarnya tidak menguntungkan mereka. Sementara, di sini, film kita jadi bubur atau busuk pun tidak ada yang peduli,” ujar Eros.
Tjoet Nja' Dhien adalah salah satu film klasik Indonesia yang melegenda. Sejumlah penghargaan diraih film ini. Bahkan Tjoet Nja' Dhien memborong delapan penghargaan Piala Citra pada tahun itu, di antaranya untuk kategori Sutradara Terbaik (Eros Djarot), Pemeran Wanita Terbaik (Christine Hakim), dan Tata Sinematografi Terbaik (George Kamarullah). Pada 1989, Tjoet Nja' Dhien menjadi film Indonesia pertama yang diputar di Festival Film Cannes dan memenangi kategori Film Internasional Terbaik. Film ini mengisahkan periode perjuangan prakemerdekaan di Aceh di bawah komando Tjoet Nja' Dhien, perempuan keturunan bangsawan yang memilih turun ke medan laga.
Film Tjoet Nya Dhien 2021. PT Kanta Indah Film
Yayasan IdFilmCenter dalam keterangan persnya menyebut pihaknya mendigitalisasi sebagian koleksi Sinematek Indonesia pusat arsip film dan data perfilman di Indonesia, baik itu karya sutradara Usmar Ismail, Sjumandjaja, maupun Teguh Karya. Itu dilakukan karena sebagian besar film Indonesia tidak disimpan dalam ruang yang mumpuni, sehingga membuat videonya rusak terserang suhu panas dan lembap.
Sebelum ini, restorasi terhadap film koleksi Sinematek sudah dilakukan. Yakni untuk film karya Usmar Ismail seperti Darah dan Doa, Lewat Djam Malam, juga Tiga Dara. Sementara restorasi Tiga Dara (2016) dilakukan untuk format 4K oleh rumah produksi SA Films, pemulihan Lewat Djam Malam (2012) digagas National Museum of Singapore bekerja sama dengan World Cinema Foundation. Sebelum direstorasi, kondisi pita seluloid Tiga Dara dalam kondisi parah.
Film Tjoet Nya Dhien 2021. PT Kanta Indah Film
Pada 2017, giliran IdFilmCenter, yang dipimpin sutradara Belanda Orlow Seunke, merestorasi film Tjoet Nja' Dhien bersama Eye Film Museum di Amsterdam. Kerja sama keduanya, kata Direktur Koleksi Eye Museum Amsterdam Frank Roumen, mencakup pelatihan untuk salah satu orang dari laboratorium restorasi IdFilmCenter. Pegawai yang mendapat pelatihan datang ke Eye Film Museum selama proses restorasi Tjoet Nja' Dhien untuk membantu proyek sekaligus belajar soal restorasi film.
Roumen menjelaskan, film Tjoet Nja' Dhien paling sering ditonton dalam format 108, tapi versi lebih panjangnya pun ada. Tiga cetakan positif dari versi pendek ataupun yang lebih panjang itu dikirim oleh Sinematek Indonesia ke Eye Film Museum sebagai referensi. Bahan itu kemudian direstorasi secara digital dalam versi lengkap 2K dengan durasi sepanjang 135 menit. Untuk proses itu, mereka menggunakan negatif asli dan reel internegatif terakhir dari film. Ternyata kedua elemen itu dalam kondisi sangat baik. “Elemen terbaik yang tersedia dari film itu kami temukan di Arsip Nasional Sydney, Australia,” ucapnya via surat elektronik, Selasa, 1 Juni lalu.
Tjoet Nja Dhien
Untuk penyempurnaan restorasi, cetakan proyeksi yang dikirimkan oleh Eros Djarot juga dijadikan referensi. Dari bahan yang ada itulah IdFilmCenter dan Eye Film Museum mengolah film Tjoet Nja' Dhien menjadi versi menengah pendek dengan durasi akhir sekira 110 menit. Pendekatan ini diambil karena mereka melewatkan bagian dari penutup film dan ada suara di beberapa bagian yang hilang. Bagian yang hilang itu di antaranya memuat problem lokal di Aceh, yang dinilai Eros, tak sampai mengurangi esensi cerita.
Roumen menilai Tjoet Nja' Dhien secara teknis melakukan terobosan dalam perfilman Indonesia. Selain menjadi film Indonesia pertama yang menggunakan Dolby Stereo, penata sinematografi George Kamarullah menyuguhkan gambaran yang lebih Eropa. “Film ini dipuji karena pencahayaannya,” ujarnya.
Pemulihan film Tjoet Nja' Dhien, dengan demikian, menjadi penting tak hanya bagi Indonesia. Deanne Schultz dalam buku Cinematography of World History (2007) mencatat Tjoet Nja' Dhien sebagai film dengan kualitas terbaik dari sinema naratif populer. Schultz juga menyebut film ini mempunyai gambar yang indah dan menarik, selain bahwa Tjoet Nja' Dhien menjadi pengantar yang mudah diakses dari perspektif Indonesia tentang sejarah antikolonialnya.
Eros berharap restorasi filmnya menjadi momentum yang menyadarkan pemerintah untuk tergerak merestorasi film-film lawas legendaris. Misalnya karya sutradara kawakan Indonesia seperti Teguh Karya, Sjumandjaja, Nya Abbas Akup, dan Arifin C. Noer. “Saya ingin nyolek pemerintah kita; masak enggak punya rasa risi atau malu karena proses pemugaran film kita dilakukan oleh negara lain? Saya sudah lama membicarakan ini, tapi tidak ada reaksi apa pun,” tuturnya.
ISMA SAVITRI, MOYANG KASIH DEWIMERDEKA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo