Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Arsitektur adalah tentang kehidupan." Yang mengatakan itu Tan Tjiang Ay, arsitek dengan karya-karya yang kian sering dibicarakan. Dia sedang duduk di ruang kerja studionya, yang terbuat dari kayu jati. Belanda mendirikan bangunan itu pada 1920 untuk para pegawai rendahan di Bandung. Dari rumah inilah Tan Tjiang melahirkan karyanya. Sebagian besar berwujud rumah di Bandung dan Jakarta.
Yang dia sampaikan di atas sesungguhnya prinsip sederhana saja dan bukan filosofi yang rumit. Ini argumentasi sang arsitek: bangunan apa pun dibuat untuk menampung aktivitas manusia. Sudah seharusnya yang diprioritaskan adalah kehidupan manusia di dalamnya. "Ketika berbicara tentang arsitektur, yang biasanya terbayang oleh kita bentuk bangunannya. Padahal yang digunakan adalah kekosongan di dalamnya, ruang di baliknya," ujar Tan. Itulah yang tecermin pada karya-karya dia, terutama setelah milenium baru.
Di antaranya, satu rumah panggung di Serpong.
Kami mengunjungi rumah itu bersama arsitek Avianti Armand pada Senin pekan lalu. Luas tanahnya 630 meter persegi. Bangunan utamanya dua lantai, masing-masing seluas 8 x 20 meter. Lantai dasar dibiarkan kosong. Hanya ada dua set kursi yang menemani tiang-tiang beton. Ada kolam renang kecil di bagian belakangnya.
Di lantai dua, bagian kanan ruangan, kira-kira selebar 3,5 meter, dibiarkan tanpa sekat dari ujung ke ujung. Mirip rumah panjang suku Dayak. Di dekat pintu masuk ada satu meja makan rancangan desainer Italia Claudio Silvestrin dengan enam kursi Y-chair dari Hans Wegner. Di ujung lain kita menemukan sofa, televisi, dan pemutar cakram. Tiga kamar tidur dan satu kamar mandi berderet-deret di sebelah kiri.
Ada banyak ruang kosong (void): dinding putih bersih tanpa tempelan apa pun; lantai semen; jendela kaca yang mengelilingi tiga sisi rumah; dan dinding kamar tidur serta pintunya yang sewarna.
Minimalis? Tan kurang setuju. "Kalaupun harus memberi judul, saya menyebutnya sebagai reduksionis," katanya. Apa yang direduksi? "Unsur-unsur yang tidak perlu. Kalau cukup dengan satu garis, kenapa harus dua?"
Ia masih ingat bagaimana dosennya dulu di Fakultas Teknik Universitas Indonesia (kini ITB) memperhatikannya membuat sketsa dari balik punggungnya. Saat ia membuat garis yang tak perlu, dosen Belanda itu akan berkata: "Biasa saja, Nak. Biasa saja sudah cukup gila." Buru-buru Tan menghapusnya. "Jadi, senjata utama saya dalam berkarya bukan pensil, melainkan penghapus," kata arsitek yang tak menyelesaikan kuliah ini.
Toh, pada 1970 dan 1980-an ia masih senang memakai lebih banyak ornamen. "Lebih genit, karena memang waktu itu zaman genit," dia memberi alasan. Sekarang Tan lebih senang memakai unsur mendasar saja, yang elementer. "Seperti gadis desa yang tak perlu makeup. Sayang, masyarakat kita lebih senang gadis yang keluar dari salon, ha-ha-ha...," ujarnya.
"Dalam karya Pak Tan, tidak ada garis yang tidak rasional," kata Avianti. "Dia modernis sejati." Maksudnya, Tan setia pada prinsip modernisme: form follows function, bentuk mengikuti fungsi. Kalau ada ornamen yang tak ada fungsinya, atau cuma jadi hiasan, ia akan memangkasnya. "Saya rasa semua agama mengajarkan hal yang sama: jangan neko-neko," ucapnya.
Alasan lain dia memilih gaya seperti ini adalah karena keawetan. "Seperti T-shirt. Dari zaman kakek saya ya seperti itu bentuknya," ujar pria 73 tahun itu. Tan mengibaratkan gaya sebagai bahasa. Setiap arsitek, kata Tan, memiliki bahasa atau cara ungkap sendiri. "Kalau diibaratkan penulis, dengan bahasa itu saya sudah membuat novel, cerita pendek, atau puisi."
Di antara "novel" yang dibuatnya adalah Hotel Concordia dan Hotel Malaka. Dengan hanya melihat kedua hotel di Bandung itu, kita merasakan bahasa Tan: kotak kelabu dan putih dengan sedikit ornamen. Setiap ornamen memiliki fungsi pasti—seperti sebagai ventilasi atau penampang cahaya.
Apakah rancangannya yang lurus dan polos itu terlihat kaku dan dingin? Tidak juga. Ia memanfaatkan banyak unsur untuk membuatnya hangat dan indah. Demi itu, Tan bisa sedikit gila. Tinggi dinding kamar tidur di rumah panggung Serpong itu hanya setengah, tidak menyentuh atap. Tak banyak pasangan mau tidur di kamar yang suaranya bisa didengar dari ruang tamu. Tapi kegilaan itu menjadi keindahan pada waktu malam: lampu-lampu kamar tidur akan terlihat seperti cahaya yang memancar dari sumur.
Di ruang tamu, lampu-lampu diumpetkan di balik plafon hingga yang terlihat hanya cahaya kuning yang rata dan hangat. Dari luar, waktu malam, rumah itu mirip lampion. Permainan cahaya hanyalah salah satu unsur yang dipakai Tan. Senjata lainnya penataan ruang, ritme, dan kontras. Di sebuah venue di Lasem, Jawa Tengah, dia cukup membuat lubang di dinding ke arah taman, sehingga tembok polos seakan-akan memiliki lukisan alam yang hidup.
Semua itu bisa menimbulkan ambience, atmosfer ruangan. Setiap orang bisa menangkap suasana berbeda. Tapi Avianti menangkap puisi pada karya-karya Tan. Geometri dan garis yang pasti itu bagaikan rima dalam sajak. Keindahan dalam kekosongan memberi ruang kepada siapa pun untuk berhenti sejenak, seperti kita menjeda sebentar setiap membaca puisi. "Ya, hidup kan memang tentang itu, kontemplasi," kata Tan.
Kesederhanaan juga ia tampilkan pada bagian luar bangunan, termasuk warna kelabu yang kerap dipilih. "Saya ingin karya saya menjadi tetangga sopan," ujarnya. Maksudnya, ia tak ingin bangunannya "berteriak"—dan menjadi paling mencorong di lingkungan.
Hal lain yang dia reduksi adalah luas bangunan. Tan yakin kita tak seharusnya membangun melebihi kebutuhan. "Karena yang paling mewah di dunia ini adalah unbuilt space, lahan yang tak dibangun," katanya sambil menunjuk taman kecil di bagian belakang kantornya. Di sana beberapa burung berkicau tiada henti. "Taman itu lebih mewah daripada bangunan tempat kita duduk ini."
Luas kamar di rumah karya Tan biasanya sekitar 4 x 4 meter. "Di dalam kamar kan Anda cuma tidur, merem, jadi buat apa perlu ruangan besar?" ucap Tan. Tapi itu bukan berarti dia anti-kamar besar. "Kalau Anda sejak awal bilang punya kebiasaan main bola di dalam kamar, ya, akan saya buatkan yang besar," ujarnya serius.
Tan juga pernah menyarankan salah seorang kliennya untuk tidak memiliki ruang tamu, karena dia jarang menerima tamu. Kalaupun ada yang bertandang, mereka adalah teman akrab yang bisa diterima di ruang keluarga.
Memahami gaya hidup calon penghuni rumah menjadi salah satu kunci kesuksesan Tan. Karena itu, sebelum mendesain, dia akan mewawancarai kliennya dengan detail tentang gaya hidup mereka—dari baju yang dipakai (jas atau kaus) sampai apa kegiatan mereka pada akhir pekan.
Gaya hidup Tan seperti karya-karya yang dia bangun: sederhana. Saat kami temui, dia memakai kemeja katun putih lengan pendek, berkacamata, bercelana khaki, dan bersepatu sandal cokelat. Rambutnya berwarna perak. Ia menunjukkan rumahnya yang di dekat kantor. Tidak terlalu besar, bertipe 36 dengan halaman luas. Kamar tidurnya hanya 3 x 3 meter. Ia punya anjing golden retriever bernama Gabby yang suka menyalak pada kamera foto profesional. Istrinya murah senyum dan senang berkebun, serta menyetel musik jazz.
"I'm a homy man," ujar Tan. Lalu dia menambahkan, "Tapi saya tidak bisa membuat home. Saya membuat bangunan yang semoga bisa menjadi home bagi orang yang tinggal di dalamnya."
Qaris Tajudin
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo