Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pameran bersama keluarga Sunaryo dalam peringatan 25 tahun Selasar Sunaryo.
Pameran seni yang menjadi simbol perjalanan Selasar Sunaryo Art Space.
Arin Dwihartanto melanjutkan pengelolaan Selasar Sunaryo.
SEBONGKAH kayu pohon mati sebesar pos jaga dipasang di dekat tempat parkir kendaraan. Beberapa batang pohon jati mati lain yang seperti pilar dalam berbagai ukuran dipasang berderet hingga menembus ruang Galeri Atas Selasar Sunaryo Art Space, Bandung. Ujung akhirnya berupa instalasi ranting yang menempel di tembok belakang. Total karya terbaru Sunaryo yang berjudul Et Cetera itu berjumlah tujuh bagian.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Batang pepohonan mati itu menandakan sejumlah pameran penting Sunaryo, yang kini berusia 80 tahun. Awalnya adalah pameran bertajuk "Titik Nadir" yang mengiringi pembukaan Selasar Seni Sunaryo pada 5 September 1998. Di masa gejolak reformasi dan krisis ekonomi itu, Sunaryo membungkus karya-karya yang dipamerkan dengan kain hitam. Saat itu dia merasa kreativitasnya turut terguncang oleh situasi negara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di gerbang pagar galeri saat itu, Sunaryo menceritakan kondisinya pada selembar kain hitam lewat huruf sambung tulisan tangan. Bencana di negeri ini, tulis Sunaryo, telah memaksa dia menyembunyikan dan menutupi semua karya ini. Ia mengaku pada 1998 telah kehilangan energi untuk berkarya. Ada kemarahan, kesedihan, dan kecemasan yang membekukan segalanya, membuat dia mengalami depresi hingga titik terendah.
“Proses menyembunyikan karya-karya ini sendiri adalah karya seni, sebuah interaksi… merobek, mengikat, melipat, dan saya tidak pernah tahu saya bisa merasa begitu mati rasa dan menyembunyikan karya seni saya. Saya hanya menunggu negara ini untuk mulai tersenyum,” demikian tulisan Sunaryo.
Setelah itu, pada 1999, Sunaryo menggelar pameran lagi dengan judul "Batu Melangkah Waktu", lalu "Puisi Titik Putih" yang terkait dengan naiknya Abdurrahman Wahid atau Gus Dur sebagai Presiden RI. Pameran penting berikutnya adalah "Titik Gamang", kemudian "A Stage of Metamorphosis" di CP Artspace, Washington, DC, Amerika Serikat, pada 2001, lalu "Poetry of Inner Dreams" di Singapore Tyler Print Institute pada 2007.
Karya Et Cetera bisa diartikan juga sebagai simbol perjalanan Selasar Sunaryo Art Space selama seperempat abad berdiri. “Tidak terasa 25 tahun karena hampir setiap tahun sibuk oleh 10-15 program di Selasar,” kata Sunaryo, Jumat, 10 November lalu. Bagian ranting di ujung karya menandakan kiprahnya yang telah bercabang dan membentuk jaringan. Tak kurang 40 negara telah berjejaring dengan melibatkan seniman, kurator, dan ahli seni sebagai pembicara serta sekitar 1.000 seniman Indonesia.
Di ruang galeri, karya terbaru Sunaryo lain berupa lukisan bercorak abstrak sepanjang 10 meter. Selebihnya, turut dipajang beberapa karya lama, seperti Melted Frame buatan 2008 berupa bingkai putih yang meleleh. “Ada suatu mimpi ingin sekali waktu itu agar seni mencair ke masyarakat,” ujarnya. Bilik cermin kaca berjudul Sejuta Mata bertarikh 2019 juga kembali dibangun untuk mengajak pengunjung merasakan sensasi dan ilusi di dalamnya.
Di bagian galeri yang lain, Arin Dwihartanto Sunaryo menjadikan ruang Bale Tonggoh sebagai studio terbuka seperti tempatnya bekerja untuk membuat karya lukisan berbahan resin. Di bagian tengah hingga belakang ruangan dipajang beberapa karyanya dari yang berukuran kecil hingga besar. Sedangkan ruangan di balik sekat berkaca di bagian belakang ditata sebagai studio dengan dapur dan mesin pembuat minuman kopi di pojok, juga elemen musik.
Arin menempatkan sebuah meja besar persegi empat yang berkaki pendek seluas 2 meter lebih. Di atasnya tergolek karya bercorak abstrak dari bahan resin dengan racikan warna merah, putih, hijau, dan hitam, seperti bendera Palestina yang kini tengah populer seiring dengan peperangan melawan Israel. Sisa bahan proses pembuatan yang mengering dibiarkan melumuri lantai di sekitar meja. Suguhan pamerannya yang berjudul "Base Matters" itu dikuratori Krishnamurti Suparka.
Di Ruang Sayap Selasar Sunaryo, Syagini Ratna Wulan menampilkan pameran berjudul "Collected Fictions: Notes on Illuminance" yang diartikan sebagai "Fiksi Uar: Catatan-catatan Keterangan". Karyanya menampilkan obyek yang bisa dilihat, diraba, dan dicium. Selain lukisan dan patung, benda-benda keseharian, termasuk bahan pangan, dipajang di dalam lemari dan etalase kayu. Pengunjung juga bisa menjajal aneka parfum yang tersedia. “Kompleksitas pelihat seni kita bayangkan dengan wadah yang punya semacam aroma,” kata kurator Yacobus Ari Respati, Jumat, 10 November lalu.
Pengunjung melihat karya seni dan instalasi workshop Arin Dwi Hartanto di Selasar Sunaryo Art Space (SSAS) di Bandung, Jawa Barat, 15 November 2023. Tempo/Prima mulia
Mereka mengelompokkan kumpulan barang yang dipamerkan sesuai dengan kalangan tertentu di dunia seni, seperti kurator, seniman, artisan, dan orang galeri. Aroma parfumnya dicocokkan sesuai dengan perkiraan. “Kita bayangkan semua golongan itu punya cerita dan fiksi masing-masing,” tutur Ari. Aroma yang dipakai juga ditujukan untuk meninggalkan kesan seperti halnya karya seni. Banyak pihak terlibat dalam pameran ini. Gaya pameran Syagini kali ini, Ari menambahkan, mirip dengan karya sebelumnya yang dibuat pada awal 2010. Misalnya karya berjudul Bibliotea tentang fiksi minuman teh yang dilengkapi buku fiktif.
Dalam pameran "Seperempat Abad" ini, Selasar juga menampilkan arsip dan rencana sepuluh tahun ke depan di Ruang Bawah. Kurator Heru Hikayat dan Puja Anindita membuat lini waktu perjalanan dari tempat yang semula dinamai Selasar Seni Sunaryo itu hingga menjadi Selasar Sunaryo Art Space. Perubahan nama yang diresmikan pada 2001 itu dilakukan atas saran Jim Supangkat untuk mempertegas posisi Selasar sebagai pusat kegiatan seni dan budaya.
Yayasan Selasar Sunaryo yang dibentuk pada 2015 kebanyakan mendanai secara mandiri perhelatan acara dan programnya. Dalam pameran ini terdapat arsip konfigurasi yang dibangun dari cerita singkat di dinding, rekaman audio, video, dokumentasi program, katalog, dan poster dalam 25 tahun terakhir. Sunaryo kini telah menyerahkan pengelolaan Selasar kepada anaknya sebagai penerus. “Saya berusaha menjawab apa yang terjadi pada hari ini dan esok,” kata Arin Dwihartanto.
Program rintisannya adalah tentang inklusivitas yang akan terus dilengkapi fasilitas dan aksesnya bagi kalangan difabel agar berkunjung dan berkarya di Selasar. Perwakilan Dewan Kurator Selasar Sunaryo Art Space, Bambang Sugiharto, mengatakan berbagai bidang seni berinteraksi hingga berintegrasi dengan aneka kehidupan yang beraneka ragam. Dalam seni yang terintegrasi, menurut guru besar Fakultas Filsafat Universitas Parahyangan, Bandung, itu, yang menjadi fokus utama pada akhirnya adalah keinginan menyampaikan persoalan atau keprihatinan.
Kecenderungan itu, Bambang menambahkan, terlihat dalam kekaryaan Arin yang memperlihatkan karya seni sebagai proses yang transparan. “Alih-alih sebagai karya jadi yang eksklusif, ruang pamer diidentikkan dengan studio terbuka yang biasanya tersembunyi,” ucapnya. Begitu pun karya Syagini Ratna, yang ia nilai mengolah isu dengan mengintegrasikan seni rupa, pesona parfum, dan penanda dari medan sosial seni.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Hajat Seni Keluarga Sunaryo"