Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MALAM itu, menjelang Reformasi Mei 1998, tim Majelis Sinergi Kalam (Masika-Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia) mendatangi rumah Wakil Presiden B.J. Habibie. Tapi pertemuan hangat itu tak membuahkan hasil apa pun. Tim Masika menilai demonstrasi mahasiswa dan warga sudah terlalu luas (terjadi lebih dari 400 kali di seluruh Indonesia), karena itu harus disikapi bijaksana oleh pemerintah; tidak bisa dengan kekerasan gaya lama.
Habibie menilai situasi tak seserius yang dikhawatirkan. Tapi yang mengesankan: dengan perbedaan tajam itu, sikap tuan rumah tetap bersahabat dan menunjukkan respek pada tamu-tamu mudanya yang gelisah.
Persahabatannya dengan CEO General Electric Jack Welch, kapten industri terbesar dalam sejarah, menunjukkan Habibie akrab dengan kalangan elite bisnis global. Ia memang selalu menghitung aspek bisnis dalam rencana dan aksi teknologisnya. Kalkulasi ini pula yang membuatnya bernafsu membangun industri pesawat.
Dalam industri sebesar itu, para pekerja dan peneliti sering mengalami serendipity, penemuan “tak sengaja” dalam rangka mengerjakan proyek besar. Dalam proses menerbangkan pesawat ruang angkasa NASA, misalnya, muncul beribu-ribu hal baru, dari alat masak canggih, obat-obatan, antena segala bentuk, hingga kostum tahan api. Semua invensi dan inovasi ini bisa dipatenkan sendiri-sendiri, dan tentu bisa dijual. Sebagai eksekutif penting di perusahaan global, Habibie sangat memahami aspek hukum dan nilai ekonominya.
Muncul di Indonesia sebagai ilmuwan dan praktisi cemerlang berusia 37 tahun pada 1974, Habibie dengan cepat menarik perhatian banyak pengamat. Ia diberi jabatan penasihat Direktur Utama Pertamina; memang Ibnu Sutowo yang konon ditugasi melobi Habibie di Jerman dan memintanya pulang. Ia “ditaruh” di Pertamina sekadar sebagai alasan untuk kehadirannya di Tanah Air—tentu juga agar ia bergaji. Posisi itu tak besar artinya dibanding jabatannya di Jerman, wakil presiden/direktur teknologi sebuah pabrik pesawat terbang.
Dengan lekas karier politik Habibie melesat, apalagi setelah 1978, ketika ia menjabat Menteri Negara Riset dan Teknologi/Kepala Badan Pengkajian dan Penerap-an Teknologi. Agaknya ia merupakan kasus pertama di Indonesia, yaitu munculnya fakta bahwa seseorang bisa punya kuasa begitu besar dengan mengendarai mantra yang tak putus meluncur dari bibirnya: pentingnya sains dan teknologi bagi kemajuan suatu bangsa.
Dan Indonesia, katanya, tidak bisa tidak selain menempuh jalan teknologi itu jika ingin maju. Tanpa mengembangkan teknologi, nilai tukar produk-produk Indonesia akan tetap rendah. “Sekilo besi mungkin harganya seribu rupiah, tapi jika besi itu dijadikan jarum, harganya bisa sejuta rupiah”—begitulah contoh gampang yang kerap diucapkan Habibie untuk menekankan pentingnya nilai tambah barang-barang Indonesia.
Tak ada tokoh lain yang mengumandangkan tanpa henti isu teknologi setandas Habibie. Bahkan publik pun tak cukup sering mendengar istilah itu, meski di Bandung sejak dulu ada sekolah tinggi yang mencantumkan “Teknologi” dalam namanya.
Semua orang, dari para pemimpin di semua tingkat hingga rakyat di lapisan terbawah, mafhum belaka: kita memang negara tani yang masih cukup miskin. Maka mustahillah kita mampu berlaga di kancah teknologi tinggi.
Pada kasus Habibie, perkaranya lebih ganjil: dia mau membangun pabrik pesawat terbang, bukan radio transistor atau motor becak. Keluhan dan ledekan pertama tentu datang dari kaum ekonom, yang dianggap paling paham tentang tahap-tahap kemajuan suatu bangsa.
Pesawat Habibie dicibir sebagai impian kosong yang tak patut, yang tak berpijak di bumi agraris Indonesia. Khayalan Habibie dinilai melanggar pakem tahap-tahap kemajuan industri yang mutlak harus diikuti setiap negara.
Habibie mendengar semua kritik itu—dan jalan terus. Ia bahkan berhasil meyakinkan Presiden Soeharto supaya menggabungkan semua industri teknologi tinggi dalam satu wadah, agar mudah disinkronisasi dan tak terjadi duplikasi yang mubazir. Terbentuklah payung berisi 26 perusahaan di bawah Badan Pengelola Industri Strategis. Mudah ditebak siapa yang dinilai paling pantas mengepalainya.
“PERANG dingin” antara Habibie dan ekonom arsitek Orde Baru, dengan cheerleaders masing-masing, berlangsung abadi. “Habibienomics” makin gamblang dilawankan dengan “Widjojonomics”. Kubu Habibie tampak kalah fasih dalam membela garis Habibie tentang pengembangan teknologi secara menyeluruh dalam konteks pertumbuhan ekonomi bangsa. Gagasan dan tindakan Habibie dalam hal ini memang sepenuhnya baru. Sejarah Indonesia tak menyimpan preseden yang cukup untuk hal ini. Maka wajar jika pendukungnya tak sanggup menjadi juru bicara bagi ide-idenya. Gagasannya hanya bisa dijurubicarai oleh Habibie.
Kubu lawan, misalnya, bersorak riang ketika tahu dua pesawat Habibie dibarter dengan beras ketan Thailand. “Mana ada negara yang mau membeli pesawat buatan negeri agraris,” kata mereka, lalu tertawa.
Salah satu jenis pesawat terbang produk IPTN (PT Dirgantara Indonesia) bernama Tetuko (nama kecil Gatotkaca). Para pengejek Habibie segera membuat kepanjangan Tetuko: sing tuku ora teko-teko, sing teko ora tuku-tuku (yang mau beli pesawat itu tak kunjung datang, sedangkan yang datang tak kunjung membeli). Tipe CN (-235), produk generasi pertama, dipanjangkan menjadi “Capek Nunggu”—pesawat si Rudy tak pernah beres dan rapi jadwal terbangnya.
Abdurrahman Wahid dengan tangkas mengarang “cerpen”. Di sebuah arena perang, katanya, setiap pesawat yang melintas harus ditembak jatuh. Tapi, ketika CN-235 muncul, komandan bilang itu tak perlu ditembak. Kenapa? “Nanti juga jatuh sendiri,” jawab komandan. Begitu luas dan dalam ketidakpercayaan para tokoh Indonesia pada kemampuan bangsanya.
Habibie jalan terus dengan visi yang digenggamnya sepenuh hati. Dan ia punya alasan kuat untuk percaya diri: Bapak Presiden memberinya carte blanche. Ia boleh menuliskan angka berapa saja sesuai dengan apa yang ia anggap perlu.
Waktu kemudian membuktikan Habibie-lah yang benar. Tentu saja ada banyak sekali nuansa dalam penyederhanaan ini. Tapi secara umum visi Habibie, yang membidik kemajuan eksponensial dan bukan linear, terbukti menang. Namun hal itu tidak dibuktikan oleh Indonesia, tapi oleh Brasil, negeri tebu yang sukses mengembangkan industri Embraer. Pabrik itu kini membuat banyak jenis pesawat, termasuk jet tempur, bukan hanya jet kecil yang digemari orang-orang kaya di seluruh dunia.
Embraer kira-kira seusia dengan PT Dirgantara Indonesia. Tapi perjalanan Embraer sekali lagi membuktikan: industri yang ditekuni dan dijalankan dengan konsisten pasti bakal mengalami perbaikan kontinu dan akhirnya menjadi produk hebat. Bukankah itulah yang selalu terjadi pada industri negara-negara lain?
Sampai 1970-an, mobil Jepang ditertawai sebagai “kaleng susu”. Sebab, mobil berarti Chrysler, Opel, Mercedes-Benz, Land Rover, Holden, Ford, bahkan Fiat, bukan Toyota, Mazda, dan Nissan. Tak lama kemudian yang menertawai mobil Jepang ditertawai oleh dunia. Sekarang orang Jepang sendiri ditertawai orang Korea dan Cina jika mereka berani menertawai produk-produk kedua negara itu.
Jika sejak awal ditekuni, dengan didukung semua stakeholder Indonesia, tentulah produk IPTN pun akan tak hanya ditukar dengan beras Bangkok. Dan anak-anak Habibie tak perlu mengalami brain drain, terpaksa menerapkan ilmu mereka di Malaysia, Timur Tengah, Amerika, dan di negara mana pun yang bersedia menghargai dengan wajar bakat, pengetahuan, dan dedikasi mereka.
KEPADA delegasi aktivis Islam senior yang menemui untuk memintanya memimpin Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia, Habibie mengumumkan: “Usia saya sekarang 54 tahun. Jadi jangan Anda harapkan terjadi perubahan besar pada diri saya. Tidak ada orang berumur segitu yang berubah.”
Tak ada anggota delegasi yang minta penjelasan tentang makna pernyataan itu. Tapi tampaknya semua mafhum: itu adalah pengakuan jujur Habibie bahwa dia tidak datang dari kalangan santri dan, karena itu, meski ia kelak memimpin ICMI, tak perlu ada ekspektasi bahwa ia akan lebih tekun beribadah. Atau ia tiba-tiba menghayati seluk-beluk fikih abad pertengahan hanya demi menyesuaikan diri dengan “Muslim” dalam singkatan ICMI.
Toh, Habibie tetaplah seorang demokrat yang mudah menghargai aspirasi koleganya. Retorik “iptek”-nya kemudian selalu ditambahi dengan “imtak”, iman dan takwa. Ini tentu berkat bisikan para santri kota, teman-teman barunya yang ternyata cukup menyenangkan.
Habibie rupanya memaklumi kecemasan mereka: jika iptek terlalu ditekankan, imtak akan makin tergerus. Kalangan “budayawan” pun risau; agresivitas iptek Habibie bakal memiskinkan kehidupan budaya dan artistik.
Mungkin ia senang juga dengan bunyi kedua singkatan itu jika diucapkan dalam satu tarikan kalimat. Mungkin pula ia kemudian merasa kata kedua itu penting dan relevan dengan lanskap budaya Indonesia.
Yang terang: di tahun-tahun terakhir hidupnya, dan setelah ditinggalkan pergi oleh Ibu Ainun yang dicintainya sampai detik terakhir, Habibie justru terkesan lebih mementingkan yang kedua daripada yang pertama. Meski ia, dengan setengah hati, masih mencoba membangun industri pesawat milik pribadinya di Batam, yang segera ia limpahkan kepada putranya.
Itu perkembangan yang boleh disayangkan untuk seorang ilmuwan-teknolog secemerlang Habibie, di tengah massa yang menerima supply seruan imtak cukup jauh melampaui demand. Indonesia tak membutuhkan tambahan pemasok dari seorang scientist-technologist yang inspirasinya masih sangat dibutuhkan untuk mengembangkan iptek. Oversupply imtak justru harus diredam ke tingkat yang wajar.
Malam ini, saya akan berfokus mengenang Habibie sebagai peletak penting fondasi demokrasi Indonesia. Ia menyingkirkan penghambat kebebasan pers, menghapus undang-undang subversif, dan membebaskan para tahanan politik. Ia membuka jalan bagi presiden-presiden berikutnya untuk pembentukan lembaga-lembaga baru demokrasi. Ia humanis yang tak mementingkan prestise dan soal-soal kulit lainnya. Dengan begitu banyak jabatan penting di sakunya selama puluhan tahun serta kekayaan hasil bisnis-bisnisnya yang sukses, ia tak pernah lupa pada status dasarnya sebagai manusia. Tentu saja kita juga harus berterima kasih kepada Bapak Habibie, pemimpin yang paling berjasa menanamkan pentingnya sains dan teknologi ke dalam kesadaran bangsanya.
Dengan caranya sendiri, dengan kepolosan, kejujuran, dan sikap tanpa pretensi yang inspiratif, ia telah mengajari banyak orang tentang pentingnya bercita-cita -tinggi.
Sebab, ia tahu, dan kini kita pun jadi tahu: yang berbahaya bukanlah bercita-cita tinggi dan gagal mencapainya. Yang berbahaya adalah kita bercita-cita rendah dan berhasil meraihnya.
HAMID BASYAIB, PENGAMAT BUDAYA DAN POLITIK
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo